"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAMU ISTIMEWA
Suara ketukan pintu sore itu membuat Luna terperanjat. Dengan cepat, ia melangkah dan membuka pintu, matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di ambang.
Di depan pintu, tersenyum manis, berdiri dengan penuh percaya diri. Rambutnya tersapu lembut oleh angin sore, dan tatapannya yang hangat seolah mampu menenangkan Luna dalam sekejap.
"Indah!" Sapa Luna memeluk tubuh gadis itu.
"Gue nyari-nyari rumah lo, nanya ke orang-orang, ternyata lo tinggal disini?" Ucap Indah.
Luna mengangguk. "Sorry, ya. Kalau rumah gue gak buat lo nyaman."
Indah tersenyum, menggeleng. “Enggak gitu maksud gue, Lun. Rumah lo nyaman kok.” Matanya menatap Luna dengan hangat. “Ternyata jarak dari rumah lo ke toko lumayan dekat juga, ya. Jadi nggak terlalu ribet buat mampir ke sini.”
Luna tersenyum tipis, merasa lega mendengar itu. Ia menatap Indah sebentar, ada perasaan hangat yang mengalir di dadanya—senyum atasan sekaligus yang telah ia anggap temannya selalu berhasil membuat beban kecil di hatinya terasa lebih ringan. "Masuk, Ndah."
Indah mengangguk dan mulai terduduk di badan kursi.
"Mau minum apa?"
Indah menggeleng. "Gak perlu, Lun." Jawabnya sambil menaruh sebuah paper bag mini di atas meja. "Buat, lo. Bolu karamel. Cobain, deh. Lo pasti suka!"
Luna tersenyum haru. Ia duduk di sebrang Indah dan mencoba mengintip kantung itu. Tercium aroma karamel yang lembut dan hangat. Aroma yang kali pertama ia hirup, manis dan sederhana. "Thanks ya, Ndah."
Indah mengangguk. "Lun... ada apa?"
Tiba-tiba Luna membisu.
"Gue lihat... di depan gang ada bendera kuning. Dan arahnya menuju rumah lo."
Seketika, kenangan tentang ayahnya muncul—tatapan lembutnya, nasihatnya yang selalu menenangkan, dan kesedihan yang pernah ia rasakan saat ayah pergi meninggalkannya dulu. Luna merasakan getir itu kembali, seolah rasa kehilangan itu menempel di dadanya dan membuat napasnya sedikit tercekat. Ia menunduk, jemarinya menggenggam ujung bajunya sendiri, mencoba menahan air mata yang hampir menitik.
Luna…,” Desak Indah, namun lembut. "Ada apa?"
Luna menelan ludah, menarik napas panjang, lalu perlahan mengangguk. "Ayah..." Lirihnya. "Ayah gue meninggal."
Indah terkejut, matanya melebar seketika. Ia cepat melangkah, menarik kursi di dekat Luna, lalu duduk di hadapannya. Wajahnya serius, namun tetap lembut, menandakan kepedulian yang tulus.
"Luna, gue ikut sedih banget dengernya,” Ucap Indah pelan, menatap mata Luna dengan penuh perhatian. Ia mencondongkan badan sedikit, seolah ingin memberi dukungan tanpa harus menyentuh, membiarkan Luna merasa aman untuk menumpahkan perasaannya. " Maafin gue, Lun."
"Serangan jantung." Sambung Luna dengan mata kosong menatap lantai. Terlepas, dari derai air mata yang kini jatuh perlahan membasahi wajah. "Gue pulang dari toko dan... seseorang mengabari kalau Ayah udah di bawa ke klinik. Saat gue udah ada disana..."
Indah menelan ludah, menahan rasa terkejut dan sedihnya sendiri. Dengan lembut, ia merangkul pundak Luna, lalu menarik gadis itu ke pelukannya.
Tubuh Luna seketika lemas, dan tangis yang selama ini tertahan pun pecah. Isakannya terdengar jelas di ruang tamu yang sepi, menandakan semua kesedihan dan rindu yang terpendam kini keluar.
Indah menepuk punggung Luna perlahan, menenangkan, sambil membisikkan kata-kata lembut, “Tenang… tenang, Luna… semua akan baik-baik saja. Gue di sini.”
Hati Luna bergetar, meski pelukan itu memberinya rasa aman, namun tangisnya terus mengalir, tak dapat tertahan.
Begitu juga yang dirasakan Indah. CErita Luna sore ini mengingatkannya pada kepergian kedua orangtuanya, rasa kehilangan yang dulu pernah ia rasakan sendiri. Hatinya perih, tapi sekaligus memahami sepenuhnya kesedihan yang tengah dialami Luna.
Indah menarik napas dalam, menahan air mata yang hampir menitik. Ia memeluk Luna lebih erat, seolah ingin membagi sedikit kekuatan dan kenyamanan yang dulu ia rindukan saat berada di saat-saat kehilangan.
Mereka duduk di sana, dua hati yang pernah merasakan kehilangan, kini saling menopang. Diam mereka tidak hampa, tapi penuh kehangatan dan pengertian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Lun..." Lirih Indah. Perlahan, ia melepaskan pelukan. Matanya yang juga basah menatap lurus wajah karyawan, teman, sekaligus yang telah ia anggap adiknya sendiri. "Kehilangan seseorang terkadang bukan tentang mereka pergi, tapi tentang kita belajar bagaimana tetap melangkah tanpa mereka." Ungkapnya dengan pelan. "Dan kadang... yang paling menyakitkan bukan kepergian mereka, tapi ruang kosong yang mereka tinggalkan di hati kita. Tapi lo harus percaya, Lun... rasa kehilangan mengajarkan kita arti cinta dan kenangan yang tak akan pernah benar-benar hilang."
Di sela isaknya, Luna mengangguk ragu.
"Kenapa gue bisa bilang seperti ini..." Lanjut Indah. "Karena gue... gue pernah merasakan kehilangan, di buang..."
Luna yang tadinya merasa sangat terluka, kini lebih terluka mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Indah. "I-Indah..."
"Lo bisa bayangin gak, anak kecil... yang di buang sama ayah dan ibunya di panti, sendirian, bersama banyak orang asing yang entah siapa, menangis setiap hari minta pulang, tapi keadaan maksa lo harus tetap kuat?"
Luna hanya mengangguk tanpa suara.
"Kehilangan?" Lanjut Indah, menggeleng tegas. "Gue bahkan lupa apa itu arti kehilangan dari orang yang kita sayang dan cintai."
Luna menatap Indah, matanya membulat seketika. Kata-kata itu menghentak hatinya, membuatnya terdiam sejenak. Ia merasa terkejut, tapi juga tersentuh—ada sesuatu yang hangat sekaligus pedih dalam cara Indah mengungkapkan pikiran dan hatinya.
"Semakin dewasa dan gue paham semua ini... yang gue rasain bukan kehilangan tentang seberapa besar orang yang gue cintai pergi, Lun. Tapi seberapa beruntungnya gue bisa lepas dan kehilangan dari orang yang membenci gue."
“Indah…” Lirih Luna, suaranya nyaris tak terdengar, penuh getaran haru. Detik berikutnya, tanpa bisa menahan perasaannya lagi, ia kembali memeluk Indah dengan erat.
Semua kesedihan, kerinduan, dan rasa kehilangan yang menumpuk di dada mereka seketika terlepaskan dalam pelukan itu. Tangis yang selama ini tertahan akhirnya bisa mengalir, menghapus beban yang terasa begitu berat diantara mereka.
****