NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 : Jalan jalan di Moskow yang dingin.

Salju Moskow menari-nari di bawah sinar matahari pagi yang dingin, membentuk kilauan seperti berlian di atas hamparan putih yang luas. Udara menusuk hingga ke tulang, tetapi di dalam laboratorium Reiz yang hangat, aroma kopi dan mesin-mesin canggih mengusir hawa dingin. Reina, dengan semangat yang baru lahir kembali, mencoba berdiri. Kakinya masih gemetar, seperti anak rusa yang baru belajar berjalan, tetapi matanya berbinar dengan tekad. Alice, dengan sigap, mendekat, tangannya yang lembut namun kuat menopang lengan Reina. Jari-jari Alice, yang biasanya dingin, kini terasa hangat, memberikan dukungan yang nyata. Uap napas mereka mengepul, membentuk awan-awan kecil di udara yang dingin. Ekspresi wajah Alice, biasanya malas dan sedikit lesu, kini dipenuhi dengan perhatian yang tulus. Uap napas yang mengepul dari bibirnya, menandakan rasa gugup yang terselubung di balik senyum lembutnya.

"Perlahan, Reina," bisik Alice, suaranya lembut seperti sutra, namun di balik kelembutan itu tersirat kekhawatiran. Ia menguap, kebiasaan gugupnya yang tak pernah hilang, bahkan di saat-saat krusial seperti ini. Kali ini, gerakan tangannya yang menutup mulutnya sedikit lebih lama, menunjukkan betapa tegangnya ia sebenarnya.

Reina mengerutkan dahi, menggigil bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena rasa tidak nyaman yang masih terasa di kakinya. Rambutnya yang hitam legam tergerai, berkilauan di bawah cahaya lampu laboratorium, berayun lembut mengikuti gerakannya yang masih sedikit kaku.

"Bagaimana aku bisa tenang berjalan, Alice? Dingin sekali!" protes Reina, suaranya bergetar, namun di balik getaran itu, terdengar tekad yang membara. Ia menggosok kedua tangannya, gerakannya cepat dan penuh energi, mencoba menghangatkan diri. Alisnya bertaut, menunjukkan rasa frustrasinya.

CRASH!

Sebuah bola salju kecil mengenai tepat di wajah Reina. Jimmy, dengan tawa khasnya yang nyaring dan sedikit sinting, muncul dari balik sebuah rak, bola salju lainnya sudah siap di tangannya. Ia tertawa lepas, bahunya bergetar hebat, menunjukkan betapa gembira dan jahilnya ia. Ekspresinya, campuran antara keceriaan dan sedikit nakal, menambah suasana yang sudah tegang menjadi sedikit lebih ringan.

"Hahaha... Reina! Kau cocok sekali dengan make-up salju itu!" teriaknya, suaranya bergema di laboratorium yang luas. Ia menunjuk-nunjuk Reina dengan bola salju di tangannya, menambah kesan jahilnya.

Helena, dengan ekspresi datar namun matanya yang tajam menunjukkan kekhawatiran, melangkah maju. Tubuhnya tegap, posturnya menunjukkan otoritas dan sikap protektifnya. Ia menaikkan satu alis, menunjukkan ketidaksetujuannya yang jelas.

"Jimmy, bukan saatnya bermain-main. Reina masih menyesuaikan diri," suara Helena tenang, namun tegas, menunjukkan otoritasnya yang tak terbantahkan. Ia menatap Jimmy dengan tajam, seolah-olah ingin mengatakan, "Jangan memancing masalah."

Alice, yang masih menguap, mengangguk setuju, matanya masih setengah tertutup. "Huuaah... iya... Reina masih menyesuaikan kakinya..." Ia kembali menatap tangannya, lalu tiba-tiba matanya melebar. "Eh? Reina...?" Ia melihat ke sekeliling, kebingungan dan kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Reina telah menghilang dari genggamannya!

Mike, yang mengamati semuanya dengan seksama, mengerutkan keningnya. Tubuhnya sedikit condong ke depan, menunjukkan rasa khawatirnya yang nyata. "Loh... kemana Reina? Bukankah dia masih menyesuaikan tubuhnya?" Ia menggaruk kepalanya yang sedikit gatal, menunjukkan kebingungannya.

WHOOSH!

