NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:683
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI

Pagi itu sinar matahari menyelinap melalui jendela besar kamar Amara. Ia terbangun lebih awal, berusaha menata napas dan pikirannya. Sudah beberapa hari ia resmi menjadi istri Bagas Atmadja, tapi status itu masih terasa asing. Rasanya ia seperti tamu di rumah sendiri, berjalan hati-hati agar tidak salah langkah.

Amara turun ke ruang makan. Meja panjang sudah ditata, tapi kursi hanya terisi dua: Meylani dan Selvia. Begitu melihat Amara masuk, senyum tipis muncul di bibir Meylani. Senyum yang lebih mirip pisau daripada keramahan.

“Wah, pengantin baru kita sudah bangun. Kukira masih terlelap menikmati kemewahan yang baru saja kau dapat,” ucap Meylani dengan nada manis palsu.

Selvia meletakkan sendok dengan keras. “Aku masih tidak percaya kau bisa duduk di meja ini, Amara. Kau tahu kan, semua orang di luar sana menertawakanmu? Kau jadi bahan gosip di kampus, di media. Menjijikkan.”

Amara menarik kursi perlahan, duduk tanpa menatap mereka. “Aku tidak bisa mengendalikan apa yang orang katakan. Tapi aku bisa mengendalikan bagaimana aku menanggapinya.”

Selvia mendengus. “Jawaban yang indah. Sayang sekali, itu tidak mengubah kenyataan bahwa kau sudah merusak persahabatan kita.”

Amara ingin membalas, tapi ia menahan diri. Ia tahu apa pun yang ia ucapkan hanya akan jadi bahan untuk menyerangnya lagi. Ia memilih menghirup sup hangat, walau rasanya pahit di lidah.

Siang itu, Amara harus menemani Bagas ke acara perusahaan. Sebuah konferensi pers kecil untuk membicarakan proyek baru yayasan. Bagi Bagas, acara ini hanya rutinitas. Bagi Amara, ini ujian pertamanya tampil di depan publik sebagai “Nyonya Atmadja”.

Di dalam mobil, Amara menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Gaun biru muda yang ia kenakan tampak elegan, tapi hatinya berdebar.

“Tenang saja,” kata Bagas tanpa menoleh dari dokumen yang ia baca. “Kau hanya perlu berdiri di sampingku. Tidak perlu bicara banyak.”

Amara menelan ludah. “Dan kalau ada wartawan yang bertanya tentang kita?”

“Aku yang jawab.” Bagas menutup map, akhirnya menatapnya. “Satu hal saja, Amara. Jangan tunjukkan kelemahan. Mereka akan mencabik-cabikmu kalau melihat celah.”

Mobil berhenti di depan gedung. Wartawan sudah berkerumun, kamera dan mikrofon mengarah. Begitu pintu mobil terbuka, kilatan lampu kamera menyambar mata Amara. Ia menggenggam tasnya erat, berusaha tersenyum meski tubuhnya kaku.

Bagas turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan. Amara meraih tangan itu. Sekejap, ada ketegasan yang menular dari genggaman Bagas. Mereka melangkah bersama melewati kerumunan.

“Pak Bagas, benar Anda baru saja menikah dengan mahasiswi biasa?” tanya seorang wartawan.

“Apakah ini pernikahan cinta atau kontrak?” seru yang lain.

Bagas berhenti sejenak, tatapannya tajam. “Saya menikah karena pilihan. Tidak ada yang berhak meremehkan istri saya.”

Amara tercekat. Kata-kata itu membuat dadanya hangat, meski ia tahu sebagian hanyalah strategi. Tetap saja, itu membuatnya berdiri lebih tegak.

Acara berlangsung lancar, tapi ujian sesungguhnya datang saat sesi ramah tamah. Seorang wanita muda dari kalangan sosialita mendekati Amara. Senyumnya manis, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.

“Jadi, ini istri barunya Pak Bagas? Cantik, ya. Pasti menyenangkan tiba-tiba jadi bagian keluarga kaya.”

Amara menahan napas, memilih menjawab dengan sopan. “Saya hanya berusaha menyesuaikan diri.”

“Menyesuaikan diri?” Wanita itu terkekeh. “Semoga berhasil. Dunia ini tidak ramah untuk orang luar.”

Amara merasakan darahnya mendidih, tapi ia tetap tersenyum tipis. Dalam hati ia berkata pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh goyah. Kalau mereka ingin melihatku jatuh, aku justru akan berdiri lebih kuat.

Malam harinya, ketika mereka kembali ke rumah, Amara duduk di balkon. Kakinya terasa lelah, tapi pikirannya lebih lelah lagi. Ia mengingat setiap tatapan, setiap komentar sinis, setiap kilatan kamera.

