NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Kembang Desa

"Pagi juga, nak." ibu Nur menjawab ramah. Kemudian menambahkan lagi, "Ini masih terlalu pagi loh, Nis, masih dingin juga udaranya, kenapa nggak nyantai-nyatai aja dulu sambil ngeteh?"

"Nggak apa-apa, Nek." suara yang dikeluarkan si pemilik bibir mungil itu terdengar benar-benar lembut-lembut. "Makin cepat selesai makin baik. Soalnya mau diajak mbak Lala ke warung nanti buat cemilan katanya."

Ibu Nur mengangguk. "Oke... tapi hati-hati ya, takut nanti kena duri lagi kayak kemarin."

Gadis yang diajak ibu Nur bicara itu mengangguk ringan seraya kembali meneruskan langkah setelah lebih dulu mengangguk sopan kepada pria yang tak berani ditatapnya lama-lama itu.

Sementara Armand, dia hanya pendengar dan penyimak dalam diam. Diam tapi mengamati dengan seksama hingga gadis yang membawa arit serta pengeruk tanah berukuran kecil itu berjongkok diantara tanaman bunga ibunya, yang mana hampir membuat tubuh mungil itu tak terlihat.

"Sangat cantik"

Kata-kata itu lah yang langsung muncul dalam benak Armand saat memandangi seraut wajah mungil itu. Rambutnya yang panjang lurus hingga menyentuh punggung, bibir kecil yang tampak merah alami, serta dipermanis dengan baju terusan yang panjangnya mencapai lutut, berwarna biru pucat yang dihiasi motif bunga-bunga kecil.

Tidak hanya cantik, gadis yang tampak masih sangat belia itu juga sangat manis. Yang lebih menariknya lagi, gadis itu tidak terlihat seratus persen penduduk pribumi asli.

"Siapa, Bu?" Armand benar-benar penasaran.

"Nissa, anaknya si Ningsih." jawab ibu Nur seraya meminum tehnya yang sudah dingin.

"Ningsih?" kening Armand berkerut. Saat menoleh ke arah ibunya yang sedang mencuil ibu rebus yang ada di atas piring. "Ningsih yang mana, Bu?"

"Itu loh, si Ningsih yang pernah jadi cinta monyetmu dulu, Man." ibu Nur terkekeh sendiri mengenang masa lalu. Usai memasukkan sedikit ubi rebus ke dalam mulutnya, ibu Nur kembali menjelaskan, "Anak perempuan yang dulu sering kamu ceng'in itu, yang pernah bersin trus ingusnya keluar itu loh."

Usai mendengar penjelasan tersebut, kedua mata Armand pun membola. Seketika saja bayangan seorang anak perempuan manis yang dulu pernah menjadi teman bermainnya di waktu kecil langsung muncul di benaknya.

Sungguh, Armand tak menyangka. Lama tak melihat dan tak juga mendengar sedikitpun mengenai kabar dari anak perempuan yang pernah menjadi cinta monyetnya itu, tahu-tahu saja Ningsih sudah punya anak sebesar itu.

"Lalu, Ningsih nya ke mana, Bu? Kok anaknya pagi-pagi udah ada di sini?" pandangan Armand yang awalnya sempat ia arah kepada gadis yang terlihat dari gerakkan tangannya sedang membersihkan rumput di sekitar tanaman bunga mawar tersebut langsung diarahkannya lagi ke arah ibunya.

Ibu Nur menghela napas berat. Tatapannya menerawang jauh ke depan saat berkata, "Ningsih sudah meninggal, Man. Kurang lebih 2 tahun yang lalu karena sakit."

"Lah, kok?" Armand rasanya belum bisa percaya. Tidak ada angin ataupun hujan, malah mendengar kabar tak mengenakan seperti ini.

"Seperti yang pernah ibu ceritakan, Ningsih itu tulang punggung keluarganya. Sejak remaja, dia sudah harus membiayai biaya sekolah kedua adiknya. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari, dia juga yang menanggungnya. Karena biaya kebutuhan hidup yang semakin meningkat, Ningsih akhirnya merantau ke kota buat kerja. Jadi pembantu rumah tangga, katanya. Dia nggak pernah pulang, tapi uang kiriman selalu lancar sampai kedua adiknya bisa menamatkan pendidikan hingga lulus kuliah. Yang satu punya toko sembako yang besar sekarang, sedangkan yang satunya lagi jadi salah satu staff di kelurahan. Sedang kedua orang tuanya dibangunkan rumah yang lebih layak dihuni dan dibelikan tanah buat berladang."

