“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6
“Saya bisa bantu kamu melunasi semuanya bahkan saya bisa kasih kamu uang tambahan. Asalkan kamu mau melakukan apa pun yang saya mau.”
Citra berusaha tersenyum tipis dan memperbaiki posisi duduknya di atas ranjangnya.
“Maksudnya Bapak apa? Saya nggak paham,” balasnya Citra yang akhirnya bisa menguasai keterkejutannya.
Pria berperawakan tinggi tegap yang berusia kira-kira sekitar 50 tahunan itu menatap intens Citra yang salah tingkah.
“Perkenalkan saya adalah Pak Ridho dan kebetulan saya mendapatkan tugas khusus dari majikan saya untuk mencari perempuan yang mau menjadi pengasuh cucu kembarnya karena kebetulan menantu di keluarga besar majikan saya itu meninggal dunia beberapa hari lalu setelah mengalami kecelakaan dan kebetulan anak-anaknya masih bayi,” jelas Pak Ridho yang to the points ke inti tujuan utamanya mendatangi Citra.
Citra tersenyum simpul sebelum membalas perkataan Pak Ridho,” maaf Pak, kenapa Bapak meminta saya yang menjadi pengasuh mereka? Bukannya banyak yayasan yang menyediakan khusus jasa baby sitter dan bapak itu belum mengenal saya.”
Pak Ridho tersenyum hangat,” Bapak sudah perhatikan kamu beberapa hari lalu sejak kamu di rawat di sini. Bapak sangat yakin dengan penilaian bapak kalau hanya kamu yang cocok mengembang amanah untuk merawat, menjaga dan mengasuh baby twins.”
Citra ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya hanya saja hal itu sangat jelas-jelas tidak sopan dan merendahkan orang lain. Bukan karena tidak menghargai pak Ridho tapi bagi Citra ini hal yang tidak masuk akal baginya.
Citra perlahan memperbaiki posisi duduknya, menarik napas pelan sambil menahan nyeri di bagian perutnya. Ia menatap Pak Ridho yang sudah duduk di kursi plastik usang di samping ranjang, dan berusaha memberi senyum tipis meski batinnya masih kacau.
“Bapak kayaknya salah menilai diriku,” katanya hati-hati, takut terdengar tidak sopan.
“Bapak mungkin saja hanya terbawa suasana, sehingga menginginkan dan memilih saya jadi baby sitter anak majikan bapak. Bagaimana kalau saya misalnya penipu, atau mungkin penjahat?” ujarnya Citra yang ingin melihat reaksinya Pak Ridho.
Nada suaranya merendah di akhir kalimat bukan merendah diri, tapi bentuk tanggung jawab moral agar tak ada orang yang menciptakan harapan palsu padanya.
Pak Ridho langsung terpingkal, kepalanya terangguk-angguk sambil menutup mulutnya, seperti baru mendengar acara komedi lucu dari acara televisi.
“Hahaha! Kamu ini, Nak… cukup pandai juga bermain kata!” ujarnya sambil menyeka ujung matanya yang sedikit berair karena kebanyakan tertawa.
Ia lalu mencondongkan tubuhnya, menatap Citra dengan tatapan yang menghangatkan hati.
“Selama hidupnya Bapak,” lanjutnya, “sudah banyak orang Bapak temui. Mulai dari yang suka nyolong sabun rumah sakit, sampai yang suka ngaku-ngaku punya rumah padahal ngontrak.”
Beliau mengedip jahil, membuat Citra menahan tawa kecilnya. “Dan Alhamdulillah, Bapak bisa bedakan mana orang baik, mana yang cuma modal nekat, cuma dari lihat raut wajahnya.”
Ia menepuk lututnya pelan. “Penilaian Bapak tentang kamu? Insya Allah tidak keliru.”
Citra menunduk sedikit, tersenyum malu. Namun matanya perlahan berkaca-kaca tidak percaya bahwa masih ada orang asing yang bersedia memperlakukannya dengan hormat setelah semua hinaan yang ia terima sebelumnya.
Pak Ridho kemudian menambahkan, lebih lembut namun tetap jenaka,
“Lagian, kalau kamu penjahat, wajahmu nggak akan selelah itu. Penjahat biasanya punya waktu buat tidur nyenyak. Kamu?” ia menunjuk ke lingkar mata Citra yang lebih mirip panda dari China.
“Kelihatan sekali hidupmu lebih berat daripada gaji Bapak tiap bulan.” candanya.
Citra akhirnya tertawa kecil, untuk pertama kalinya sejak banyak kejadian buruk yang menimpanya. Suasana bangsal yang semula muram kini terasa jauh lebih santai dan hangat.
“Jadi,” ujar Pak Ridho sambil bersandar, “kalau kamu mau percaya pada Bapak, ikutlah pelan-pelan. Kalau tidak, Bapak tetap hormati yang penting kamu aman dulu, Nak.” imbuhnya.
