NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Bab 11

“Sudah cukupkan pertempuran ini.”

Suara berat itu memecah hiruk-pikuk ruangan. Armai Codet muncul dari kerumunan dengan wajah tegas, langkahnya mantap menembus asap rokok dan lampu gemerlap klub. Ia menahan Tendi yang masih berusaha menyerang Aryo, menariknya dengan tenaga kuat agar tidak memperparah situasi.

Dengan isyarat tangan yang singkat, Armai Codet memerintahkan beberapa orangnya untuk segera turun tangan. Mereka bergegas meringkus Tendi dan Charles, lalu menyeret keduanya keluar dari Nirwana Club. Kedua lelaki itu meronta dan memaki, namun tak ada yang berani melawan perintah sang pemilik tempat itu.

“Hei, hati-hati dengan orang itu. Sepertinya kepalanya gegar,” kata Aryo tenang sambil menunjuk Charles yang terhuyung saat dilempar keluar. Nada suaranya ringan, tapi matanya tajam memerhatikan detail.

“Mohon maaf atas kelakuan mereka, bang,” ucap Armai Codet sopan. Aryo mengernyit sedikit, heran mendengar sebutan itu. Sejak kapan pria ini memanggilnya bang seperti seorang bawahan?

Aryo mencondongkan tubuh, berpura-pura hendak menghantam wajah Armai. Refleks, pria itu langsung berlutut dengan wajah pucat dan suara gemetar. “Tolong jangan bikin keributan lagi di sini, bang,” katanya dengan nada memohon, seperti seseorang yang tengah berbicara pada sosok berbahaya.

Thania dan Meliana akhirnya mendekat, ekspresi mereka masih diliputi campuran marah dan gugup.

“Eh, yang bikin keributan tuh mereka duluan,” kata Thania dengan nada protes keras, matanya menyipit ke arah Armai.

“Benar benar.” Armai mengangguk cepat, menundukkan kepala. “Mereka yang memancing keributan. Karena itu saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Saya Armai Codet, pemilik Nirwana Club.”

“Ada ganti ruginya gak?” sela Meliana dingin, nada CEO-nya keluar tanpa sadar.

“Tentu, tentu.” Armai buru-buru mengeluarkan kartu nama dari sakunya, menorehkan tanda tangan tergesa. “Kalian boleh datang kapan saja, dan apa pun yang kalian pesan di tempat ini… gratis.”

“Nah gitu. Termasuk malam ini ya,” desak Thania, mencondongkan tubuh dengan senyum puas.

“Tentu-tentu. Termasuk malam ini juga,” jawab Armai cepat, tidak berani menatap langsung.

Aryo diam saja, masih memikirkan sesuatu. Ia merasa aneh—kenapa pria seperti Armai Codet bisa sebegitu takutnya padanya, sampai memanggilnya ‘bang’ dengan nada tunduk. Biasanya, yang dikeluarkan paksa dari klub adalah pengacau, bukan orang yang menertibkan.

“Baik kalau begitu, terima kasih,” ucap Aryo akhirnya. “Rasanya cukup untuk malam ini. Mari kita pulang.”

Ia menggenggam tangan Meliana lembut, namun gadis itu langsung menegang.

Begitu mereka sampai di dekat pintu keluar, Meliana menarik tangannya kasar. Ia menatap Aryo dengan wajah serius, lalu mengacungkan jari peringatan.

“Jangan sentuh aku. Dan jangan pikir kejadian tadi membuat kamu leluasa dekat denganku ya.”

Aryo mengangkat kedua tangan dengan ekspresi menyerah. “Oke, oke. Jaga jarak. Aku paham.”

Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa hening sejenak sebelum akhirnya Thania memecahnya.

“Dari mana kamu belajar bertarung seperti tadi?” tanyanya dengan nada kagum yang tak bisa disembunyikan.

Aryo hanya tersenyum kecil. “Oh, dulu sempat ikut bela diri sedikit.”

“Tapi kamu bertarung seperti profesional,” ujar Thania lagi, matanya berbinar. “Tidak ada luka sedikit pun. Aryo, kamu sebenarnya siapa sih?”

Meliana menatapnya sekilas dari kaca spion, tapi memilih diam. Ia juga ingin tahu, hanya saja menunggu jawaban pria itu tanpa menekan.

“Saya Aryo Pamungkas,” jawab Aryo dengan nada santai bercanda. “Pengawal sekaligus tunangannya Meliana Andara, CEO Andara Group.”