Lagi helaan napas ibu Nur terdengar berat saat menjeda ceritanya. Kini pandangannya yang memancarkan rasa kasihan serta kasih sayang terarah kepada sesosok mungil yang tertutup tanaman bunga mawarnya itu.

"Lalu?" tanya Armand yang tak sabar ingin mendengar kelanjutan cerita ibunya.

"Bertahun-tahun nggak pernah pulang, kurang lebih 2 tahun yang lalu Ningsih akhirnya pulang. Nggak hanya membawa anaknya yang sudah gadis, Ningsih juga pulang dengan sekujur tubuhnya yang penuh luka. Banyak lebam-lebam biru keunguan di badannya. Yang lebih mirisnya lagi, seluruh keluarganya, ayah ibunya serta kedua adiknya malah mengusirnya. Mengatainya dengan kata-kata yang nggak pantas diucapkan, dan bahkan kedua orang tuanya begitu tega memukulinya dengan penyapu." suara ibu Nur terdengar lirih saat menceritakan hal tersebut. Air matanya yang mengalir turun di pipi segera disekanya.

"Bu... " Armand merasa tak tega melihat ibunya tiba-tiba menangis. Mengabaikan rasa menyesakkan di dada akibat cerita yang didengarnya dari wanita yang sangat dikasihinya itu, Armand mengambil tangan kanan ibunya dan kemudian menggenggamnya. "Ibu nggak apa-apa, kan?" tanyanya khawatir.

"Ibu nggak apa-apa?" ibu Nur tersenyum tipis untuk menyakinkan putranya. "Kalau ingat kejadian itu, hati ibu rasanya benar-benar sakit, Man. Orang-orang kejam itu, mereka nggak hanya memukuli Ningsih, tapi juga sempat memukul dan mendorong Nissa ke jalan hingga kedua lututnya berdarah."

Armand tak sanggup berkata-kata. Tak ia sangka teman masa kecilnya itu mengalami kejadian seperti itu.

"Para tetangga cuma diam. Mereka menonton dan bahkan ada yang mengolok-olok Ningsih dengan mengatai menjual diri di kota makanya pulang-pulang bawa anak." rupanya ibu Nur masih belum puas menumpahkan rasa sesak di dadanya. "Ibu awalnya nggak enak hati buat ikut campur. Tapi ngeliat Nisa dikasari sampai sebegitunya, ibu benar-benar nggak tega. Makanya dengan dibantu Lala, ibu bawa mereka ke sini. Nggak lama setelahnya, Ningsih meninggal. Dan sebelum meninggal, Ningsih sempat mohon sama ibu supaya ibu mau menjaga Nissa, seenggaknya sampai Nissa udah cukup dewasa."

"Kok aku nggak pernah ngeliat dia tiap kali pulang?"

Ibu Nur mendengus. "Kamu itu kalau pulang cuma nyetorin muka kamu doang. Lebih sering nginap di perkebunan ketimbang tidur di sini. Gimana coba kamu bisa tau Nissa tinggal di sini kalau kelakuanmu seperti itu."

Armand meringis merasa bersalah. Karena tak bisa membela diri, jadinya Armand menanyakan, "Trus, siapa ayah dari anaknya itu, Bu? Kenapa lelaki itu lepas tanggung jawab begitu?" tanya Armand cepat. Ia merasa geram dan ingin sekali menonjok pria yang tak bertanggung jawab itu.

"Ibu nggak enak menguliknya lebih jauh, Man. Ningsih juga nggak banyak cerita sama ibu mengenai siapa bapak kandungnya Nissa. Dia cuma bilang kalau dia sempat menikah siri dengan bapak kandungnya Nissa sebelum akhirnya dibuang layaknya barang yang nggak lagi berguna." ibu Nur menjawab lemah. Akan tetapi, beberapa detik kemudian, ibu Nur tiba-tiba berdiri dan meminta Armand untuk menyerahkan tas ransel berwarna hitam tersebut. "Sini tas kamu, biar ibu bawa sekalian ke dalam soalnya ibu mau mantau si mbok masak sekalian mau masak menu favoritmu."

Armand yang sempat bengong dengan perusahaan mood ibunya yang tiba-tiba langsung mengambil tasnya dan memberikan kepada ibunya.

