Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Hari itu Rossa pergi ke mall untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Kebetulan, mall itu adalah tempat yang sama di mana Azel bekerja.
Ketika jam makan siang tiba, Azel memutuskan untuk pergi ke kantin khusus pegawai. Karena Sisil sedang tidak masuk, ia berjalan sendirian.
Dalam perjalanan, matanya menangkap sosok Rossa yang sedang memilih beberapa pakaian. Tanpa pikir panjang, Azel langsung menghampirinya.
“Ibu… Ibu sedang apa?” tanya Azel hati-hati.
“Kamu tidak lihat? Sedang berbelanja,” jawab Rossa ketus tanpa menoleh.
“Oh, iya, Bu…” Azel terdiam, bingung harus melanjutkan apa.
Tiba-tiba, Rossa berbalik badan dan buru-buru bersembunyi di balik deretan gantungan baju. Gerak-geriknya jelas aneh, seolah tidak ingin terlihat.
“Ibu? Ibu kenapa?” tanya Azel sambil menoleh ke sekeliling.
Saat itulah Azel melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Tak jauh dari sana, Brama berjalan beriringan dengan seorang wanita yang tak asing buat azel. karena azel pernah melihatnya sebelumnya . Gerak-gerik mereka terlalu akrab untuk sekadar rekan kerja. Wanita itu bahkan menggandeng lengan Brama dengan manja.
Azel terdiam. Ia menoleh ke arah Rossa yang pura-pura sibuk memungut baju seakan ada yang jatuh, padahal jelas-jelas sedang bersembunyi.
“Ibu…” suara Azel tercekat. “Kenapa Ibu bersembunyi? Apa… Ibu—”
Belum sempat Azel menyelesaikan ucapannya, Rossa langsung memotong dengan suara getir.
“Jangan ikut campur urusan saya. Dan jangan pernah melewati batasmu.”
Tanpa memberi kesempatan Azel bicara lagi, Rossa berbalik dan pergi begitu saja.
Azel berdiri mematung. Hatinya semakin berat menerima kenyataan itu. Ibu… kenapa harus menyimpan semuanya sendiri? Kenapa Ibu membiarkan semua ini, bahkan rela menahan sakitnya sendirian?
\=\=\=\=\=
Malam itu, seperti biasa Azel sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Aroma masakan memenuhi ruangan, tapi hatinya terasa sesak. Bayangan kejadian siang tadi—saat ia melihat Rossa bersembunyi dari Brama dan selingkuhannya—masih terus menghantui pikirannya.
Sementara itu, Elzhar baru saja selesai membersihkan diri. Ia berjalan ke ruang makan, rambutnya masih sedikit basah, wajahnya segar. Begitu melihat hidangan di meja, senyum tipis terbit di wajahnya.
“Lo masak apa hari ini? Wanginya gila banget, bikin perut gue langsung keroncongan,” ucap Elzhar dengan nada riang.
Azel hanya tersenyum kecil, membalas seadanya. Tangannya sibuk menata piring, tapi matanya kosong.
Mereka pun duduk bersama. Elzhar makan dengan lahap, sesekali melontarkan pujian.
“Enak banget, Zel. Kayak biasa, lo nggak pernah gagal bikin gue nagih.”
Namun, pujian itu tak lagi membuat Azel hangat seperti biasanya. Nafsu makannya hilang, pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah, bingung, sekaligus marah atas apa yang dilihatnya tadi siang.
Setelah makan, Elzhar bersandar santai di sofa sambil memainkan ponselnya. Azel berdiri di dapur, menatap piring-piring kotor. Hatinya gelisah. Ia tahu, ia tidak bisa lagi menyimpan ini sendirian.
Dengan langkah pelan, ia menghampiri Elzhar lalu duduk di sampingnya.
“L… gue mau ngomong sama lo,” ucap Azel lirih.
Elzhar menoleh, lalu meletakkan ponselnya. “Kenapa? Ngomong aja, Zel. Gue pasti dengerin.”
Azel menarik napas dalam-dalam. Suaranya bergetar saat berkata,
“Gue minta maaf sebelumnya… gue udah nyimpen ini sejak lama. Gue pikir gue bisa nahan, tapi kejadian siang tadi bikin gue nggak sanggup lagi.”
Kening Elzhar berkerut. “Emang ada apa? Zel, gue udah bilang, jangan pernah mikirin beban lo sendirian. Cerita ke gue.”
Azel menggenggam tangannya erat-erat, seolah butuh kekuatan. “Tapi lo janji ya… lo jangan marah.”
“Iya, gue janji.”
Azel menatap mata suaminya. Air bening sudah mulai menggenang di pelupuknya. “L… gue liat ayah lo sama wanita lain. Bukan sekali, tapi udah beberapa kali gue nggak sengaja nemu. Dan siang ini… gue ketemu ibu lo di mall. Dia lagi belanja. Pas dia ngeliat ayah lo jalan sama perempuan itu, ibu lo tiba-tiba bersembunyi… kayak orang ketakutan. L… hati gue sakit banget liat ibu lo sampai segitunya.”
