Selina Ratu Afensa tak pernah menduga hidupnya berubah drastis saat menerima pekerjaan sebagai pengasuh di keluarga terpandang. Ia pikir hanya akan menjaga tiga anak lelaki biasa, namun yang menunggunya justru tiga badboy yang terkenal keras kepala, arogan dan penuh masalah
Sargio Arlanka Navarez yang dingin dan misterius, Samudra Arlanka Navarez si pemberontak dengan sikap seenaknya dan Sagara Arlanka Navarez adik bungsu yang memiliki trauma dan sikap sedikit manja. Tiga karakter berbeda, satu kesamaan yaitu mereka sulit di jinakkan
Di mata orang lain, mereka adalah mimpi buruk. Tapi di mata Selina, mereka adalah anak anak kesepian yang butuh di pahami. Tanpa ia sadari, keberaniannya menghadapi mereka justru mengguncang dunia ketiga badboy itu dan perlahan, ia menjadi pusat dari perubahan yang tak seorang pun bayangkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Blue🩵, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stress mengurus mereka
Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.
“Sagara… sarapannya sudah siap” ucapnya dari luar pintu, berusaha sopan
Masih sunyi
Selina menggigit bibir bawahnya, lalu kembali mengetuk “Maaf aku ganggu… tapi sudah siang. Nanti terlambat ke sekolah…”
Klik
Tiba tiba pintu terbuka. Selina langsung mundur setengah langkah
Di hadapannya berdiri Sagara, setengah rambutnya masih basah, kemeja sekolah putihnya baru di kancingkan separuh, memperlihatkan bagian dada bidangnya yang dingin seperti ekspresi wajahnya
Mata Sagara yang tajam menatap Selina datar, sama sekali tak terganggu oleh kehadirannya. Tapi berbeda dengan Selina yang langsung panik
“A-astaga! Maaf, maaf!” Selina spontan memutar badan membelakangi Sagara dan menutup matanya rapat rapat dengan kedua tangan. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak kencang
“A-aku cuma mau ngasih tahu sarapannya udah siap! Maaf… saya nggak maksud ngintip sumpah!”
Suara gesekan kain terdengar, Selina bisa menduga Sagara sedang menyelesaikan kancing bajunya
“Hmm” ucap suara berat itu datar
Selina langsung mengangguk meski tak melihat ke belakang “Y-yaudah kalau gitu aku turun sekarang!”
Ia pun cepat cepat melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, hampir tersandung di anak tangga pertama karena gugupnya belum reda. Pipi Selina panas bukan main
Sementara itu, dari balik pintu yang belum sepenuhnya tertutup, Sagara berdiri diam, memperhatikan punggung Selina yang menjauh
Untuk sesaat, sudut bibirnya menekuk sangat tipis. Bukan senyuman… tapi sejenis ketertarikan kecil
Langkah Selina terburu buru saat menuruni tangga. Pipinya masih panas, pikirannya masih belum pulih dari insiden memalukan barusan. Ia berusaha menenangkan napasnya, berharap tidak bertemu siapa pun sebelum wajahnya kembali ke warna normal
Begitu sampai di ruang makan, Selina kembali memastikan semua perlengkapan ketiga kembaran itu sudah siap di meja. Tas sekolah sudah di bereskan olehnya dan di taruh rapi dekat pintu. Sopir keluarga pun sudah bersiap di halaman depan
Jam dinding menunjukkan pukul 07.45 ketika suara langkah pertama terdengar dari arah tangga
Sargio turun lebih dulu. Kemejanya rapi, dasinya sudah terikat sempurna dan sepatu mengkilap. Satu tangannya memegang ponsel, sementara tangan satunya menyampirkan tas selempang di bahu. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Selina
Ia langsung berjalan melewati pintu depan dingin dan tanpa ekspresi
Tak lama, giliran Samudra muncul. Penampilannya lebih santai, ia tak memakai dasi, kancing atas bajunya di biarkan terbuka dan earphone masih menempel di telinganya. Sambil turun tangga, ia sempat melirik Selina dan tersenyum tipis
"Bekerja yang rajin ya? Oh ya.. Tas gue udah siap?” tanyanya enteng
“Sudah” jawab Selina sopan sambil menunjuk tas yang tergeletak rapi di dekat pintu
Samudra mengambil tas itu, mengangkat bahu santai, lalu berjalan keluar sambil bersiul kecil
Lalu suasana sepi sebentar sebelum akhirnya langkah berat terdengar. Sagara turun paling akhir. Rambutnya masih sedikit berantakan, kemeja seragam setengah terbuka dan di tangannya tergenggam sebuah dasi yang belum terpakai. Ekspresinya malas, namun sorot matanya tajam
