Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Mayor Wiratmaja pada akhirnya tidak menyetujui permintaan para prajurit yang terluka, meskipun hasil akhirnya hampir pasti.
Terkadang sulit membedakan mana yang kejam dan mana yang baik, dan dalam perang, sering kali memang tidak ada pilihan.
Tak lama kemudian, waktu yang diberikan Belanda pun tiba... Surya menemukan hal yang menarik, bahkan di medan perang, Belanda masih berusaha menepati ancaman yang mereka ucapkan. Ini cerdas, karena mereka tahu bahwa jika ancaman tidak ditindaklanjuti, maka kata-kata berikutnya akan kehilangan wibawa.
Maka, tentara Belanda mulai menghitung detik dengan bunyi sirene, lalu kembali menghujani Benteng dengan rentetan meriam dan mortir, termasuk bom bakar yang dijatuhkan oleh pesawat Mustang, hingga Surya melihat api berkobar di kejauhan.
Namun, karena ruang bawah tanah benteng dibangun sangat kokoh, tembakan artileri Belanda gagal “mengakhiri segalanya” seperti yang mereka katakan, meski mereka mengerahkan meriam kaliber besar.
Di tengah gemuruh itu, Surya mulai membenci benteng ini.
Benteng sesungguhnya tidak lagi cocok dengan perang modern, bahkan seolah tidak seharusnya ada...
Benteng lebih pas untuk pertempuran di masa lalu, ketika musuh hanya membawa senjata tajam atau kavaleri. Namun kini, dengan artileri dan pesawat, benteng justru menjadi perangkap.
Artileri dan pesawat Belanda dengan mudah melintasi tembok kota dan menghantam pusat pertahanan. Mereka juga menempatkan pasukan di jalur strategis, seperti jembatan dan tepi sungai, sehingga pasukan Republik yang bertahan di benteng semakin terkepung.
Surya sadar, benteng ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Tujuan awalnya memang untuk menahan laju musuh, tapi pasukan utama Belanda justru sudah berhasil menyusup jauh ke pedalaman Jawa.
Suara dentuman meriam perlahan mereda, tetapi keadaan tetap suram.
Masalah terbesarnya adalah air minum.
Saat hendak menyeberangi sungai beberapa waktu lalu, para prajurit terlalu sibuk bertempur sehingga tidak sempat mengisi perbekalan air. Kini, air di dalam kendi mulai habis, terutama bagi para prajurit yang terluka dan anak-anak kecil di ruang bawah tanah. Mereka bukan hanya butuh air untuk luka, tapi juga untuk bertahan hidup.
Mayor Wiratmaja terpaksa mengirim regu kecil untuk mengambil air di sungai, tetapi Belanda sudah menutup jalur itu dengan ketat. Hampir setiap kali ada yang berangkat, hanya satu atau dua yang berhasil kembali.
“Itu ulah pengkhianat!” desis Mayor Wiratmaja, geram. “Dia tahu persis kelemahan kita, dan dia paham medan di sini!”
Dugaan Mayor Wiratmaja masuk akal. Tidak mungkin Belanda tahu titik-titik pengambilan air yang aman tanpa ada penghianat yang menunjukkan jalannya.
Dan benar saja suara seseorang terdengar dari pengeras suara Belanda:
“Kawan, saya instruktur kalian, Joko Dodo!”
Para prajurit terperanjat.
Mayor Wiratmaja mengumpat: “Bajingan! Dia benar-benar menyebut dirinya instruktur setelah menjual bangsanya sendiri!”
Komisaris Zulfan juga ikut mengutuknya.
Namun suara Joko tetap terdengar jelas dari pengeras suara Belanda:
“Harus kuakui, tak ada gunanya melawan! Pasukan Belanda sudah menguasai sebagian besar kota, bahkan Yogya hampir jatuh sepenuhnya. Tahukah kalian apa artinya ini? Dari sini hingga Magelang, seluruh jalur sudah dikuasai mereka. Kalian mau lari ke mana? Menyerahlah! Demi keluarga kalian, demi istri dan anak-anak kalian...”
Kata-kata Joko menusuk hati para prajurit. Lebih berbahaya daripada dentuman meriam. Suara itu membuat sebagian prajurit mulai kehilangan semangat. Surya melihat beberapa menunduk, sementara dari sudut lain terdengar tangis perempuan dan anak-anak.
Surya merasa mual. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ada orang yang begitu tega mengkhianati bangsanya lalu masih berani bicara seolah-olah benar.
Tak terhindarkan, semakin banyak prajurit Republik yang diam-diam menyelinap keluar di kegelapan malam, memilih menyerah ke kubu Belanda.
Mayor Wiratmaja dan Komisaris Zulfan tidak mampu menghentikan semuanya.
Faktanya, mereka pun mulai goyah.
Setelah lama terdiam, Komisaris Zulfan akhirnya berkata lirih:
“Mungkin... kita harus mengirim perempuan dan anak-anak keluar. Lebih baik mereka diserahkan daripada mati kehausan di sini.”
Mayor Wiratmaja terdiam lama, lalu mengangguk pasrah.
Maka, dengan berlinang air mata, para perempuan, orang tua, dan anak-anak itu keluar dari ruang bawah tanah. Dengan tangan gemetar, mereka berjalan perlahan menuju kamp Belanda, hingga hilang ditelan gelap malam.
Rian hanya bisa tersenyum getir. Ia tahu, sejarah pernah mencatat peristiwa serupa, tapi ia tak menyangka akan mengalaminya sendiri.
Namun masih ada belasan gadis muda yang memilih bertahan.
“Kenapa mereka tidak ikut pergi?” tanya Surya, heran.
Malik, salah seorang pemuda, menjawab getir:
“Mereka lajang... dan cantik. Mereka tahu, jika menyerah, Belanda tidak akan melepaskan mereka begitu saja.”
Surya terdiam. Ia mengerti.
Di masa perang, kecantikan bisa berubah menjadi kutukan.