Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. MEMBANTU
Mentari pagi menyapa Desa Waringin dengan sinar lembutnya. Embun masih bergelayut di ujung-ujung daun pisang yang besar, dan kabut tipis melayang di antara rumpun bambu yang bergemerisik tertiup angin. Burung-burung kecil bercicit ramai seolah menyambut hari baru, dan dari kejauhan terdengar suara kentongan kecil tanda dimulainya kegiatan pasar pagi. Di tengah suasana itu, Aruna berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang berdebu, langkahnya ringan namun penuh tujuan. Sudah beberapa hari ia tinggal di desa ini, dan setiap hari selalu ada kejutan baru yang membuatnya merasa bahwa hidup yang dijalaninya kini benar-benar berbeda dari dunia asalnya.
Sejak kejadian beberapa hari lalu, ketika seorang anak lelaki kecil berhasil selamat dari sakit parah berkat pertolongan dan pengetahuan yang ia miliki, nama Aruna mulai dibicarakan dari mulut ke mulut. Orang-orang desa yang semula hanya memandangnya sebagai tamu asing yang datang bersama Nyi Ratna, kini mulai mendekat, bahkan tak segan-segan mengajaknya berbincang. Tatapan penuh curiga berganti menjadi penuh rasa ingin tahu. Dan pagi itu, langkah-langkah kecilnya menuju balai bambu desa segera disambut dengan deretan wajah penuh tanya.
"Aruna? Aruna? Saya ingin bertanya," sapa seorang ibu paruh baya sambil menggendong anaknya yang tampak pucat.
"Iya, Mbok. Ada apa?" tanya Aruna lembut sambil menunduk melihat bocah yang dipeluk ibunya.
"Anak saya sejak semalam perutnya sakit, terus muntah, apa yang harus saya lakukan?" tanya sang ibu yang penuh rasa takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada anaknya.
Aruna meneliti sebentar, meraba dahi si anak yang panas, lalu ia duduk bersila di bale-bale bambu, mengajak sang ibu duduk. "Anak ini mungkin terkena makanan yang tidak bersih. Jangan biarkan dia makan sembarangan dulu. Berikan dia air matang yang cukup, dan bila ada, rebuslah daun jambu biji muda lalu minumkan air rebusannya. Itu bisa membantu meredakan sakit perut dan diare."
Sang ibu mengangguk-angguk dengan mata berbinar. "Terima kasih, Aruna, kau benar-benar tahu banyak hal."
Belum selesai, seorang lelaki tua mendekat sambil memegangi punggungnya. "Nduk, boleh Bapak tanya? Punggung Bapak sakit sekali kalau membungkuk di sawah. Sudah beberapa hari ini jadi sulit tidur."
Aruna menatap penuh perhatian. "Pak, pekerjaan di sawah memang berat. Cobalah bila malam hari panaskan air, lalu celupkan kain ke air hangat itu, tempelkan di bagian punggung yang sakit. Kalau ada minyak kelapa, bisa digunakan untuk memijat perlahan, minta bantuan keluarga saat senggang untuk memijit akan sangat membantu. Jangan memaksakan diri terlalu keras di sawah, biarkan tubuh mendapat istirahat dulu sementara kalau sakitnya sudah terlalu."
Si bapak tua menunduk, senyum kecil mengembang di wajahnya yang keriput. "Ah, ternyata semudah itu? Kami biasa biarkan saja kalau sakit, mengira itu sudah takdir usia. Terima kasih, Nduk."
Hari itu, tak henti-hentinya orang berdatangan. Ada yang mengeluhkan gigi yang sering nyeri, ada yang merasa pusing berkepanjangan, ada pula yang sekadar ingin tahu bagaimana caranya agar anak-anak mereka tidak mudah sakit. Aruna menjawab semuanya dengan sabar, menyesuaikan bahasa agar mudah dimengerti, menyederhanakan istilah medis menjadi petunjuk praktis yang bisa diterapkan dengan bahan-bahan yang ada di sekitar desa.
Dalam hatinya, Aruna merasa bahagia. Ia tak menyangka warga desa bisa sebaik ini. Alih-alih menuduhnya pembual atau mencurigainya sebagai orang asing yang membawa maksud jahat, mereka justru menyambutnya dengan hangat. Setiap saran yang ia berikan dianggap sebagai anugerah pengetahuan, dan setiap senyum yang ia hadiahkan diterima dengan rasa syukur mendalam.
