NovelToon NovelToon
Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 7

Siang hari itu, suasana di depan ruang ICU masih tenang. Livia duduk di kursi tunggu dengan map laporan medis Ganendra di tangannya.

Pandangannya menembus kaca tebal yang memisahkan ruang steril dan dunia luar. Tatapan kosongnya menyimpan satu harapan yaitu Ganendra membuka mata.

Suara sepatu pantofel mendekat cepat.

"Miss Livia?"

Livia menoleh. Seorang pria muda berpakaian rapi berdiri di hadapannya dengan napas sedikit terengah. Ia membawa tas kerja kulit dan map dokumen tebal. Rambutnya klimis. Wajahnya panik tapi tetap menjaga sopan santun. Dialah Alex, asisten pribadi Livia yang setia.

"Ada apa, Lex?" tanya Livia, berdiri pelan.

"Maaf saya ganggu di situasi seperti ini, tapi ada berkas kerja sama dari investor Jepang yang harus ditandatangani hari ini juga. Kontraknya tidak bisa ditunda lebih dari pukul tiga sore, sesuai jadwal konferensi video," ujar Alex cepat, sembari menyerahkan map cokelat ke tangan Livia.

Livia menerima map itu. Matanya membaca cepat.

"Ini proyek hotel resort di Kyoto?" tanyanya.

"Benar. Kalau tidak ditandatangani sekarang, mereka bisa tarik dana investasi. Risiko besar untuk holding perusahaan," jelas Alex, nadanya rendah tapi serius.

Livia terdiam sejenak. Matanya melirik ke arah ruang ICU. Monitor jantung Ganendra masih berdetak lambat tapi stabil. Wajahnya masih pucat, namun Livia tidak sanggup meninggalkannya, bahkan sekejap pun.

"Bawa laptopmu ke ruang perawat. Siapkan video call. Saya akan tanda tangan dari sini," ucap Livia akhirnya.

Alex tampak lega, lalu segera mengangguk.

"Baik, saya siapkan sekarang."

Namun sebelum ia pergi, Livia menahan lengannya.

"Dan satu lagi," tuturnya tegas.

"Pastikan tak satu pun media tahu saya ada di sini. Saya tidak sedang ingin diberitakan sebagai ‘wanita sosialita yang menabrak rakyat biasa.’"

Alex mengangguk cepat.

"Saya mengerti. Semua staf rumah sakit sudah diberi arahan oleh Pak Anwar juga."

Livia tersenyum kecil.

"Bagus. Ini bukan tentang reputasi. Ini tentang menebus rasa bersalah dengan benar."

Alex pun melangkah cepat menuju ruang perawat, sementara Livia membuka map dokumen dan mulai menandatangani halaman demi halaman, satu tangan bekerja untuk bisnis miliaran rupiah, sementara hati dan matanya tetap tertambat pada satu sosok yang sedang berjuang di balik pintu kaca yaitu Ganendra.

Dari balik tirai ruang tunggu, Bu Siti memperhatikan dengan diam. Sorot matanya tak lepas dari gerak-gerik Livia dan asistennya, Alex, yang sibuk dengan dokumen dan laptop di atas pangkuan.

Ia melihat Livia duduk bersila di kursi tunggu yang sempit, mengenakan jas tipis dan blus putih yang kini mulai kusut. Sesekali gadis muda itu menandatangani dokumen penting sambil terus menoleh ke arah ICU, seakan tak ingin kehilangan detak waktu.

Sementara Alex, si asisten yang cekatan, berdiri di sampingnya, membisikkan hal-hal teknis dengan penuh kehormatan.

Bu Siti hanya diam. Tapi di benaknya, seribu gambaran bermunculan.

“Andai anakku bisa bekerja seperti itu...”

Bayangan Ganendra mengenakan kemeja putih rapi, duduk di depan laptop, berbicara dalam dua bahasa dengan mitra asing, menandatangani berkas kerja sama penting terasa begitu jauh dari kenyataan mereka saat ini.

Ganendra yang sejak lulus kuliah hanya mampu bekerja sebagai staf gudang di AlfaBeta. Pulang pergi dengan motor tua. Menabung sedikit demi sedikit untuk membahagiakan ibunya. Tidak ada jas. Tidak ada asisten. Tidak ada ruang kerja mewah. Tapi Bu Siti tahu anaknya punya mimpi besar.

Ia menghela napas panjang matanya mengabur. Bukan karena iri. Tapi karena haru yang menusuk.

“Livia muda, cantik, punya segalanya, dan kini sedang menjaga anak saya dengan setia. Sementara anak saya sedang berjuang untuk hidup,” gumamnya dalam hati.

Bu Siti mengusap ujung matanya dengan ujung kerudung. Lalu menatap langit-langit lorong rumah sakit dan berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

"Ya Allah... jika takdir anakku bukan untuk bersanding dengan dunia seperti mereka, maka cukupkanlah dia dengan cinta dan kesehatan. Jangan ambil dia dariku. Belum saatnya."

Dari jauh, Livia menoleh, seolah merasakan tatapan itu. Ia tersenyum kecil kepada Bu Siti. Bukan senyum karena unggul, tapi senyum karena mengerti bahwa hati seorang ibu, tak pernah bisa bersembunyi.

Dan di antara dua dunia yang semula tak sejalan, perlahan muncul benang merah yang mengikat: ketulusan, harapan, dan takdir yang belum selesai.

