Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Blue Sapphire Necklace
"Ada apa?"
Suri masih melengos, membuat Dean mendesah pelan. "Bisakah kau melihat ke arahku sebentar? Tidak nyaman berbicara tanpa saling tatap muka begini."
"Singkirkan dulu walkman tua itu, aku malas melihatnya."
Dean menunduk, memandang walkman di tangannya dengan dahi berkerut. "Apa masalahnya?"
"Buang saja."
"Tidak akan," tolak Dean, "mumpung sedang dibahas, sebaiknya kau jelaskan saja apa yang terjadi. Apa yang kau dengar dari walkman ini sampai membuatmu kabur tadi?"
"Kau dengarkan saja sendiri!"
"Sudah," Dean menyelak, "aku sudah dengarkan, dan tidak ada yang aneh."
Suri praktis menoleh. Matanya memerah, terbuka lebih lebar. "Tidak ada yang aneh kau bilang?" tembaknya.
"Iya, tidak ada yang aneh. Hanya Swan Lake yang mengalun lembut, lalu selesai. Tidak ada rekaman lain di sana."
Tatapan Suri melemah. Sorotnya menampakkan kebingungan. "Kau..." ucapnya pelan dan tersendat. "Kau tidak dengar ada suara gemersik dan ledakan?"
Giliran Dean yang bingung. Ia memandang walkman di tangannya sekali lagi, lalu menggeleng yakin. "Hanya Swan Lake, Suri," ujarnya menegaskan.
Suri terdiam tak percaya. Jika Dean tidak mendengar suara ledakan di tengah lagu, kenapa Suri bisa? Memangnya masuk akal jika hasilnya berbeda padahal mereka mendengarkan dari satu perangkat yang sama.
Masuk akal? Suri, bahkan melihat dan berkomunikasi dengan hantu saja sudah tidak masuk akal. Berhenti menyeret akal sehat mulai sekarang. Kau hanya akan kebingungan, lalu gila.
"Diam." Sekonyong-konyong Suri menyahuti suara hatinya sendiri. Dean pikir perintah itu untuknya, jadi ia membiarkan bibirnya setengah terbuka dan urung mengatakan hal lain.
Dalam kekalutan dan kebingungan yang membaur jadi satu, Suri mengacak rambutnya kasar. "Baiklah," katanya, "lupakan soal walkman sialan itu. Anggap saja aku salah dengar. Sekarang katakan, apa urusanmu datang ke kamarku tengah malam begini?"
"Ah...." Dean merogoh satu celananya terburu, mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah kalung dengan rantai tipis--setipis kesabaran Suri--bertakhtakan liontin berbentuk hati, ukurannya kecil, dihias sebuah permata biru sapphire.
Kalung itu terasa familier bagi Suri, meski tidak jelas dalam ingatannya tentang kapan, di mana, dan oleh siapa kalung itu diberikan kepadanya. Perasaan Suri hanya mengenali bahwa kalung itu miliknya.
"Itu ... kau dapat dari mana?" cecar Suri seraya menyambar kalung tersebut dari tangan Dean.
"Di gudang," jawab Dean, "Setelah kau pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun, aku tinggal lebih lama di sana, memastikan semua barangmu sudah kembali tertata tanpa ada yang terlewat. Lalu saat hendak keluar, aku menemukan kalung itu di kolong lemari, di sisi yang satunya."
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibir Suri setelah mendengar penjelasan Dean. Ia bahkan tidak mengucapkan terima kasih karena Dean sudah menemukan kalungnya dan mengembalikan benda itu kepadanya. Suri malah membiarkan hening menguasai keadaan. Pandangannya jatuh pada lantai kamar yang mengilap diterpa cahaya lampu tidur.
"Kenapa belum tidur?" tanya Dean memecah keheningan. "Ini sudah larut. Sebaiknya kau segera tidur supaya besok tidak bangun kesiangan."
"Aku tidak bisa tidur," sahut Suri datar. Tidak usah diingatkan pun ia sudah mengerti. Suri harus bangun lebih pagi supaya sempat belajar (karena malam ini agenda belajarnya gagal total).
Masalahnya kan matanya tidak bisa diajak kompromi. Setiap kali dipejamkan, malah muncul bayangan-bayangan aneh dan deru suara mengerikan. Entah efek sensasi kejut dari walkman yang masih terbawa, atau sesederhana bahwa Suri memang sudah gila.
"Kenapa?"