Hari demi hari berlalu, Aruna mulai terbiasa berkeliling desa. Ia berjalan menyusuri jalan tanah yang diapit sawah menghijau, menyapa orang-orang yang sedang menjemur padi, atau berbincang dengan ibu-ibu yang tengah menumbuk singkong di halaman. Kadang ia berhenti melihat anak-anak bermain di pinggir sungai, lalu memberi tahu mereka agar tidak meminum air langsung dari aliran itu.
"Air sungai boleh digunakan untuk mandi, tapi jangan diminum langsung. Rebuslah dulu agar kalian tidak sakit perut!"pesan Aruna dengan nada penuh kasih.
"Baik, Mbak Aruna!" Anak-anak itu mengangguk dengan polos, lalu tertawa riang dan kembali berlarian.
Dalam perjalanan lain, ia mendapati seorang ibu tengah mengelus tangan anaknya yang dipenuhi bintik merah. "Ini kata dia gatal sekali, Aruna, entah kenapa keluar bercak begini," keluh sang ibu.
Aruna mendekat, memeriksa dengan hati-hati. "Ini mungkin gigitan serangga atau reaksi dari kulit yang kotor. Coba bersihkan dengan air hangat, lalu oleskan minyak kelapa yang dicampur sedikit kunyit. Itu bisa membantu meredakan gatal dan bengkaknya."
Mata sang ibu berbinar, seolah baru mendapat cahaya. "Aku tak pernah terpikir menggunakan kunyit, terima kasih, Aruna."
"Sama-sama, Mbok," jawab Aruna.
Berkali-kali Aruna mendapati dirinya menjadi tempat bertanya, bukan hanya tentang sakit-penyakit, tapi juga tentang cara menjaga kesehatan. Ia merasa seolah kembali menjadi dokter muda yang dulu, tapi dalam dunia yang sangat berbeda, dunia tanpa rumah sakit megah, tanpa alat modern, tanpa listrik sekali pun. Hanya ada alam, pengalaman, dan pengetahuan yang ia bawa dari masa depan.
Suatu sore, saat matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon kelapa memanjang di tanah, Aruna dipanggil oleh kepala desa. Namanya Pak Wiryo, seorang lelaki setengah baya dengan sorot mata bijak. Rambutnya sudah beruban, namun tubuhnya masih tegap, tanda ia terbiasa bekerja keras.
"Nak Aruna," sapa Pak Wiryo ketika Aruna tiba di rumah joglo sederhana yang menjadi tempat pertemuan warga. "Orang-orang banyak bercerita tentangmu. Mereka bilang kau tahu banyak hal, bahkan bisa menjawab pertanyaan yang tak pernah kami temui jawabannya."
Aruna tersenyum sopan. "Ah, saya hanya menggunakan sedikit pengetahuan yang saya miliki, Pak. Tidak lebih dari itu."
"Tapi jelas bermanfaat besar, terutama untuk desa terpencil seperti Waringin," sahut Pak Wiryo. "Anak-anak mulai lebih sehat, orang-orang tahu bagaimana menjaga diri mereka. Aku ingin mendengar, apa sebenarnya maksudmu datang ke desa ini?"
Pertanyaan itu membuat dada Aruna sedikit bergetar. Bagaimana ia harus menjawab? Ia tak mungkin berkata jujur bahwa dirinya berasal dari abad lain, terseret entah bagaimana ke masa kolonial. Maka ia menarik napas panjang, memilih kata-kata dengan hati-hati.
"Saya hanya seorang perempuan yang melarikan diri dari kampung halaman karena ingin dinikahkan paksa, Pak. Takdir membawa saya ke sini, dan ketika desa ini menerima saya dengan baik, saya merasa sudah seperti rumah. Maka, kalau boleh, saya ingin membalas kebaikan itu dengan membantu sebisa saya. Pengetahuan yang saya punya mungkin bisa sedikit memperbaiki keadaan desa."
Pak Wiryo mengangguk-angguk, wajahnya penuh pertimbangan. "Kalau begitu, apa yang kau lihat bisa diperbaiki dari desa ini, Nak?"
