Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Tawaran Jadi Pengasuh
Tanpa terasa waktu sudah setengah jam berlalu, baby Kenzo sudah terlelap tidur dalam pangkuan Rumi.
“Benar kata Ibu, bertemu dengan bayi ini rasa sedihku sedikit berkurang,” gumamnya pelan. “Ganteng sekali kamu, Dek. Kalau anak Ibu masih hidup pasti sama-sama gantengnya.”
Tak lama kemudian, Mama Liora kembali masuk dengan kepala pelayan yang membawa troli makanan.
“Cucu saya sepertinya sudah tidur lagi ya?” tanya Mama Liora tersenyum.
Rumi mendongak, “Iya Bu, dede-nya sudah kenyang dan tidur lagi.”
“Kalau begitu, sudah waktunya kamu isi perut. Ibu menyusui itu pasti akan terasa lapar setelah menyusui. Ini Ibu siapkan beberapa makanan sehat dan bagus buat memperlancar asi,” tunjuk Mama Liora ke meja sofa.
Beraneka ragam makanan enak tersaji di sana, mulai dari makanan pembuka sampai dessertnya. Bahkan ada jus dan susu coklat. Mama Liora tampak sangat paham apa yang dibutuhkan Rumi.
“Bu, saya jadi nggak enak, udah ngerepotin begini.”
“Ah, tidak merepotkan ... justru Ibu yang makasih banyak kamu mau menyusui cucu Ibu. Makanan ini tidak seberapa. Sekarang, kamu makan dulu ya, jangan malu-malu. Biar Ibu pindahkan Kenzo,” pinta Mama Liora sembari mengambil baby Kenzo dari pangkuan Rumi.
Sebenarnya perut Rumi juga sudah mulai terasa lapar, dengan gerakan malu-malu ia mulai mengambil salad salmon sebagai makanan pembuka saat Mama Liora memindahkan baby Kenzo ke box baby.
“Bu, saya izin makan ya. Ibu nggak sekalian makan juga?”
“Silakan Mbak Rumi, Ibu nanti makan di bawah,” sahut Mama Liora sembari mendekat.
Rumi mengangguk, dan mulai menikmati hidangan. Mama Liora sebelum keluar dari kamar cucunya, ia menyempatkan diri untuk duduk sebentar menemani Rumi.
“Oh iya Bu, kalau boleh tahu baby Kenzo lahir tanggal berapa?”
“Cucu Ibu lahir tanggal 15 Juni di rumah sakit tadi pagi kita bertemu.”
Rumi berhenti mengunyah.
“Kalau anaknya Mbak Rumi lahir tanggal berapa?”
“Tanggal 15 Juni juga, Bu ... ternyata cucu Ibu sama almarhum anak saya tanggal lahirnya sama, tempat lahirnya pun sama. Sungguh ... ini kebetulan sekali, Bu,” jawab Rumi begitu lirihnya.
Mama Liora yang duduk di sebelah Rumi mengusap lembut lengan wanita muda itu dengan rasa empatinya. “InsyaAllah anak Mbak Rumi yang telah tiada itu bisa menjadi penolong bagi kedua orang tuanya kelak. Jangan ... bersedih lama-lama. Dan, anggaplah cucu Ibu adalah anakmu juga ... meski Kenzo tidak lahir dari rahim kamu, tapi darahmu sudah mengalir di tubuh Kenzo melalui asi-mu.” Suara Mama Liora sangat lembut.
Mata Rumi tampak binar-binar. “Benarkah Bu? Boleh saya anggap dede seperti anak saya sendiri?”
“Sangat boleh ... sebenarnya Ibu ingin kamu jadi Ibu susu dari cucu Ibu. Bisa dibayangkan kalau kamu tidak ada, dan dia kembali lapar ... Kenzo akan kembali rewel, dan tak bisa minum susu formula, asi dipindahkan ke botol saja dia juga tidak mau seperti tadi siang.” Mama Liora menghela napas.
Rumi sangat paham apa yang diungkapkan oleh Mama Liora.
“Tapi ... Ibu tidak bisa memaksakan kamu untuk tinggal di sini, selalu berada di sisi Kenzo layaknya seperti ibu. Karena, mama-nya Kenzo juga belum siuman dari komanya. Entah akan siuman atau malah—“ Mama Liora menggantungkan ucapannya seraya menatap sendu pada Rumi, dengan harapan hati Rumi terketuk.