Baru saja Armand hendak berdiri dengan niat untuk ikut masuk ke dalam rumah, suara ibunya yang terdengar seketika menghentikan pergerakannya.

"Kamu di sini aja. Jagain Nissa selama ibu masak menu favoritmu."

"Dijagain dari apa, Bu?" kerutan di kening Armand terlihat jelas. Kedua alisnya bahkan hampir menyatu.

"Nanti kamu akan tau sendiri. Jangan kemana-mana dan terus jagain cucu kesayangan ibu itu. Gunakan badanmu yang besar itu kalau perlu."

*****

Armand kebingungan. Ia tak mengerti apa maksud perkataan ibunya. Karena pusing tak menemukan jawabannya, Armand memutuskan pergi ke kamar kecil untuk menunaikan hajat.

Akan tetapi, setelah menyelesaikan segala urusannya di kamar kecil, Armand kembali melangkah menuju teras. Dan, baru saja kaki sebelah kanannya yang menapak di lantai teras, kening Armand mengerut. Tatapannya seketika menajam kala pada akhirnya mengerti mengenai apa yang dimaksud oleh ibunya.

Di sana, di area luar pagar yang tingginya sebatas dadanya, telah berdiri beberapa pemuda desa yang ada sekitar 3 orang dari mereka sampai harus berjinjit demi bisa melongok ke dalam pagar.

Tiap kata yang diucapkan para pemuda itu bisa Armand dengar dengan jelas.

"Nis, sabtu nanti ada pasar malam di balai desa, kamu mau nggak pergi sama aku?"

"Pergi sama aku aja, Nis. Ditanggung deh, kamu bisa jajan apapun yang kamu mau nanti."

"Nggak usah sama dia, Nis, soalnya dia udah punya istri. Sama aku aja, ya. Mau ya, Nis?"

Armand mendengus. "Rayuan sampah." ucap Armand dalam hati sambil terus memantau.

"Ayolah, Nis, coba ngomong dikit aja. Biar hati abang adem dengarnya."

"Halah, jangan mau sama si abang kere itu, Nis. Modalnya cuma rayuan kosong doang. Mending sama aku aja, Nis."

"Sama mas aja ya, Nis. Jadi istri kedua mas, mau ya? Mas janji, kamu bakalan lebih mas sayang."

Kilat di mata Armand semakin menajam. Ucapan terakhir yang didengarnya itu membuatnya tak bisa lagi terus berdiam diri.

Sebelum bergerak, Armand mengarahkan pandangannya terlebih dahulu ke arah gadis yang diajak bicara oleh para pemuda desa yang rayuannya benar-benar memuakkan tersebut. Gadis yang berjongkok diantara tanaman mawar ibunya itu semakin menundukkan kepala. Tidak ada satupun kata yang terucap dari bibirnya. Malahan bisa Armand lihat dengan jelas tubuh si mungil tampak bergetar.

"Nggak bisa dibiarkan." Armand menggeram dalam hati.

Lalu, tanpa menimbulkan suara, secara perlahan Armand mulai melangkah. Suara langkahnya benar-benar halus, sampai-sampai para pemuda itu bahkan tak menyadari jika Armand telah berdiri di belakang mereka.

"E-hem... " Armand berdehem. Namun, saat para pemuda itu seolah tak mendengarnya, Armand mengulanginya lagi dengan suara yang lebih keras. "E-HEMM."

Tentunya suara dehemen yang keras tersebut langsung membuat para pemuda yang diantaranya telah beristri itu sontak membalikkan badan ke Armand.

"Sudah puas atau belum merayunya, adek-adek dan bapak-bapak yang terhormat?" Armand bersedekap. Suaranya memang terdengar biasa saja, tapi pancaran matanya yang tajam membuat orang-orang yang dipandanginya itu serempak menundukkan kepala.

"Sampah!" Armand berucap tajam. Kali ini, baik nada suara maupun pancaran di kedua bola matanya sama-sama terdengar tajam, dingin dan menusuk. "Kalau kalian tidak segera pergi dari sini, akan saya patahkan kedua kaki kalian!"

Tubuh-tubuh yang berdiri di hadapan Armand dengan kepala menunduk itu menggigil. Mereka saling siku, meminta dengan isyarat agar mereka segera pergi dari sana. Langkah mereka bahkan terlihat goyah saat mulai melangkah perlahan melewati sang juragan tanah, yang tidak banyak bicara, namun hanya melihat ekspresinya saja sudah membuat mereka ketakutan.