Pak Ridho mengambil ponselnya dari dalam saku jaket lusuh yang selalu ia kenakan ke mana-mana. Gerakannya cepat namun mantap, seolah ia sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.
Tanpa banyak bicara, ia mengetikkan sebuah nomor—nomor yang sama sekali tidak dikenali Citra lalu menempelkan ponselnya itu ke telinganya.
Citra hanya bisa diam, menatapnya dengan dahi sedikit berkerut. Jantungnya berdebar, antara penasaran dan khawatir.
Pak Ridho berbicara seperlunya, nada suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menyelesaikan sesuatu yang sudah lama ia putuskan.
“Iya, Pak… yang atas nama Citra, ruang rawat kelas tiga… iya, semua. Langsung saja diproses.”
Tidak sampai dua menit, panggilan itu berakhir. Pak Ridho memasukkan ponselnya kembali ke jaketnya, lalu menatap Citra dengan ekspresi puas layaknya seorang ayah yang baru saja selesai menegur putrinya.
“Bapak sudah menyelesaikan dan melunasi semua biaya perawatan kamu selama dirawat di RS ini,” ucapnya tenang.
“Dan Bapak hanya butuh kamu bersedia atau tidak. Bapak mohon kamu mengiyakan permintaan dan ajakan Bapak. Insha Allah… kamu nggak bakal rugi dan hidup kamu akan jauh lebih baik dari sebelumnya.”
Citra tersentak, mata bulatnya membesar, pipinya memerah menahan campuran terheran-heran dan juga tidak percaya.
“Bapak! Kenapa langsung membayar biayanya? Kan saya belum setuju untuk bekerja sama dengan Bapak!” protesnya, nada suaranya naik setengah oktaf.
Wajah imutnya yang biasanya pucat dan lemah kali ini menggemaskan sekali ketika cemberut.
Melihat ekspresi itu, dada Pak Ridho mendadak sesak. Bukan karena sedih, tapi karena sebuah kenangan muncul dengan jelas yaitu tentang anak perempuannya yang hilang beberapa tahun lalu, usia empat tahun, memiliki tatapan yang sama membulat marah tapi tetap terlihat polos. Tatapan yang selalu membuatnya luluh.
Dan melihat Citra menatapnya seperti itu, entah mengapa hatinya langsung ingin menjaganya.
Bukannya marah, Pak Ridho justru tertawa lebar. “Hahaha! Kamu ini, Nak memang berbeda!”
Citra mengerutkan alisnya melihat lelaki paruh baya itu. “Bapak malah ketawa…”
Pak Ridho mengangkat telapak tangannya, seolah menenangkan.
“Bapak yakin kamu pasti akan setuju,” ujarnya mantap. “Jadi nggak perlu repot-repot buang-buang waktu untuk protes apalagi menolaknya, karena intinya kehidupanmu akan lebih baik dari sebelumnya.”
Suaranya berubah sedikit tegas, namun tetap terasa hangat dan ramah.
“Kamu cukup bekerja dengan baik menjaga Tuan Muda dan Nona Muda kecil kami. Gaji kamu cukup besar, loh! Dan tidak semua orang beruntung seperti kamu. Jadi Bapak meminta kepada kamu untuk setuju!”
Citra terdiam lagi, kali ini bukan karena bingung, tapi karena merasa didesak dengan cara yang entah bagaimana tidak bisa ia protes ataupun tolak.
Di dadanya, perasaan campur aduk itu mulai menembus yaitu antara heran, terharu, takut, sekaligus sedikit percaya.
Pak Ridho hanya tersenyum kecil, senyum seorang pria dewasa yang sudah terlalu sering melihat kehidupan pribadi orang-orang yang bekerja di rumah majikannya, tetapi tetap berusaha memberi kebaikan kepada orang lain.
“Ya Allah… semoga anak ini mau menerima tawaranku.” Pak Ridho membatin.
Matanya yang tadi membulat karena protes perlahan mengecil, seperti seseorang yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Alisnya mengerut tipis, bukan karena marah, melainkan karena ia benar-benar sedang menimbang sesuatu yang berat. Bibirnya sedikit terkatup rapat, menahan kata-kata yang masih disimpan agar tidak keluar terlalu cepat.
Pipinya yang pucat tertimpa cahaya lampu bangsal, memperlihatkan pergeseran emosi dari ragu, takut, lalu berubah menjadi semacam ketenangan yang dipaksakan. Kepalanya menunduk sedikit, dagunya jatuh perlahan seakan bebannya bertambah.
Satu tangannya meremas ujung selimut, kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan saat pikirannya kacau.
Namun mata Citra itulah yang paling jujur. Ada harapan kecil menyala, meski diselimuti rasa waswas. Tatapan itu bergerak-gerak, kadang ke jendela, kadang ke lantai, seakan mencari tanda dari langit.
“Ya Allah… saya takut. Saya hanya ingin selamat, ingin hidup saya berubah ke arah yang lebih baik. Jika jalan ini benar, mudahkanlah. Kalau bukan jalannya, tolong jauhkan. Jangan biarkan saya salah melangkah lagi.” batinnya.