Bagas masuk tanpa suara, berdiri di sampingnya. “Kau berhasil hari ini.”

Amara menoleh, terkejut. “Berhasil?”

“Ya. Kau tidak gemetar, tidak menangis, tidak lari. Itu sudah lebih dari cukup.”

Amara menatapnya. “Tapi aku merasa semua orang membenciku.”

“Biarkan mereka. Selama kau tetap berdiri, mereka tidak bisa menjatuhkanmu.”

Ada jeda hening. Angin malam berembus, membawa aroma bunga taman. Amara sadar, meski Bagas tidak menunjukkan kasih sayang, ada bentuk perlindungan lain yang ia berikan—perlindungan dengan caranya sendiri.

Malam itu, untuk pertama kali sejak menikah, Amara merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu jalan di depannya masih panjang, penuh duri dan hinaan. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri: ia tidak akan menyerah.

Malam itu, setelah kembali dari acara, Amara membuka ponselnya. Berita tentang pernikahannya dengan Bagas memenuhi laman media sosial. Judul-judul yang menusuk hati bermunculan:

“Mahasiswi Biasa Jadi Istri Konglomerat, Benarkah Pernikahan Kontrak?”

“Bagas Atmadja Bawa Istri Baru ke Konferensi, Siapa Gadis Misterius Ini?”

Kolom komentar dipenuhi cibiran. Ada yang menuduh Amara mengejar harta, ada pula yang menyebutnya merusak persahabatan dengan Selvia. Jari Amara bergetar, tapi ia memaksa diri mematikan layar.

Saat ia keluar kamar menuju dapur, langkahnya terhenti. Selvia berdiri di sana, menatapnya tajam.

“Kau puas sekarang? Semua orang tahu kau jadi istri Papa. Kau bangga sudah jadi bahan gosip murahan?”

Amara menarik napas dalam. “Aku tidak pernah minta semua ini, Selvia. Jangan salahkan aku seakan-akan aku yang merencanakan.”

Selvia mendekat, wajahnya setengah bergetar oleh amarah. “Kalau kau punya sedikit harga diri, kau akan pergi dari rumah ini. Kau bukan bagian dari keluarga kami, Amara. Kau hanya penumpang.”

Kata-kata itu menampar lebih keras dari apa pun. Amara ingin menangis, tapi ia teringat pesan Bagas: jangan tunjukkan kelemahan. Ia berdiri tegak.

“Kalau aku hanya penumpang, biarlah waktu yang membuktikan apakah aku jatuh atau tetap bertahan,” jawab Amara tenang.

Selvia mendengus, lalu berlalu meninggalkan dapur.

Amara kembali ke kamarnya, menutup pintu, lalu bersandar pada dinding. Tubuhnya gemetar, tapi ada sedikit rasa lega karena ia akhirnya bisa menjawab balik, meski dengan suara bergetar.

Ia menatap bayangannya di cermin. Gadis sederhana yang dulu hanya sibuk kuliah dan menggambar kini berdiri dalam pusaran konflik yang lebih besar daripada dirinya.

Dalam hati, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak akan kalah. Kalau semua orang menungguku jatuh, aku akan membuat mereka kecewa.”

Angin malam masuk melalui jendela yang terbuka. Amara tahu, perjalanan barunya sebagai istri keluarga Atmadja baru saja dimulai. Dan ujian pertama ini hanyalah pembuka dari badai yang lebih besar.

Setelah Selvia pergi meninggalkannya di dapur, Amara kembali ke kamar. Ia menyalakan ponsel sekali lagi, mencoba melihat komentar publik dengan hati yang lebih kuat.

Namun setiap kata seolah paku yang menancap di dadanya.

“Mahasiswi mata duitan.”

“Bakal diceraikan dalam hitungan bulan.”

“Kasihan Selvia, dikhianati sahabat sendiri.”

Tangannya gemetar, tetapi kali ini ia tidak mematikan ponsel. Ia membaca semua komentar itu sampai habis, lalu meletakkannya di meja.

“Kalau mereka ingin melihatku jatuh, biarlah. Aku akan buktikan sebaliknya,” bisiknya lirih.

Ia menatap ke jendela, ke arah langit malam yang bertabur bintang. Untuk pertama kali, Amara merasa ia tidak bisa lagi hanya bertahan. Ia harus melawan dengan caranya sendiri—tenang, elegan, tapi kuat.

Dengan tekad itu, ia memejamkan mata. Apa pun badai yang datang besok, ia sudah siap menghadapinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!