Namun Armand tidaklah sebaik itu untuk melepaskan mereka begitu saja. Sebelum para pemuda itu berlalu pergi, Armand kembali mengeluarkan ancamannya. "Kalau sampai kalian kembali ke sini dan mengucapkan kata-kata sampah dari mulut kalian itu, saya tidak akan segan-segan memberikan pelajaran kepada kalian! Sampaikan juga hal ini pada yang lain!"

Tak menunggu lebih lama lagi, orang-orang yang kepalanya menunduk itu langsung berlari pergi. Bahkan salah seorang pemuda yang memakai sarung harus memegang erat sarungnya agar tak terlepas.

Armand terkekeh geli melihat pemandangan yang lucu tersebut. Dengan perlahan ia kembali melangkah dan kemudian menggembok pagar yang mengelilingi rumah ibunya.

"Mau sampai kapan kamu menunduk di situ?" tanya Armand setelah ia berdiri tak jauh dari si gadis bertubuh mungil. Begitu si mungil menoleh takut-takut ke arahnya, Armand menghela napas panjang seraya berkata, "Masuk ke rumah sana. Bukannya kamu bilang mau ke warung sama si Lala."

Si mungil tak bersuara. Tapi kepalanya mengangguk dan dengan tergesa-gesa mengambil peralatan berkebunnya serta kemudian segera berlari kecil masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.

Sedangkan Armand, tatapannya terus mengikuti setiap pergerakan si mungil nan cantik itu sehingga tak menyadari bahwa sang ibu tercinta telah berdiri di sampingnya.

"Nissa cantiknya kebangetan 'kan, Man?"

"Iya." mata Armand membola, jawaban singkat yang spontan terucap tanpa dipikirkan lagi itu membuatnya segera menoleh ke arah samping kirinya. "Anu... itu, maksud aku bukan beg... "

Kekehan geli ibu Nur terdengar ditepuknya lembut bahu putra semata wayangnya itu. "Jangan grogi gitu dong, Man. Memang kenyataannya si Nissa cantik banget. Si Lala bahkan bilang, kalau dia laki-laki, sudah dipacarinya itu si Nisa."

Armand mengusap tengkuknya salah tingkah. Ia tak bisa mengatakan apa-apa dan hanya bisa terus berdiam diri sambil mencoba meredam rasa malunya.

"Tapi ya itu, kecantikannya itu yang selalu buat ibu khawatir. Karena parasnya yang cantik itu lah makanya dia musuhi gadis-gadis yang masih lajang dan dijauhi, bahkan ibu-ibu yang suaminya keganjenan juga memusuhinya." tutur ibu Nur di helaan napasnya yang terdengar berat.

"Dia nggak sekolah kah, Bu?" tanya Armand yang merasa prihatin akan nasib si mungil.

Ibu Nur menggeleng. "Ibu pernah mau mendaftarkan dia di SMA yang dekat pesantren itu, tapi dia terus nolak sampai pernah nangis dan nggak mau keluar dari kamar. Setelah dibujuk Lala dan ditanya alasannya kenapa dia nggak mau melanjutkan sekolah, Nissa cerita kalau dia pernah dibully habis-habisan sewaktu sekolah di SMP Negeri di kota. Nggak hanya terus menerus dikatai sebagai anak haram, dia juga kerap dikurung di toilet sekolah dalam keadaan basah kuyup. Nggak jarang juga dia pernah dipukuli.

Ibu Nur menghentikan sejenak ceritanya. Setelah menghela napas panjang berulang kali, barulah ia kembali meneruskan ceritanya. "Tapi untungnya dia masih bisa bertahan sampai akhirnya bisa lulus. Dia bilang uang yang didapat dari hasil merawat kebun dan kebun sayur di belakang, yang ibu kasih untuknya, bakalan dia tabung dan digunakan buat kejar paket C nanti."

Sungguh, Armand benar-benar tak tahu lagi harus mengatakan apa. Mendengar kisah menyedihkan yang dialami oleh teman masa kecilnya saja sudah membuat merasa sesak. Ditambah lagi cerita mengenai hal-hal buruk yang dialami oleh si mungil, Armand ingin sekali mengumpat jadinya.

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!