Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Teriakan di Halaman Depan
Pintu gudang itu berderit nyaring saat sosok misterius dari balik bayang-bayang melangkah maju dengan sebuah pisau lipat yang berkilat terkena sisa cahaya fajar. Fatimah merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat sorot mata beringas pria yang kini menyeringai ke arahnya dengan tatapan lapar akan nyawa. Di luar sana, suara gaduh teriakan dan benturan fisik antara kelompok Pratama dan Arfan masih terdengar bersahutan, namun di dalam gudang ini, maut terasa jauh lebih nyata dan dingin.
"Jadi ini rupa sang putri mahkota yang hilang itu? Sungguh tempat persembunyian yang sangat menjijikkan bagi seseorang yang memiliki darah ningrat seperti kamu," ucap pria itu dengan suara serak yang mengerikan.
Fatimah merapatkan punggungnya ke dinding kayu yang mulai keropos, mencoba mencari celah untuk melarikan diri namun jalur menuju pintu sudah tertutup rapat oleh tubuh kekar sang penyusup. Jemarinya yang gemetar meraba celah-celah papan, berharap menemukan benda apa saja yang bisa digunakan untuk membela diri dari ujung logam yang semakin dekat itu. Ketakutan yang amat sangat membuatnya hampir kehilangan suara, namun ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan yang bisa ia ambil saat ini.
"Siapa kamu? Mengapa kamu berada di sini dan apa yang kamu inginkan dariku?" tanya Fatimah dengan nada suara yang berusaha ia tegarkan meskipun getarannya tidak bisa disembunyikan.
"Aku hanyalah orang yang dibayar untuk memastikan kamu tidak pernah sampai ke tangan ayahmu hidup-hidup, Zahra," jawab pria itu sambil memutar-mutar pisau di jemarinya.
Pria itu menerjang maju dengan kecepatan yang tidak terduga, memaksa Fatimah untuk berguling ke samping menghindari sabetan pisau yang hampir saja merobek kain cadarnya. Debu-debu gudang yang terbang memenuhi udara membuat Fatimah terbatuk-batuk, sementara matanya terus mencari posisi lawan yang kini mulai tertawa melihat kepanikannya. Ia menyadari bahwa pria ini bukanlah bagian dari anak-buah ayahnya, melainkan pihak lain yang menginginkan kehancuran total bagi keluarga Al-Fahri.
Di halaman depan panti asuhan, Arfan baru saja menjatuhkan salah satu pengawal Pratama dengan sebuah tendangan telak ke arah perut sebelum ia mendengar suara gaduh dari arah gudang belakang. Firasatnya memburuk seketika saat menyadari bahwa Haikal dan Pratama nampak terkejut mendengar suara benturan keras dari dalam bangunan kayu tersebut. Tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, Arfan menerjang kepungan itu dan berlari secepat kilat menuju pintu samping yang tadi dimasuki oleh Fatimah.
"Fatimah! Apa yang terjadi di dalam sana? Jawab aku!" teriak Arfan sambil menggedor-gedor pintu gudang yang terkunci rapat dari dalam.
"Tuan Arfan, tolong! Ada orang bersenjata di sini!" jerit Fatimah saat pria misterius itu kembali menyudutkannya di balik tumpukan karung beras.
"Minggir, Pengacara! Biar anak-buahku yang mendobrak pintu itu, karena putriku ada di dalam!" perintah Pratama yang baru saja tiba di depan pintu dengan nafas yang terengah-engah.
Arfan mengabaikan perintah Pratama dan justru menggunakan seluruh berat tubuhnya untuk menghantam pintu kayu tersebut hingga engselnya mulai goyah dan retak-retak. Ia tahu bahwa setiap detik sangat berharga bagi nyawa Fatimah yang sedang terancam oleh sosok yang tidak dikenal di dalam kegelapan gudang itu. Di sisi lain, Haikal mulai mengarahkan senjata apinya ke arah kunci pintu, namun Arfan segera menepis tangan pria bengis itu agar tidak terjadi peluru nyasar yang membahayakan.
"Jangan menembak, bodoh! Kamu bisa mengenai wanita di dalam sana!" bentak Arfan dengan kemarahan yang meluap-luap.
"Lalu apa rencanamu? Menunggu sampai dia mati dibantai oleh penyusup itu?" balas Haikal dengan wajah yang memerah karena kesal.