Sementara itu, di kamar sebelah, Julian tampak termenung sembari menatap foto pernikahannya dengan Tisya. Perkataan mamanya barusan, dan apa yang ia lihat itu sangat mengganggu pikirannya.
“Argh!” Julian mengeram, lalu beranjak dari duduknya.
“Bu, saya—“ Belum selesai Rumi merangkai kata, pintu kamar baby Kenzo terbuka. Rumi dan Mama Liora sama-sama masuk melirik ke arah pintu.
“Mah, bisa tinggalkan aku dengan Rumi sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya,” pinta Julian dengan nada suara rendahnya.
Alis Mama Liora saling bertautan, ada rasa penasaran, tapi tetap beranjak dari duduknya.
“Mbak Rumi, Ibu tinggal sebentar. Jangan lupa ... makanannya dihabiskan.”
“Oh, iya, Bu, makasih banyak.” Rumi mengangguk, dan menarik tatapannya dari tatapan tajam Julian.
Mama Liora pun keluar, Rumi kembali menyantap makanannya walau perasaan mulai tidak nyaman karena tidak terbiasa dengan kehadiran Julian. Sementara, Julian sendiri sedang berdiri di sisi boks baby memandang putra yang begitu mirip dengannya.
Beberapa menit kemudian, pria itu baru bergeser posisi. Ia duduk di sofa single. Aura aura bosnya mulai terasa oleh Rumi.
“Saya ingin menawarkan kamu menjadi pengasuh anak saya? Berapa gaji yang kamu minta? Tadi siang saya sempat menawarkan 5 juta dalam seminggu untuk donor asi-mu?” tanya Julian dengan angkuhnya.
Untung saja Rumi sudah menghabiskan makanan utama sebelum pria itu mengajaknya bicara. Namun, sebelum ia menjawab terlebih dahulu Rumi meneguk minumannya. Dan, Julian kesal, seakan-akan tidak dihormati layaknya seorang bos.
“Maaf Pak Julian, kebetulan saya sedang tidak mencari pekerjaan. Bapak tidak perlu menawarkan saya sebagai pengasuh, bukankah baby Kenzo sudah ada baby sitternya,” jawab Rumi lembut.
Rahang Julian mengeras, bisa-bisanya tawarannya ditolak. “Sombong sekali kamu menolak tawaran saya. Bukankah kelak kamu akan butuh uang buat kebutuhan sehari-hari. Apalagi suami kamu juga sudah meninggal? “ sindir Julian agak ketus.
Rumi tersenyum miris, apalagi ia telah mengetahui suaminya korupsi, dan pihak perusahaan menuntut ganti rugi darinya. Tapi, ia sudah ikhlas rumahnya disita, hanya saja butuh waktu.
“Maksud Bapak, kalau suami saya meninggal ... hidup saya akan terlunta-lunta karena tidak punya uang, kah?”
“Biasanya memang begitu, kan, kecuali suamimu meninggalkan warisan yang banyak. Hidupmu masih nyaman.”
“Maaf Pak ... kenapa pembicaraan ini malah merembet ke suami dan kehidupan saya. Di awal Bapak menawarkan saya jadi pengasuh anak Bapak. Dan, saya berikan jawabannya saya tidak mencari pekerjaan sebagai pengasuh anak, karena saya belum pernah jadi baby sitter. Memangnya Bapak mau anaknya diasuh saya yang belum mengerti cara merawat bayi? Apalagi, melihat Bapak yang begitu kaya dan sempurna pasti bisa mencari orang yang berpengalaman. Ketimbang diasuh saya ... lalu kalau kedepannya nanti terjadi sesuatu hal ... pastinya saya lagi yang kena dan disalahkan ole—“
Julian mendengus kesal dengan tangannya terangkat ke atas.
Rahang Rumi mengatup, berhenti bicara.
“Saya paling tidak suka dengan orang yang banyak bicara.”
Rumi diam.
“Saya menawarkan kamu karena untuk anak saya, bukan buat kepentingan saya pribadi. Andaikan istri saya tidak koma, saya tidak akan kesulitan seperti ini. Tawaran ini tidak akan terjadi untuk kedua kalinya, di luar sana pasti banyak wanita yang mau mengasuh anak saya. Dan, saya berani bayar berapa pun yang kamu minta,” ucapnya dengan tatapan tajamnya.
Rumi memilih meneguk minumnya dengan santai, tidak ada tanggapan apa pun yang keluar dari mulut Rumi.
“Kenapa kamu diam aja, tidak menjawab?” Julian makin kesal.
Bersambung ... ✍️