Kelopak matanya bergetar, menahan air mata yang tidak ia ingin tunjukkan di depan siapa pun. Ia menarik napas pelan, mencoba meneguhkan dirinya.
Lalu, ketika ia kembali mengangkat wajahnya, tampak jelas kerendahan hati dan kesungguhan dalam tatapannya.
Wajah seorang perempuan yang sudah terlalu sering dipatahkan hidup, tapi masih berusaha untuk memilih jalan yang benar, bukan jalan yang terburu-buru apalagi jalan yang instan.
Gambaran mimiknya itu campuran antara takut, pasrah, dan secercah harapan membuat Pak Ridho terdiam sejenak.
Seolah ia sedang melihat seseorang yang siap melangkah hanya menunggu keberanian terakhir untuk mengatakan iya atau tidak.
Dalam diamnya, Pak Ridho menatap Citra yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya lembut, tapi di balik tatapan itu hatinya berkecamuk.
“Aku bukan mau memaksa, tapi aku tahu dia butuh jalan keluar dan aku juga butuh seseorang yang bisa dipercaya di rumah itu.”
Ia menghela napas perlahan, menahan rasa sesak yang entah datang dari rindu pada anaknya atau iba pada Citra.
“Kasihan sekali… anak seumur ini sudah harus menanggung derita sebanyak itu.”
Tatapannya turun ke tangan Citra yang meremas selimut.
“Kalau saja anakku masih ada pasti usianya hampir seusia dia.” cicitnya.
Ada getir samar di matanya, tapi ia segera menghapusnya dengan senyum tipis.
“Ya Allah, lindungi dia. Kalau benar dia orang baik, kuatkan hatinya untuk percaya sama orang tua seperti aku.” gumamnya.
“Aku janji bakal jaga dia, nggak akan biarkan dia diperlakukan seenaknya lagi seperti keluarga mantan suaminya yang toxic itu.” cicit Pak Ridho.
Ia menegakkan punggungnya sedikit, menatap Citra dengan harapan yang tak ia ucapkan.
“Semoga dia melihat kesungguhanku, moga dia paham kalau aku tulus. Anak ini pantas dapat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.”
Senyumnya mengembang hangat. “Ayolah, Nak… terimalah. Biar Bapak bisa bantu kamu memulai hidup baru.”
Citra masih terdiam, tak juga membuka suara. Pandangannya kosong menembus lantai, seakan pikirannya melayang jauh dari bangsal itu. Keheningan itu membuat dada Pak Ridho mulai mengencang.
Ia menelan ludah pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk lututnya gelisah kebiasaan lamanya setiap kali menunggu sesuatu yang penting.
“Aduh Nak… jangan diam begini. Bapak bisa kena jantungan kalau lama-lama begini,” batinnya merintih sendiri.
Mata tuanya tak lepas dari Citra. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit serasa berjam-jam. Ia bahkan sempat memalingkan wajah, takut harapannya dipatahkan.
Hingga akhirnya Citra mengangkat wajahnya perlahan. Di sana, di mata gadis itu ada keputusan.
Suara Citra keluar pelan tapi sedikit serak, hati-hati dan cukup jelas.
“Maaf Pak, saya tidak setuju…” ucapnya.
Seolah kalimat itu menjatuhkan palu tepat di depan wajahnya, mimik Pak Ridho langsung berubah drastis.
Mata yang tadinya penuh harapan membesar lagi kali ini bukan terkejut manis, tetapi terkejut getir.
Kelopak matanya naik sedikit, menampakkan keterkejutan yang benar-benar nyata. Sorot hangatnya meredup, seperti lampu yang tiba-tiba kekurangan daya listrik.
Alisnya perlahan merapat ke tengah, membentuk garis tipis antara bingung dan tidak percaya. Ia tidak marah bukan itu yang tampak adalah kebingungan seorang lelaki yang tidak siap menerima jawaban berlawanan dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Mulutnya terbuka sedikit, jemari bibirnya turun, membuat wajahnya terlihat kosong sejenak.
Sudut bibir yang tadinya mengangkat senyum perlahan jatuh, merosot halus seperti kain yang kehilangan pegangan.
Pipinya tampak menegang lembut, menunjukkan bahwa hatinya tertahan sesuatu mungkin kecewa, mungkin juga takut salah langkah.
Wajahnya memucat setipis bayangan, bukan karena marah, tapi karena ia benar-benar tidak menyangka gadis itu menolak.
Ada kilatan hampa sepersekian detik di matanya, seperti seseorang yang sedang memproses ulang kalimat yang baru ia dengar.
Dan saat ia akhirnya bisa bernapas kembali, hanya satu hal yang terucap dari bibirnya.
“Nak… kenapa jawabanmu seperti itu?” tanyanya dengan nada lesu dan terlihat kecewa.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.