Aruna menunduk sebentar, lalu mulai bicara pelan, terukur, seolah ia sedang mengajar murid-muridnya. "Pertama, air. Banyak orang minum langsung dari sungai atau sumur yang kotor. Itu bisa membawa penyakit. Kita perlu membuat sumber air bersih yang terlindung, atau minimal mengajarkan semua orang untuk merebus air sebelum diminum. Kedua, tentang kebersihan. Sampah yang dibiarkan menumpuk bisa mendatangkan lalat dan penyakit. Kalau bisa, mari ajarkan anak-anak untuk menjaga halaman tetap bersih. Ketiga, makanan. Orang desa sering makan singkong dan jagung saja, padahal tubuh butuh sayur dan buah. Kalau kita tanam lebih banyak tanaman sayur di pekarangan, itu bisa membantu. Saya lihat tanah di desa ini juga bagus untuk menanam sayuran."
Pak Wiryo termenung, lalu tersenyum tipis. "Kau berbicara seperti seorang tabib besar, Aruna. Apa kau benar-benar hanya pengembara?"
Aruna menahan napas, lalu menjawab lirih, "Saya hanya ingin berguna, Pak. Itu saja."
Kepala desa itu akhirnya mengangguk mantap. "Baiklah. Kalau begitu, mulai besok aku akan kumpulkan warga di balai. Kau boleh berbicara, memberi tahu mereka apa yang bisa kami lakukan bersama. Desa ini memang miskin, tapi kami punya semangat gotong royong. Kalau apa yang kau katakan bisa membawa kebaikan, maka kami akan mendukungmu."
Hati Aruna terasa hangat. Ia menunduk, hampir ingin menangis. Betapa berbeda dunia ini dengan dunia yang ia kenal sebelumnya. Di sini, orang-orang begitu tulus, tanpa pamrih, tanpa prasangka. Dan untuk pertama kalinya sejak ia terdampar di masa lalu, Aruna merasa ia benar-benar memiliki tempat.
Keesokan harinya, balai bambu desa ramai oleh warga. Laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan orang tua, semua duduk melingkar mendengarkan. Aruna berdiri di depan, ditemani Pak Wiryo dan Nyi Ratna. Dengan suara tenang, ia mulai menjelaskan tentang pentingnya air bersih, kebersihan lingkungan, dan makanan bergizi. Ia tak menggunakan istilah rumit, hanya bahasa sederhana yang bisa dipahami semua orang.
"Kalau kita jaga kebersihan, kita jaga air, kita tanam sayur di halaman, maka anak-anak kita akan tumbuh kuat, tidak mudah sakit. Kita semua bisa bekerja lebih baik di sawah, tidak perlu khawatir sakit yang menghalangi," ujarnya sambil tersenyum.
Orang-orang mengangguk-angguk, sebagian berbisik antusias. Seorang bapak berseru, "Kalau begitu, mari kita coba! Apa yang harus kami lakukan pertama, Aruna?"
Aruna terkejut sejenak, lalu menatap mereka dengan mata berbinar. "Mari kita mulai dari hal kecil. Bersihkan halaman rumah masing-masing, ajarkan anak-anak mencuci tangan sebelum makan, dan rebus air sebelum diminum. Itu saja sudah cukup sebagai awal."
Sorak kecil terdengar, semangat gotong royong terasa membuncah. Dan sejak hari itu, perlahan, Desa Waringin mulai berubah.
Hari-hari berikutnya penuh dengan aktivitas. Aruna membantu warga menggali sumber air baru, mengajari ibu-ibu menanam sayur seperti bayam, kangkung, dan kacang panjang di halaman rumah. Ia bahkan mengajarkan cara sederhana membuat tempat sampah dari anyaman bambu. Setiap langkah kecil itu disambut dengan antusias.
Aruna merasa seolah sedang menenun kembali takdirnya sendiri. Dari seorang dokter muda yang pernah terjebak dalam permainan kotor dunia modern, kini ia menemukan kembali makna sejati profesinya: menyembuhkan, membimbing, dan berbagi. Dan di Desa Waringin, ia bukan sekadar orang asing, ia adalah bagian dari keluarga besar yang saling menopang.
Malam itu, ketika bulan purnama menggantung di langit, Aruna duduk di depan rumah Nyi Ratna, memandang ke langit yang jernih. Hatinya penuh syukur.
"Terima kasih, Ya Tuhan," bisiknya lirih. "Kalau ini adalah jalan hidupku sekarang, aku menerimanya. Selama aku bisa berguna bagi orang-orang baik ini, maka aku tidak menyesal terseret ke masa ini."
Dan angin malam berembus lembut, seolah mengamini janjinya.