Belum sempat Azel melanjutkan, Elzhar langsung berdiri, suaranya meninggi.
“STOP! Cukup, Zel! Jangan pernah ikut campur urusan orang tua gue!”
Azel terperanjat. Ini pertama kalinya ia melihat Elzhar semarah itu. “L… lo tau semuanya?” suaranya bergetar.
Elzhar mengepalkan tangan, matanya berkaca-kaca namun penuh amarah. “Gue bilang cukup! Gue nggak mau denger satu kata pun tentang mereka dari mulut lo.”
“L, kalau lo tau… kenapa lo nggak marah sama bokap lo? Kenapa harus ibu yang nahan semuanya? Gue liat sendiri, L, ibu lo bersembunyi kayak orang yang kalah. Harusnya yang malu itu perempuan itu, bukan ib—”
“AZELLL!” suara Elzhar meledak, memotong kata-katanya. “Jangan so tau! Jangan ikut campur masalah keluarga gue. Ingat baik-baik, lo cuma istri pura-pura gue!”
Kata-kata itu menusuk jantung Azel seperti belati. Tubuhnya gemetar, matanya panas. “Apa… lo bilang? Oke, L. Gue minta maaf. Gue lupa diri, gue lupa posisi gue.”
Dengan suara parau menahan tangis, Azel bangkit dari sofa. Ia berlari masuk ke kamar, membanting pintu di belakangnya.
Begitu sampai di dalam, air matanya tak lagi bisa dibendung. Azel menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar hebat. Selama ini, ia sudah terbiasa menghadapi dinginnya Elzhar. Tapi malam itu… untuk pertama kalinya Elzhar membentaknya dengan begitu keras, bahkan melemparkan kata-kata yang melukai hatinya paling dalam.
Di luar kamar, Elzhar berdiri mematung. Nafasnya terengah, emosinya masih menggelegak. Tapi di balik amarah itu, ada rasa sesak yang sulit ia akui—sebuah kebenaran yang berusaha ia kubur rapat-rapat.
Setelah hening beberapa lama, Elzhar duduk di ruang tamu, menundukkan kepalanya. Nafasnya berat, dada terasa sesak. Perlahan amarahnya mulai surut, berganti dengan penyesalan yang menghantam keras.
"L… kenapa lo semarah itu tadi? Kenapa lo bentak Azel? Gue gila apa? Pasti Azel sakit hati…" gumamnya dalam hati, menyesali kata-kata kejam yang baru saja ia lontarkan.
Ia memukul kepalanya pelan, seolah mengutuk kebodohannya sendiri.
Tak tahan, ia bangkit lalu melangkah menuju kamar. Tangannya bergetar ketika mengetuk pintu.
“Tok… tok… tok…”
“Zel… gue… gue minta maaf,” ucapnya dengan suara serak.
Tidak ada jawaban.
“Zel, gue mau jelasin semuanya. Izinin gue masuk, gue mohon…”
Tetap hening.
Dengan hati-hati, Elzhar memutar gagang pintu. Ternyata tidak dikunci. Ia masuk perlahan, dan pemandangan di depannya langsung menusuk hatinya—Azel duduk di tepi ranjang, wajahnya basah oleh air mata, bahunya berguncang menahan isak.
“Azelll…” suara Elzhar pecah. Ia mendekat, berjongkok di depannya. “Gue minta maaf… kalau gue tadi kelewatan. Gue emosi… gue nggak bisa kontrol diri. Maafin gue, ya.”
Azel menunduk, suaranya lirih. “Gak papa, bukan salah lo. Gue yang salah… terlalu peduli sama keluarga lo.”
“Ssshh… nggak, Zel. Bukan lo yang salah. Itu gue.” Elzhar menghapus air mata Azel dengan ibu jarinya. “Gue yang salah.”
Azel hanya diam, masih berusaha menenangkan dirinya.
Elzhar menatapnya penuh keraguan. “Kali ini… boleh nggak gue cerita sama lo? Gue harap setelah lo dengerin semuanya… lo nggak berubah.”
Azel menoleh perlahan, matanya masih merah tapi tangisnya mulai mereda. Ia mengangguk kecil.
Elzhar menarik napas dalam, lalu mulai bicara dengan suara bergetar.
“Jujur, Zel… gue malu banget ceritain ini semua. Malu, sakit, campur aduk. Bahkan gue pengen ngubur dalam-dalam semua kenyataan ini.”
Azel tetap diam, memberi ruang.
“Dari dulu… ayah nikahin ibu karena bisnis dan keuntungan. Hampir nggak ada cinta di antara mereka. Hidup bokap cuma soal uang, jabatan, dan keuntungan. Sementara ibu… ibu sering banget nangis. Gue masih kecil waktu itu, gue nggak ngerti apa-apa. Yang gue tau, tiap malam ibu sembunyi-sembunyi ngelap air mata. Tapi alasan ibu selalu sama… demi gue. Demi gue bisa hidup enak, terjamin, sekolah bagus. Karena kalau ibu ninggalin ayah, ibu nggak dapet apa-apa.”
