Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADRIAN LESMANA
Nama lengkapnya Adrian Yudha Lesmana.
Putra dari pasangan pensiunan jaksa dan akademisi hukum. Lahir di Jakarta, besar di antara buku-buku tebal dan prinsip-prinsip hitam-putih tentang benar dan salah.
Sejak kecil, Adrian tidak belajar menyampaikan perasaan. Di rumahnya, kelembutan dianggap kelemahan. Ayahnya tegas—bahkan dingin. Ibunya keras dalam logika. Ketika anak-anak lain menangis karena kehilangan mainan, Adrian belajar menekan air mata saat kehilangan adik perempuannya dalam kecelakaan mobil. Ia masih 12 tahun waktu itu, dan sejak hari pemakaman itu ia berhenti menangis.
Dunia hukum adalah tempat yang ideal bagi pria seperti dia—dunia yang bisa dikontrol dengan logika, strategi, dan fakta.
Adrian menapaki kariernya dengan cepat. Setelah lulus dari Universitas Indonesia dengan predikat summa cum laude, ia melanjutkan studi ke London dan New York. Di sana ia belajar bahwa integritas bisa dijual, hukum bisa dinegosiasikan, dan keadilan tak selalu berpihak pada yang benar… tapi pada yang paling kuat dan paling lihai.
Dan ia memilih jadi yang paling lihai.
Adrian Lesmana membangun reputasi sebagai pengacara yang tidak punya waktu untuk basa-basi, tidak punya ruang untuk simpati. Kantornya berdiri di gedung tinggi kawasan SCBD, berisi orang-orang muda dengan otak tajam dan ambisi gila. Ia tidak perlu iklan. Namanya selalu disebut dalam lingkaran klien elit—dari pejabat, selebritas, hingga pengusaha berkuasa.
Hari itu, Adrian baru saja menyelesaikan tiga conference call dan menolak dua wawancara media. Jam tangannya menunjukkan pukul 15.43 saat ia berdiri dan menuju jendela kaca kantornya. Di bawah, lobi terlihat seperti semut-semut manusia bergerak cepat.
Tapi ada satu sosok yang tidak bergerak.
Seorang perempuan muda. Duduk diam di sofa.
Adrian menyipitkan mata. Dari lantai 27, ia bisa mengenali sorot tubuh orang yang kelelahan: bahu yang menggantung, tangan yang menggenggam terlalu erat, punggung yang mencoba terlihat tegak meski jelas gemetar.
"Nesa." panggilnya pelan.
Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk. "Ya, Pak?"
"Siapa yang duduk di lobi itu sejak pagi?"
“Namanya Maya Larasati. Katanya mau konsultasi hukum tentang sengketa hak asuh. Tapi saya sudah bilang Bapak tidak menerima hari ini.”
“Sudah berapa lama dia menunggu?”
“Kurang lebih tiga jam. Tadi pagi juga datang, tapi tidak dapat giliran.”
Adrian tidak menjawab. Dia hanya menatap lagi ke arah bawah. Kali ini lebih lama.
Beberapa menit kemudian, saat ia turun ke lobi lewat lift khusus, ia menyaksikan sesuatu yang membuat darahnya terhenti sebentar.
Seorang pria berpakaian rapi—jas branded, jam tangan mahal—berdiri terlalu dekat dengan Maya. Bahunya menunduk ke arah perempuan itu, dengan gaya intimidatif yang sangat dikenalnya.
Reza Kurniawan.
Adrian tahu nama itu. Klien lama law firm saingannya. Tangan kanannya pernah terseret kasus kekerasan, dan—berdasarkan desas-desus internal dunia hukum—Reza punya banyak “cara” untuk menekan wanita. Termasuk lewat uang dan ancaman hukum.
Ia tidak bisa mendengar seluruh percakapan mereka, tapi ekspresi Maya sudah menjelaskan semuanya.
“Kamu pikir Adrian Lesmana akan bantu kamu?”
“Bayar pakai apa? Air mata?”
“Nayla butuh ayahnya. Bukan ibunya yang dramatis.”
Suara Reza rendah tapi menyengat. Adrian bisa menebak kalimat-kalimat seperti itu. Pria seperti Reza tidak pernah benar-benar berubah—mereka hanya ganti topeng sesuai kebutuhan.
Maya tampak menunduk, tapi rahangnya mengeras. Ia tidak membalas, tapi tubuhnya kaku seperti pegas yang siap patah.
Adrian berbalik arah, tidak menyapa. Tapi saat sampai di kantornya, ia langsung membuka laptop.
Mengetik email singkat.
Kepada: Asisten pribadi
Judul: Jadwal klien
Beri slot konsultasi: Maya Larasati
Besok pagi pukul 07.30
Batasi waktu: Maksimal 20 menit
Hanya konsultasi, belum janji pendampingan
Ia menatap layar sesaat. Tidak tahu kenapa, tapi pertemuan singkat tadi mengganggunya. Mungkin karena Reza. Atau mungkin karena Maya tetap diam, tetap berdiri, walau jelas diserang secara emosional.
Mungkin karena di balik ketenangannya, Adrian melihat sesuatu yang familiar—seorang anak yang pernah kehilangan segalanya, tapi terlalu keras kepala untuk menyerah.
Sore itu, hujan turun.
Dari balik tirai jendela, Adrian melihat Maya melangkah pergi dengan langkah pelan. Tidak ada payung, tidak ada mobil menjemput.
Sendiri. Seperti yang dulu sering dia lakukan juga.
Dan Adrian Lesmana… untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasakan sesuatu selain kejenuhan dan kemarahan pada dunia.
Rasa penasaran.
kamu harus jujur maya sama adrian.