Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 : Perjodohan
Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol. Dari luar, ia memang tampak manis, bahkan kadang terlalu manis, tapi dalam kesehariannya ia lebih sering bikin orang geleng-geleng kepala karena ulahnya.
Sebaliknya, ada Adrian Wijaya, pria berusia dua puluh enam tahun yang sudah menjabat sebagai CEO salah satu perusahaan besar di Jakarta. Tingginya hampir mencapai 185 cm, tubuhnya tegap hasil rajin olahraga, wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata tajam yang selalu terlihat dingin. Jika Alira seperti kembang api yang meledak dengan warna-warni setiap saat, maka Adrian adalah patung es yang tidak pernah berubah ekspresi.
Pria itu perfeksionis, disiplin, dan sangat menjaga reputasi. Baginya, waktu adalah uang, dan uang tidak boleh terbuang hanya karena hal-hal sepele. Tidak banyak orang bisa mendekatinya, bahkan karyawannya sekalipun selalu menjaga jarak. Adrian dikenal sebagai “Tuan Es” oleh orang-orang di belakangnya, sebuah julukan yang sangat cocok dengan sikapnya.
Dua pribadi yang begitu bertolak belakang inilah yang tiba-tiba saja harus dipertemukan oleh takdir—atau lebih tepatnya, oleh rencana besar kedua orang tua mereka.
Semua bermula dari hubungan lama antara keluarga Ramadhani dan keluarga Wijaya. Ayah Alira, seorang pengusaha properti, sudah lama bersahabat dengan ayah Adrian yang merupakan pengusaha di bidang keuangan. Mereka sama-sama pernah melalui masa sulit di awal karier, dan pernah berjanji suatu saat ingin mengikat hubungan keluarga agar tidak hanya sekadar sahabat bisnis.
Janji itu lama terlupakan, sampai akhirnya kondisi kesehatan ayah Alira memburuk. Dalam kegelisahannya, ia teringat pada janji lama itu dan merasa inilah waktu yang tepat untuk menepatinya.
“Ramadhan,” kata Pak Pratama suatu malam saat makan malam bersama, “aku rasa ini saatnya kita benar-benar menyatukan keluarga kita. Aku ingin Adrian menikah dengan Putri-mu.”
Alira, yang kebetulan ikut makan malam itu, hampir tersedak sate kambing yang sedang ia kunyah. “Hah?! Menikah? Sama siapa? Jangan bilang sama anak Bapak yang mukanya kayak kulkas dua pintu itu!”
Ibunya segera mencubit lengannya di bawah meja. “Alira, sopan!”
Sementara Adrian hanya menoleh sebentar, ekspresinya tetap dingin tanpa perubahan. “Aku tidak setuju. Aku tidak punya waktu untuk urusan seperti itu.”
Namun, kedua ayah itu hanya saling tersenyum, seolah sudah memprediksi reaksi anak-anak mereka.
“Kalian masih muda memang, tapi pernikahan ini bukan hanya tentang kalian,” lanjut Pak Ramadhani. “Ini tentang keluarga kita. Tentang janji yang harus ditepati.”
Malam itu menjadi awal dari serangkaian perdebatan yang tidak pernah ada habisnya.
“Ayah! Aku masih muda! Aku bahkan baru mau kuliah. Masa disuruh nikah sekarang?” protes Alira di kamarnya.
Ibunya masuk dan duduk di sisi ranjang. “Nak, ayahmu hanya ingin memastikan kamu punya masa depan yang aman. Adrian pria baik, tampan, mapan. Banyak gadis yang mau jadi istrinya.”
Alira mendengus. “Kalau gitu biarin aja gadis lain yang ngantri! Aku nggak mau. Dia itu dingin kayak freezer! Aku yakin dia kalau ketawa pasti jarang banget, mungkin bisa dihitung pakai jari tangan bayi.”
Di sisi lain, Adrian juga tidak kalah keras menolak.
“Ayah, aku tidak butuh pernikahan. Aku bisa menjaga perusahaan tanpa harus menikah sekarang,” katanya dengan nada tegas.
Ayahnya hanya menatapnya tenang. “Adrian, kamu selalu sibuk dengan pekerjaan. Kamu butuh seseorang di sisimu. Gadis itu mungkin terlihat polos, tapi aku yakin dia bisa membuat hidupmu lebih seimbang. Kamu terlalu kaku, Nak.”
Adrian menatap ayahnya lama, lalu menghela napas. “Aku tidak akan membuka hatiku untuknya. Kalau ini memang harus terjadi, maka biarlah pernikahan ini hanya di atas kertas.”
Kabar tentang perjodohan itu akhirnya menyebar cepat di kalangan keluarga besar dan kerabat. Semua orang menunggu dengan penasaran bagaimana dua pribadi yang begitu berbeda bisa dipaksa bersatu.
Alira, dengan gayanya yang selalu blak-blakan, sering kali mengeluh kepada sahabat-sahabatnya.
“Bayangin aja, aku yang ceria, manis, centil, harus nikah sama pria es batu yang tiap jalan kayak bawa hawa kulkas portable. Gimana nggak sedih coba?!”
Sahabatnya hanya bisa tertawa. “Tapi kan dia ganteng banget, Ra. Dan kaya. Kayaknya hidupmu bakal kayak drama Korea.”
Alira melotot. “Drama Korea apaan? Ini mah lebih mirip horror Korea. Habis manis, sepahit-pahitnya.”
Sementara itu, Adrian tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja dari pagi sampai malam, tak sekalipun menunjukkan ekspresi panik atau resah. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu akan sulit menghadapi gadis berusia delapan belas tahun yang bahkan belum pernah masuk ke dunia kerjanya.
Hari demi hari berlalu, dan semakin dekatlah tanggal pernikahan yang ditentukan. Alira semakin gundah, Adrian semakin dingin. Tapi satu hal yang tidak mereka sadari: semakin mereka menolak, semakin besar pula rasa penasaran orang-orang di sekitar mereka. Semua menunggu, apakah si gadis centil akan berhasil menembus dinding es sang CEO dingin, atau justru mereka akan saling menjauh?
Dan malam sebelum hari pernikahan, Alira berdiri di depan cermin kamarnya. Ia menatap dirinya lama, rambutnya yang panjang, mata bulatnya yang cerah, serta senyumnya yang penuh kenakalan.
“Besok aku resmi jadi istri si Es Batu… Hmm. Kalau dia pikir bisa cuekin aku, salah besar. Aku bakal bikin dia nyesel udah nikahin aku. Challenge accepted, Adrian Pratama!” katanya sambil mengepalkan tangan dengan semangat.
Di tempat berbeda, Adrian menutup laptopnya dan berdiri di depan jendela besar kantornya. Lampu-lampu kota berkelip di bawah sana, namun pikirannya kosong.
“Besok… aku akan menikahi seorang gadis yang bahkan tidak aku kenal. Baiklah. Tapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan ini mengganggu hidupku. Aku tetap Adrian yang sama,” gumamnya dingin.
Dua hati dengan niat yang berbeda. Dua jiwa dengan sifat yang bertolak belakang. Namun besok, takdir akan memaksa mereka menjadi satu.
Dan tidak ada yang tahu, apakah ini awal dari bencana… atau awal dari sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan.
Hallo readers jangan lupa tinggalin jejak ya 🌹