Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memanjat pohon jambu
Namun, beberapa jam kemudian, Emelia mulai terlihat terengah-engah. Keringat membasahi dahinya, dan gerakannya melambat. Duke Gideon, yang mengawasi setiap gerakannya, segera menyadari ini.
"Cukup untuk hari ini, Emelia," panggil Gideon.
Emelia, yang sedang berduel ringan dengan seorang prajurit, menghentikan gerakannya. Dia mengelap keringat dengan punggung tangannya dan berjalan gontai ke arah suaminya, napasnya tersengal.
"Aku... aku baik-baik saja," katanya, meskipun tubuhnya jelas lelah.
Gideon tersenyum dan menyerahkan botol air minum dari pinggangnya. "Aku bilang istirahat. Kamu sudah melakukannya dengan sangat baik." Dia menunjuk ke tenda istirahat yang sudah disiapkan di bawah pohon besar. "Duduklah di sana, aku akan menyelesaikan sesi ini."
Emelia tidak membantah. Dia memang sangat lelah. Dengan rasa terima kasih, dia menerima botol minum itu dan berjalan menuju tempat teduh. Dia duduk di atas karpet yang digelar, meneguk airnya, dan mengamati suaminya yang kembali fokus melatih pasukannya.
Emelia duduk bersila di atas karpet, memandangi botol minumnya yang sudah kosong. Kelelahan yang luar biasa mulai berganti menjadi rasa lapar yang menggerogoti. Perutnya mulai keroncongan pelan.
"Lapar," gumamnya, menyentuh perutnya.
Matanya melirik sekeliling area perkemahan untuk mencari tenda logistik atau tempat makanan disiapkan, tetapi yang terlihat hanya hutan lebat di sekeliling mereka. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah pohon besar dengan dedaunan lebat di pinggir area latihan, yang sepertinya bukan pohon biasa. Matanya memicing, mengamati buah-buah kecil berwarna merah muda yang menggantung di ranting-rantingnya. Pohon jambu, pikirnya penuh semangat.
Emelia berdiri dengan cepat, menyelinap menjauhi pandangan Gideon yang sibuk, dan berjalan ke arah pohon itu. Insting petualang dan rasa laparnya mengalahkan akal sehatnya untuk meminta izin terlebih dahulu. Dengan lincah, seperti anak kecil, dia mulai memanjat pohon jambu itu.
Sementara itu, di lapangan latihan, Gideon baru saja menyelesaikan demonstrasi teknik pedang. Pandangannya secara naluriah mencari sosok istrinya di bawah pohon teduh. Alisnya bertaut ketika karpet itu kosong.
"Ke mana dia?" gumamnya khawatir, mengedarkan pandangan ke sekeliling perkemahan.
Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik daun yang keras dan keributan dari arah pohon jambu. Gideon menoleh tepat pada waktunya untuk melihat cabang yang diinjak Emelia patah.
"Emelia!" seru Duke panik.
Emelia menjerit kecil saat keseimbangannya hilang dan ia mulai jatuh dari ketinggian beberapa meter. Namun, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, dua lengan kekar menangkapnya dengan sigap. Emelia mendarat dengan selamat di pelukan Gideon yang terengah-engah karena berlari cepat.
Gideon menatap Emelia dengan campuran amarah, kekhawatiran, dan rasa geli yang sulit disembunyikan. Wajah Emelia memerah, bukan hanya karena malu, tetapi juga karena berhasil memetik beberapa buah jambu yang masih digenggam erat di tangannya.
"Dasar gadis kecil," ejek Gideon lembut, meskipun suaranya masih terdengar tegang karena syok. "Apa yang kau lakukan di atas sana? Bagaimana kalau kau terluka?"
Emelia menggigit bibirnya, menawarkan buah jambu yang ada di tangannya dengan ekspresi bersalah. "Aku... aku lapar, Gideon. Dan aku melihat pohon jambu ini."
Gideon menghela napas panjang, tidak bisa marah melihat tingkah polos istrinya. Dia menurunkan Emelia perlahan ke tanah, tetapi tetap memegang pinggangnya. Dia mengambil salah satu buah jambu dari tangan Emelia dan tersenyum.
"Lain kali, Nyonya Adipati, kau cukup memintanya," kata Gideon. "Aku bisa meminta anak buahku memanjatkannya untukmu. Tidak perlu mempertaruhkan lehermu sendiri."
Emelia tersipu dan menundukkan kepalanya. "Maafkan aku."
Duke Gideon tertawa kecil, tawa yang hangat dan jarang terdengar oleh pasukannya yang kini menonton adegan itu dengan penuh minat. Dia mengecup kening Emelia dengan lembut. "Sekarang, ayo kita makan jambu ini bersama. Sepertinya kau berhasil memetik yang terbaik."