Suara Elzhar pecah. Ia menutup wajahnya sebentar, lalu melanjutkan.
“Pas gue udah dewasa… gue liat sendiri bokap selingkuh di depan mata gue. Gue marah, Zel. Gue berontak, gue bela ibu habis-habisan. Tapi… ibu tetep memihak ayah. Bahkan ibu bilang, ‘anggap aja kamu nggak liat apa-apa.’”
Air mata Elzhar jatuh, ia menangis sesenggukan.
“Dari situ gue benci semuanya. Gue benci rumah itu. Gue benci cara ibu ngebiarin dirinya tersiksa demi uang. Dari situ juga gue mutusin buat keluar, hidup sendiri. Gue udah muak sama semuanya.”
Azel perlahan meraih bahu Elzhar, menepuknya lembut. “L… gue nggak tau masalah lo seberat ini…”
Tak kuat lagi menahan emosinya, Elzhar langsung memeluk Azel erat-erat. Pelukannya penuh luka, penuh putus asa. Tangisnya pecah di bahu Azel.
“Hidup gue penuh tekanan, Zel… bahkan ibu gue rela hidup dengan rasa sakitnya seumur hidup, demi status, demi bokap. Gue nggak sanggup liat lagi. Ini salah satu alasan gue gak mau menikah, Gue takut rumah tangga gue… hancur kayak mereka.”
Azel memejamkan mata, ikut menahan haru. Tangannya mengusap punggung Elzhar dengan lembut.
“Udah ya, L… sekarang ada gue di sini. Lo nggak sendirian. Gue janji, selama lo masih butuh gue… gue akan selalu ada di samping lo.”
Perlahan, tangis Elzhar mereda. Tapi untuk pertama kalinya, Azel melihat sisi rapuh seorang Elzhar—sisi yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat di balik sikap dinginnya. Malam itu, kejujuran dan luka yang terkuak membuat mereka semakin dekat, meski keduanya masih belum berani menyebutnya cinta.
“Zel… gue nggak tau, kalau gue nggak ketemu lo… gue sekarang bakal jadi apa. Makasih ya, Zel…” ucap Elzhar dengan suara bergetar, lalu memeluk tubuh Azel begitu erat seakan takut kehilangannya.
Azel membalas pelukan itu dengan lembut. “Ia, L… sama-sama. Tapi mulai sekarang lo jangan simpan semua beban sendirian. Lo harus cerita semuanya ke gue. Gue siap jadi pendengar terbaik buat lo, sampai kapan pun.”
Elzhar terdiam, matanya memejam sejenak, merasakan ketulusan yang selama ini ia rindukan. Perlahan ia mengangguk, kemudian melepaskan pelukannya. Namun pandangannya tidak bisa lepas dari wajah Azel. Ada sesuatu yang tumbuh tanpa bisa ia kendalikan—sebuah rasa nyaman, rasa aman, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Zel…” bisiknya lirih sambil mengangkat tangannya, menyentuh wajah Azel dengan penuh kehati-hatian.
Azel menatap balik, sedikit bingung. “Hmm… kenapa, L?”
Elzhar menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Maaf… gue udah nggak bisa nahan lagi…”
Seketika, ia mendekat dan menempelkan bibirnya ke bibir Azel. Awalnya lembut, penuh keraguan. Namun ketika Azel memejamkan mata dan tidak menolak, ciuman itu berubah menjadi pelampiasan emosi yang selama ini mereka pendam—campuran dari luka, letih, dan rasa sayang yang tak bisa lagi mereka sembunyikan.
Air mata Azel jatuh di pipinya, namun ia tak melepaskan diri. Justru ia membiarkan dirinya larut, merasakan kehangatan yang Elzhar berikan. Dalam ciuman itu, mereka sama-sama menemukan sesuatu yang selama ini hilang—tempat untuk pulang, tempat untuk merasa hidup kembali.
Saat akhirnya Elzhar menarik wajahnya perlahan, napasnya masih memburu. Ia menatap Azel dengan mata basah.
“Gue… bener-bener beruntung ketemu Lo…”
Azel terdiam, hatinya bergetar hebat. Ia membalas dengan suara yang nyaris berbisik.
“Dan gue… bersyukur ketemu sama lo…”
Malam itu, tanpa banyak kata, mereka berdua tenggelam dalam pelukan yang begitu erat—bukan lagi sekadar pelukan pengganti, tapi pelukan yang menyatukan dua jiwa yang sama-sama terluka dan akhirnya menemukan arti kebersamaan
Dalam dekapan yang hangat, Elzhar dan Azel sama-sama sadar—
mereka tak lagi hanya terikat oleh perjanjian dan status.
Ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang tak bisa lagi mereka abaikan.
Cinta… mungkin belum sepenuhnya mereka akui.
Namun malam itu, untuk pertama kalinya, mereka membiarkan diri mereka tenggelam
dalam rasa yang sesungguhnya.