Ia berhenti di anak tangga terakhir, lalu tanpa banyak bicara menyodorkan dasi itu ke arah Selina
“Pasangin” ucapnya singkat, nada suaranya terdengar lebih seperti perintah daripada permintaan
Selina sempat mematung beberapa detik, kaget dengan sikap seenaknya itu. Tapi ia sadar tugasnya adalah melayani, jadi dengan ragu ia maju selangkah, mengambil dasi itu dari tangan Sagara dan mulai memasangkannya di lehernya
Jarak mereka begitu dekat hingga Selina bisa merasakan hangat napas pemuda itu. Jari jarinya sedikit bergetar ketika melipat kain dan merapikannya. Sagara hanya berdiri diam, menundukkan kepala sedikit, menatap wajah Selina yang berusaha tetap fokus
Begitu simpul dasi terikat rapi, Selina melangkah mundur kecil, menunduk sopan “Sudah selesai”
Sagara menyeringai tipis, matanya menatapnya penuh arti
“Makasih cantik” ucapnya dengan nada sedikit menggoda, sengaja menekankan kata terakhir
Selina terdiam, wajahnya memerah menahan canggung
Tanpa menunggu jawaban, Sagara berbalik, melangkah santai menyusul kedua saudaranya menuju mobil yang sudah menunggu
Di luar, mobil hitam keluarga sudah terparkir dengan mesin menyala. Sargio sudah duduk di kursi belakang sambil sibuk dengan ponsel, Samudra asyik bersandar sambil mendengarkan musik dan Sagara akhirnya masuk paling terakhir
Pintu mobil tertutup. Dari balik kaca, Selina bisa melihat tiga kembar itu duduk dengan cara masing masing, membawa aura berbeda yang entah kenapa membuat dadanya berdebar. Ia sadar, tugasnya baru saja di mulai
Ia baru saja hendak berbalik untuk memesan taksi, ketika suara dalam bariton rendah terdengar di sampingnya
“Non Selina”
Pak Raka, sopir keluarga itu, berdiri di sisi mobil dengan tatapan penuh hormat tapi tegas. Tangannya memegang pintu depan yang masih terbuka, seakan menunggu kehadirannya
“Silakan masuk Non, ini sudah jadi perintah Tuan Besar” ucapnya datar
Selina terkejut “Tapi… saya bisa naik taksi sendiri Pak. Nggak apa apa, nanti di sekolah saya tetap ketemu mereka juga”
Pak Raka menggeleng pelan, ekspresinya tetap sama “Maaf Non, saya hanya menjalankan tugas. Tuan Besar meminta agar Non selalu bersama dengan Tuan Muda bertiga. Termasuk berangkat dan pulang sekolah”
Selina terdiam, bingung sekaligus tidak nyaman dengan aturan itu. Ia mencoba sekali lagi menolak
“Tapi... Saya-”
Namun sopir itu tetap tak bergeming “Perintah adalah perintah. Kalau Non bersikeras, berarti saya melanggar langsung arahan Tuan Besar. Saya mohon, jangan buat saya berada di posisi sulit”
Selina menelan ludah. Ia tahu pria itu hanya menjalankan kewajibannya dan melawan tidak akan ada gunanya. Mau tak mau, ia menarik napas panjang lalu akhirnya mengalah
“Baiklah… saya ikut”
Pak Raka tersenyum tipis, lega dengan keputusan itu. Ia membukakan pintu depan “Silakan duduk di samping saya Non”
Selina melangkah masuk, duduk di kursi depan dengan perasaan campur aduk. Dari kaca spion, ia bisa merasakan tatapan tiga pasang mata dari kursi belakang. Bahkan tanpa berkata apa apa, aura mereka terasa menekan
Mobil perlahan melaju keluar dari halaman rumah megah itu, meninggalkan Selina dengan satu kesadaran baru, mulai hari ini, kehidupannya benar benar tak akan sama lagi
Suasana dalam mobil cukup hening sampai akhirnya suara Sargio memecah keheningan, datar dan tajam
“Lo di bayar berapa sama bokap gue?” tanyanya, nada suaranya sinis
Selina menoleh sedikit, namun tidak menjawab. Matanya kembali menatap ke depan, berpura pura tak mendengar
Sargio menyeringai miring, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan agar suaranya lebih jelas terdengar
"Yakin lo betah? Sebelum lo, pernah ada cewek juga yang jadi pengasuh kita di rumah ini. Umurnya juga seumuran lo. Dulu sih bilangnya mau bantu bantu doang, tapi akhirnya...”
Ia berhenti sejenak, lalu mengangkat alis dengan ekspresi datar
"Di temuin bunuh diri di kamar belakang. Lompat dari balkon lantai dua. Darah di mana mana. Kayaknya stress ngurusin kita bertiga”