Sepeninggal Alex yang buru-buru kembali ke kantor, suasana lorong ICU kembali senyap. Lampu langit-langit yang putih terang memantulkan bayangan dua perempuan yang duduk berdampingan di bangku panjang dia Livia Haura Azalia, wanita muda sukses yang kini merunduk lelah, dan Bu Siti, seorang ibu sederhana yang tengah menahan rindu, cemas, dan harapan dalam satu nafas panjang.

Livia menatap kosong ke arah kaca ruang ICU, tempat Ganendra masih terbaring dengan selang di hidung dan infus di lengan. Suaranya pelan nyaris tenggelam dalam desah AC rumah sakit.

"Bu Siti..." panggilnya lirih,

"Kalau saya tidak menabrak Mas Ganendra... mungkin kita tidak akan pernah saling kenal, ya?"

Bu Siti menoleh, menatap Livia dalam-dalam.

"Benar. Tapi saya percaya, tidak semua pertemuan yang diawali luka harus berakhir dengan duka," ujarnya lembut.

"Kadang, Tuhan sengaja bikin manusia tersandung agar saling bertemu dan belajar saling sembuh."

Livia sontak terdiam kata-kata itu menyentuhnya lebih dalam dari yang ia duga.

"Saya malu, Bu. Saya punya segalanya tapi baru tahu artinya ketulusan setelah duduk di sini bersama Ibu. Saya bahkan belum tahu banyak tentang Mas Ganendra. Tapi Ibu begitu terbuka pada saya. Kenapa, Bu?"

Bu Siti tersenyum tipis, lalu menoleh kembali ke arah ICU.

"Entahlah, Nak. Mungkin karena cara kamu memandang anak saya tidak seperti orang lain memandang anak seorang penjahit.”

"Sejak pertama kamu bilang ‘saya akan tunggu dia sampai bangun’, hati saya bilang anak ini tulus."

Livia menunduk, menggenggam jemarinya sendiri, "Saya bahkan belum layak mengenal dia. Saya justru yang membuat dia terbaring seperti itu."

Bu Siti menggeleng.

"Tidak ada orang yang tahu cara takdir bekerja. Bisa saja kamu adalah jalan baru dalam hidup Ganendra."

Lalu tiba-tiba, suara Bu Siti melembut lagi, dengan nada yang lebih pribadi.

"Dulu... Ganendra pernah punya kekasih," tuturnya perlahan.

"Namanya Rania. Anak orang berada juga. Mereka pacaran selama dua tahun."

Livia menoleh cepat. Tak berniat kepo, tapi hatinya seperti ditusuk pelan.

"Kenapa mereka putus, Bu?" tanyanya pelan.

"Karena orang tua Rania tidak setuju. Katanya, Ganendra bukan siapa-siapa. Tak punya masa depan. Hanya anak penjahit," jawab Bu Siti sambil menatap lurus.

Livia terdiam. Lidahnya kelu.

"Ganendra tak pernah marah. Dia hanya bilang, 'Kalau orang tua dia tak ridha, berarti saya tak pantas. Saya mundur.' Begitu saja."

Bu Siti tersenyum getir.

"Sejak itu, dia tak pernah lagi bicara soal cinta. Kerja, pulang, temani saya. Itu saja. Hatinya... seolah dikunci rapat-rapat."

Livia menunduk. Ujung matanya mulai basah.

"Mungkin karena itu... saya merasa aneh sendiri. Saya baru kenal dia beberapa hari. Tapi rasanya... saya seperti diikat oleh sesuatu yang tidak saya pahami," bisiknya.

Bu Siti menoleh dengan tatapan lembut.

"Kadang, yang datang belakangan bukan berarti tak penting. Kadang justru yang terlambat itulah yang paling sungguh-sungguh."

Livia tersenyum dalam air mata.

Dan tanpa mereka sadari, pertemuan yang dimulai karena kecelakaan kini mulai tumbuh menjadi jalinan nasib yang mungkin tak pernah direncanakan namun tidak bisa dihindari.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
sunshine wings
dan kamu emang udah layak dari pertemuan pertama insiden itu Livia .♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Wah aku yg salting.. asekkk.. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
sunshine wings
hahaha.. energi ya mas.. powerbank.. 💪💪💪💪💪😍😍😍😍😍
sunshine wings
Kan.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Good Ganendra.. 👍👍👍👍👍
sunshine wings
Yaa begitulah..Mantapkan hati.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Memang ada pilihan lain tapi hati hanya punya satu ya mau gimana lagi ya kan..
sunshine wings
Sudahlaa Lintang nanti makan diri sendiri.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
kerana Livia yg pertama ada selepas hati Ganendra hancur berkeping².. ♥️♥️♥️♥️♥️
Naila
lanjut
Purnama Pasedu
lintang jadi badai
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: duri dalam daging 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😘😘😘😘😘
sunshine wings
Yesss!!! 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
daaan calon suami juga.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Purnama Pasedu
Livia,,,sekali kali ajak ibunya ganen sama ganen ke restoran
Purnama Pasedu: begitu ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum waktunya kak mereka belum resmi pacaran
total 2 replies
sunshine wings
Laa.. rupanya adek sepupu kirain adek sekandung.. buat malu aja.. sadar dri laa ɓiar sedikit.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Al Ghifari
lanjut seru banget
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak insyaallah besok 😘🙏🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!