"Minggir dan biarkan aku yang masuk terlebih dahulu!" seru Arfan sambil melakukan hantaman terakhir yang akhirnya membuat pintu itu jebol dengan suara berdentum.
Arfan melompat masuk ke dalam gudang yang pengap tepat saat pria misterius itu mengayunkan pisaunya ke arah leher Fatimah yang sudah terjepit di sudut ruangan. Dengan gerakan refleks yang luar biasa, Arfan menangkap pergelangan tangan pria itu dan memutarnya hingga terdengar suara tulang yang bergeser cukup keras. Pria misterius itu mengerang kesakitan namun ia tetap melakukan perlawanan dengan menggunakan kaki untuk menendang tulang kering Arfan hingga keseimbangan sang pengacara sedikit goyah.
Fatimah segera merangkak menjauh dari zona perkelahian itu dengan tubuh yang lemas dan pakaian yang sudah penuh dengan noda debu hitam. Ia melihat Arfan berduel dengan sangat sengit di tengah cahaya remang-remang, di mana kilatan pisau dan hantaman kepalan tangan menjadi satu-satunya pemandangan yang mencekam. Arfan yang biasanya nampak tenang dan intelek kini berubah menjadi sosok pelindung yang sangat garang demi menjaga nyawa wanita yang baru dikenalnya itu.
"Lari ke arah pintu belakang, Fatimah! Jangan menoleh ke belakang sedikit pun!" perintah Arfan sambil menahan hantaman siku dari lawannya.
"Tapi bagaimana dengan Anda, Tuan Arfan? Dia sangat berbahaya!" seru Fatimah dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.
"Cepat pergi sekarang atau semua pengorbanan ini akan sia-sia saja!" balas Arfan dengan suara yang tertahan karena rasa sakit.
Fatimah akhirnya berdiri dan berlari menuju pintu kecil di bagian belakang gudang yang menuju ke arah kebun pisau yang rimbun dan gelap. Ia bisa mendengar suara Pratama dan para pengawalnya yang mulai masuk ke dalam gudang dari pintu depan, menciptakan keributan baru yang semakin memperkeruh keadaan. Langkah-langkah kaki Fatimah terasa sangat berat saat ia harus melewati tanah yang becek akibat sisa hujan semalam, namun keinginan untuk bertahan hidup memberikan kekuatan tambahan pada kakinya.
Di dalam gudang, Pratama berdiri dengan wajah kaku saat melihat Arfan berhasil melumpuhkan pria misterius itu dan menekannya ke lantai dengan teknik kuncian yang mematikan. Namun, bukannya merasa lega karena putrinya selamat, Pratama justru nampak sangat marah saat menyadari bahwa Fatimah telah melarikan diri lagi melalui pintu belakang. Ia memberikan isyarat kepada Haikal untuk segera melakukan pengejaran ke arah kebun tanpa memperdulikan kondisi Arfan yang mulai kehabisan tenaga.
"Tangkap dia hidup-hidup, Haikal! Jangan biarkan dia menghilang lagi ke dalam kegelapan kota ini!" teriak Pratama dengan suara yang bergetar karena emosi.
"Tuan Pratama, pria ini adalah pembunuh bayaran yang dikirim untuk menghabisi putri Anda! Anda seharusnya berterima kasih karena saya sudah menghentikannya!" ucap Arfan sambil mengatur nafasnya yang memburu.
"Aku tidak butuh bantuan dari orang sepertimu untuk mengurus keluargaku sendiri, Arfan!" balas Pratama sambil melangkah keluar dari gudang dengan angkuh.
Arfan menatap pria misterius yang kini pingsan di bawah kakinya, lalu ia melihat ke arah pintu belakang di mana Fatimah baru saja menghilang. Hatinya merasa sangat tidak tenang karena ia tahu bahwa di luar sana bukan hanya Haikal yang mengejar, melainkan ada bahaya lain yang jauh lebih besar sedang mengintai. Ia merasa ada sebuah rencana besar yang sedang berjalan di balik pencarian Zahra Al-Fahri ini, sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar urusan warisan atau skandal perusahaan.
Fatimah terus berlari melewati pepohonan pisau yang rimbun, mengabaikan duri-duri kecil yang menggores lengan dan kain pakaiannya hingga terasa sangat perih. Ia bisa mendengar suara langkah kaki Haikal yang semakin mendekat, serta teriakan-teriakan pria itu yang memerintahkannya untuk segera berhenti dan menyerah. Di depan sana, ia melihat sebuah pagar tembok tinggi yang membatasi area panti dengan perkampungan warga yang padat, satu-satunya jalan keluar untuk benar-benar menghilang.