Hanya gelengan yang Suri berikan sebagai jawaban. Terlalu panjang untuk menjelaskan pada Dean apa alasannya. Lagi pula, belum tentu juga pria itu bisa membantu. Bagaimana jika ucapan yang keluar dari bibir Dean malah semakin membuatnya sakit kepala?
Ugh, sialan.
"Mau aku temani sampai bisa tertidur?" Dean menawarkan.
Suri mengangkat kepalanya. Untuk beberapa lama, tatapannya mengunci sosok Dean, sedangkan bibirnya masih terkatup rapat.
"Atau," kata Dean. Dia bergerak cepat menarik kursi dari meja belajar Suri, lantas mendaratkan bokongnya di sana. "Mau coba dengar aku bernyanyi?"
Seketika, tawa Suri pecah. Menggelegak, memecah keheningan malam. Konyol untuk memikirkan sesosok hantu yang selalu galau, menawarkan diri menyanyikan lagu untuknya. Lalu lagu apa yang akan Dean pilih? Lagu pengiring arwah naik ke surga? Lagu pemanggil hantu? Apa?
Merasa ditertawakan, Dean mengerucutkan bibir. "Kenapa tertawa? Suaraku bagus," ucapnya defensif.
Tawa Suri masih mengudara ketika kepalanya mengangguk. "Baiklah, baiklah," katanya, "coba aku dengar. Jika bagus, akan aku pertimbangkan untuk lanjut. Tapi jika tidak...." Ia menjeda, sekadar mengambil waktu mencondongkan tubuhnya ke depan, "jika ternyata suaramu jelek, aku akan menghukummu."
"Bicarakan itu nanti." Dean menoyor kepala Suri menggunakan telunjuk. Sang gadis pun terjengkang, tapi tubuhnya tidak sampai ambruk.
Suri menggerutu, tidak terima kepala yang diberkati itu diperlakukan semena-mena oleh arwah penasaran macam Dean. Ah, ya, mulai sekarang Suri akan menyebut Dean sebagai arwah penasaran alih-alih hantu.
"Silakan ambil posisi tidur yang nyaman," titah Dean.
Kendati masih kesal, Suri mengalah. Ia rebah di kasur. Kepalanya mendarat lembut di atas bantal, posisi terlentang. Selimut ditarik sampai menutup sebatas perut. Di atas perut, kedua tangannya (yang masih menggenggam kalung biru sapphire) saling bertaut.
"Silakan mulai."
Dean berdeham pelan sebelum memulai. Tidak memerlukan waktu lama baginya untuk memutuskan lagu apa yang akan dinyanyikan, sebab dari awal sudah ada satu yang terlintas di kepala. Maka setelah siap, Dean mulai membuka mulutnya. Bibirnya bergerak luwes, lagu dinyanyikan mulus bahkan tanpa iringan musik. Suara Dean sendiri sudah khas. Seperti satu kesatuan utuh, membuatnya tidak butuh dukungan alat musik lain.
Di rebahnya, Suri terpana. Tidak ada di dalam dugaannya suara Dean akan sebagus ini. Sekadar bisa bernyanyi sih mungkin. Tapi memiliki suara yang menghipnotis, hingga membuat kelopak matanya seketika terasa berat, sungguh tidak Suri perkirakan sama sekali.
"Baiklah, kau lulus." Suara Suri kecil sekali, hampir seperti cicitan.
Dean tersenyum tipis tanpa menghentikan nyanyiannya. Tatapannya tidak lepas dari sosok Suri, yang alunan napasnya mulai berangsur teratur.
Sesuai ucapannya, Dean mengiring Suri masuk ke alam mimpi. Semakin perlahan napas Suri dihela, semakin pelan pula suara Dean mengalun. Ketika ia yakin Suri sudah sepenuhnya tertidur, barulah Dean berhenti.
"Selamat malam, Suri," bisiknya. Namun Dean tidak pergi ke mana-mana. Walaupun nyanyiannya telah selesai, ia tidak meninggalkan kamar Suri.
Dean tetap duduk di tempatnya. Memandang wajah Suri dengan mata sendunya. Lalu saat itulah ia menangkap kemilau dari sela-sela jari Suri. Kemilau kecil dari permata biru sapphire di genggaman sang gadis.
Secercah harapan tumbuh dari sana. Membawa ada Dean terbang lebih tinggi. Ia harap mampu menembus lapisan langit, sampai ke Tuhan, lalu kembali dalam bentuk doa yang dikabulkan.
"Kita pasti bisa, Suri." Dean merapatkan jemarinya, menahan getir yang berusaha menerobos keluar bersama kalimat yang ia ucapkan barusan.
Bersambung....