Meliana spontan melempar bantal kecil ke arah Aryo. “Gak usah mimpi kamu!”

Tawa renyah Thania memenuhi kabin.

Namun di balik tawa itu, Meliana justru makin penasaran. Ia mengingat pembicaraannya dulu dengan Pak Kamal tentang latar belakang Aryo. Jawaban yang ia dapat waktu itu terlalu kabur. Sekarang, setelah melihat langsung kemampuan Aryo bertarung, rasa ingin tahunya tumbuh makin besar. Ia berjanji dalam hati akan mencari tahu sendiri siapa sebenarnya pria itu.

“Kalau begitu, anjing penjaga?” canda Aryo lagi, mencoba mencairkan suasana.

Meliana mendengus kesal, lalu tanpa pikir panjang menyiram wajah Aryo dengan air mineral dari botol. Pria itu terkejut dan membelok sedikit, membuat Thania menjerit kecil lalu tertawa terbahak.

“Kalian lucu,” komentar Thania, menahan tawa. “Biasanya pasangan yang awalnya suka berdebat begini, kalau jadian malah langgeng banget.”

“Tak sudi!” seru Meliana cepat, menatap tajam.

Aryo hanya terkekeh pelan sambil mengelap wajahnya yang basah, bahkan sampai memeras bagian kerah bajunya.

Tawa Thania makin pecah. Ia menggelitik Meliana sambil memeluknya erat. “Aku senang banget kita bisa kumpul lagi kayak dulu. Nanti kita curhat-curhatan lagi ya, Mel.”

Meliana tersenyum tipis. “Iyaa, tentu.”

Namun suasana hangat itu buyar tiba-tiba. Saat mobil mereka menembus jalan menuju villa di pinggiran Kota K, sebuah mobil jeep mendadak berhenti di depan mereka. Empat orang bertopeng keluar dengan cepat, masing-masing membawa kapak berkilau. Thania dan Meliana menjerit kaget.

Aryo langsung turun dengan gerakan terukur, tubuhnya tegak, tenang, dan tanpa ragu mengangkat tangannya.

“Kalian jangan bergerak,” katanya kepada dua gadis di dalam mobil.

Thania yang gemetar diam-diam mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat. Ia sempat memotret keempat orang bertopeng dan mobil mereka sebelum menunduk lagi.

Aryo maju beberapa langkah, menjaga jarak aman. “Siapa kalian?” tanyanya, suaranya rendah tapi mengandung ancaman.

“Algojo kematian,” jawab salah satu dengan nada garang. “Kau harus mati malam ini.”

Aryo menghela napas ringan, seperti sedang bosan. “Sebelum aku mati di tangan kalian, boleh dong tahu siapa yang mengirim kalian? Biar kalau arwahku gentayangan, gak salah sasaran ganggu orang.”

Di kepalanya, Aryo sudah menganalisis kemungkinan. Ia menelusuri cepat daftar musuh yang pernah ia buat, termasuk insiden barusan di Nirwana Club.

“Banyak bacot!” bentak salah satu penyerang, dan keempatnya langsung menyerbu bersamaan.

Aryo bergerak gesit. Ia melompat mundur, berguling di tanah, lalu berdiri di posisi yang memberinya ruang serang. Saat salah satu kapak hampir mengenai pundaknya, ia meraih batu di tepi jalan dan melemparkannya cepat. Batu itu menghantam wajah salah satu penyerang, membuatnya roboh.

Tanpa ragu Aryo merebut kapak lawan itu, lalu mengayunkannya ke tengkuk orang lain hingga terhuyung. Dua sisanya maju bersama, tapi Aryo bergerak lincah. Tangannya menghantam jakun mereka secara simultan. Napas keduanya tersengal, mereka jatuh ke tanah sambil batuk keras.

Aryo memastikan semuanya lumpuh sebelum menyingkirkan jeep mereka ke pinggir jalan agar tidak menghalangi kendaraan lain. Ia mengambil kunci dari dasbor dan melemparkannya jauh ke semak. Setelah itu, ia memeriksa saku mereka satu per satu, mencari ponsel atau tanda identitas, tapi nihil.

Ia kembali ke mobil dengan langkah ringan namun waspada. “Sudah beres. Kalian gak apa-apa kan? Takutnya ada orang kelima yang bersembunyi,” katanya sambil menatap sekitar.

“Aman,” jawab Meliana pelan, suaranya masih bergetar. “Ayo cepat pulang.”