"Berhenti di sana, Zahra! Tidak ada gunanya kamu melarikan diri karena seluruh sudut tempat ini sudah kami kepung dengan rapat!" teriak Haikal dari kejauhan.
Fatimah tidak menjawab dan justru menggunakan sisa tenaganya untuk memanjat tumpukan kayu tua yang bersandar pada tembok pagar tersebut. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga telinganya berdenging, sementara keringat dingin mulai membasahi seluruh permukaan kulit di balik pakaian tertutupnya. Saat ia mencapai puncak tembok, ia sempat menoleh ke belakang sejenak dan melihat kilatan lampu senter dari beberapa orang yang mulai menyebar di dalam kebun.
Ia melompat ke sisi lain tembok tanpa tahu apa yang menantinya di bawah sana, hanya berharap bahwa Tuhan masih memberikan kesempatan baginya untuk melihat matahari esok hari. Tubuhnya menghantam tumpukan sampah kering yang cukup empuk, namun pergelangan kakinya terasa sangat nyeri saat ia mencoba untuk segera berdiri kembali. Di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang, Fatimah mulai berjalan tertatih-tatih memasuki gang-gang sempit perkampungan yang nampak seperti labirin raksasa yang membingungkan.
Sementara itu, di halaman panti, Ibu Sarah nampak duduk lemas di kursi kayu sambil terus berdoa dengan linangan air mata yang membasahi pipinya yang sudah mulai keriput. Beberapa anak yatim mulai memberanikan diri mendekat dan memeluk wanita tua itu, mencoba memberikan kekuatan meskipun mereka sendiri sangat ketakutan. Kejadian pagi ini telah merenggut kedamaian yang selama ini mereka jaga dengan susah payah di rumah sederhana tersebut.
Arfan berjalan keluar dari gudang dengan langkah yang sedikit pincang, lalu ia menghampiri Ibu Sarah untuk memastikan keadaan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu. Ia merasa sangat bersalah karena keberadaannya di panti ini secara tidak langsung telah menarik perhatian keluarga Al-Fahri dan membawa bahaya bagi anak-anak. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia tidak ada di sana tadi, Fatimah mungkin sudah tidak bernyawa lagi di tangan sang pembunuh bayaran misterius.
"Maafkan saya, Ibu Sarah. Saya tidak bermaksud membuat tempat ini menjadi medan pertempuran bagi orang-orang jahat itu," ucap Arfan dengan suara yang penuh penyesalan.
"Ini bukan salahmu, Arfan. Ini adalah ujian bagi kita semua untuk melihat seberapa kuat iman dan kesabaran kita dalam menghadapi kezaliman dunia," jawab Ibu Sarah sambil mengusap air matanya.
"Aku akan mencari Fatimah dan memastikannya aman, Ibu. Saya berjanji tidak akan membiarkan mereka menyakiti wanita itu lagi," tegas Arfan sambil menatap ke arah tembok belakang panti.
Arfan segera bergegas menuju mobilnya yang terparkir di luar gerbang, namun langkahnya terhenti saat ia melihat sebuah amplop cokelat kecil tergeletak di dekat ban mobilnya. Ia mengambil amplop itu dan membukanya dengan rasa penasaran yang besar, hanya untuk menemukan sebuah foto lama yang sudah mulai menguning di bagian pinggirnya. Foto itu menunjukkan dua orang gadis kecil yang sedang tertawa bahagia di sebuah taman bunga, dan salah satu dari mereka memiliki sorot mata yang persis dengan milik Fatimah.
Di balik foto tersebut tertulis sebuah pesan pendek yang ditulis dengan tinta merah yang nampak sangat segar, seolah-olah baru saja diletakkan di sana beberapa menit yang lalu. Arfan merasakan bulu kuduknya meremang saat membaca deretan kata yang tertulis di sana, karena pesan itu bukan hanya sekadar ancaman, melainkan sebuah teka-teki yang mematikan. Ia menyadari bahwa lawan yang ia hadapi kali ini bukanlah sembarang orang, melainkan seseorang yang mengenal masa lalunya dengan sangat detail.
Isi pesan di balik foto itu membuat nafas Arfan tertahan sejenak, karena tertulis sebuah kalimat yang menyatakan bahwa matahari esok yang terancam bukan hanya milik Fatimah, melainkan juga milik masa depan panti asuhan ini.