Setelah mereka pergi, empat penyerang yang terkapar perlahan siuman. Dalam keadaan pusing dan babak belur, mereka merangkak mencari kunci jeep, merintih kesakitan di jalan sepi itu.

Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti Di dekat mereka. Seorang pria berkacamata hitam turun dengan tenang. “Hei, kalian mencari apa?”

Empat orang itu terkejut. Refleks, mereka menggenggam kapak dengan posisi siap menyerang. Pria itu memperhatikan mereka sekilas, membaca situasi. Ia tahu, mereka bukan hanya sedang mencari kunci—mereka berencana merampok mobilnya.

“Kami cuma mencari kunci mobil kami,” ujar salah satu dengan nada licik. “Anda bawa senter?”

Pria itu tidak menjawab. Ia tahu betul itu umpan.

Tangannya bergerak cepat ke belakang. Sekejap kemudian, suara tembakan berturut-turut memecah keheningan. Keempat tubuh itu ambruk tanpa sempat berteriak, peluru menembus kepala mereka satu per satu.

Dengan tenang pria itu kembali ke mobilnya, mengambil ponsel, lalu menelepon dua orang malam itu.

Sementara itu, di villa, Aryo baru saja merebahkan diri di ranjang ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal muncul di layar.

“Halo?” suaranya lelah.

“Halo, bang.”

Aryo mendesah panjang. Ia langsung mengenali suara itu. “Kau lagi, Gaston. Rupanya belum kapok. Sudah kubilang jangan ganggu aku lagi.”

“Kau lagi di Kota K, Bang?” tanya suara itu lembut, seolah ramah padahal beracun.

Aryo memutar otaknya. Orang yang biasa memanggilnya ‘Bang’, ‘Kak’, atau ‘Komandan’ cuma satu—Gaston.

“Bukan urusanmu,” jawab Aryo datar.

“Urusanku, Bang,” balas Gaston cepat. “Kan sudah kubilang, aku cuma mau ikut menjaga tunangan abang. Tadi abang habis dari tempatku. Maaf Bang, gak sempat turun menyapa.”

Aryo terdiam sejenak, lalu menyadari sesuatu.

Armai Codet—pemilik Nirwana Club tadi—takut padanya karena Gaston. Pasti Gaston sudah menaklukkan tempat itu dan menjadikannya di bawah kekuasaannya.

“Apa yang kau katakan ke Armai Codet?” tanya Aryo dingin.

“Secukupnya saja,” jawab Gaston ringan. “Supaya dia tahu siapa yang dia hadapi, dan gak macam-macam sama abang.”

“Gaston, aku gak butuh bantuanmu,” kata Aryo, nada suaranya turun tapi berisi kemarahan terpendam. “Katanya kau mau menetap di Kota J. Ya sudah, di sanalah kau tinggal. Ngapain ke sini? Kau menguntit aku ya?”

“Bang, aku kan di Kota K dulu. Lagi bangun usaha kecil. Sama seperti abang, mulai dari nol,” jawab Gaston mencoba terdengar tulus.

“Caramu salah, Ton.” Aryo menghela napas kecewa. “Kau masih belum belajar rupanya.”

“Makanya Bang, ajari aku cara yang benar. Ijinkan aku ikut dengan abang lagi.”

“Tidak, Ton. Jalan kita berbeda.” Suara Aryo tegas. “Aku mau istirahat. Jangan hubungi aku lagi.”

“Kalau tidak bagaimana, Bang?” Gaston bertanya pelan, tapi nadanya mengandung tantangan, seolah tahu jawaban yang akan keluar.

“Aku akan menghabisimu,” jawab Aryo datar. Tak ada ancaman—hanya kepastian.

---

Beberapa jam kemudian, di tempat berbeda, seseorang berbicara di telepon dengan suara berat yang sengaja disamarkan.

“Ya, bagaimana, sudah beres semua?”

“Sesuai permintaanmu,” jawab Gaston dengan nada dingin. “Mereka sudah kuringkus. Sudah kukirim ke neraka semua.”

“Bagus,” jawab suara di seberang. “Orang akan datang untuk mengantarkan upahmu.”

“Jadi kau masih belum mau mengungkap dirimu, ya?” suara Gaston menegang. “Sebaiknya kau jujur, karena kalau tidak—orang berikut yang masuk neraka adalah kau sendiri.”

“Masih ada tugas lagi untukmu,” ucap suara samar itu sebelum sambungan terputus.

Gaston menatap layar ponselnya dengan senyum tipis.

Sementara di tempat lain, Aryo belum tahu—bahwa semua itu baru permulaan.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!