Sebuah bola salju melayang di udara, menghantam tepat di kepala botak Jimmy. Jimmy meringis kesakitan, tangannya terangkat untuk mengusap kepalanya yang sakit. Mereka semua menoleh ke arah sumber bola salju itu. Reina, dengan senyum nakal yang mengembang di wajahnya, sedang membentuk bola salju lainnya, matanya berbinar-binar penuh semangat.

"Dasar botak!!" teriak Reina, suaranya penuh semangat dan sedikit nakal. Ia melempar bola salju itu dengan akurat, menghantam tepat di wajah Jimmy. Jimmy, yang wajahnya kini dipenuhi salju, mengeluarkan suara protes yang tertahan oleh tawa.

"Dasar Reina!!" ujarnya, suaranya bercampur antara kesal dan geli. Ia membersihkan wajahnya dengan tangan, ekspresinya bercampur antara kesal dan geli. Ia tertawa, menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak terlalu marah.

Mike mendekati Reina, tatapannya penuh dengan kekaguman yang tercampur dengan sedikit rasa khawatir. "Bagaimana bisa? Padahal barusan kau masih dibantu berjalan."

"Gak tahu sih," jawab Reina, suaranya penuh percaya diri, bahkan sedikit sombong. "Kan kemarin sudah kukatakan, aku sudah sehat!" Ia tersenyum lebar, menunjukkan betapa gembiranya ia. Ia mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan kepercayaan dirinya.

Alice tertawa lepas, kegembiraannya tampak nyata. "Reina... ternyata kau sangat kuat ya!" Ia menguap lagi, namun kali ini, kegembiraannya tampak lebih nyata. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan di sekitar Moskow?" usulannya muncul dengan penuh semangat.

"Kedengarannya bagus," kata Mike, mengangguk setuju. "Bagaimana, Jimmy, Helena?"

"Oke lah," jawab Jimmy, suaranya penuh semangat. "Mayan, ajak teman baru keliling kota." Ia menyenggol pelan Helena, yang sedang fokus mengamati data tubuh Reina melalui hologram jam tangannya. Helena, yang biasanya selalu serius, tersenyum kecil, menunjukkan bahwa ia juga ikut gembira.

"Baiklah... kali ini aku akan bersantai sejenak," kata Helena, suaranya masih tenang, namun ada sedikit kelegaan di dalamnya.

Mata Reina berbinar-binar. "Jalan-jalan... di luar negeri!! Wah!! Aku juga penasaran dengan tempat tinggal Andras sebelumnya!" Ia melompat kecil, menunjukkan kegembiraannya.

"Baiklah, ayo," kata Mike, menunjukkan persetujuannya. Alice bertanya kepada Reina, "Reina... masih kuat jalan?"

"Jangan khawatir, Alice. Aku masih kuat kok," jawab Reina, suaranya penuh keyakinan. Ia tersenyum, menunjukkan bahwa ia siap untuk petualangan mereka.

Mereka berlima masuk ke dalam laboratorium, bersiap untuk petualangan mereka. Dari kejauhan, Reiz, Tia, dan Craig memperhatikan mereka. Reiz menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi dengan campuran kekhawatiran dan kebanggaan. Tia meletakkan tangannya di bahu Reiz, menunjukkan dukungannya. Craig, yang sedang memakan apel, menatap Reina dengan penuh minat.

"Coba saja Reina membunuh Danton tanggal 10 Desember 2022 di saat pernikahan kita di Tokyo," kata Reiz, suaranya sedikit getir. "Pasti Reina masih berkumpul dengan teman-temannya." Ia menggelengkan kepalanya, menunjukkan penyesalannya.

Tia, yang berdiri di sampingnya, mengangguk setuju. "Iya, suamiku. Sekarang... Reina akan melakukan misi berat." Ia menatap Reina dengan penuh kekhawatiran.

Craig, yang sedang bersandar di dinding jendela sambil memakan apel, menambahkan, "Reina... bisa jadi senjata penghancur... Di saat aku melihat Reina melempar bola salju tadi, gerakannya sangat lentur." Ia mengunyah apelnya dengan tenang, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.

Reiz menatap Craig, "Apakah kau mau merekrut Reina masuk ke timmu?"

Craig mengunyah apelnya, kemudian menjawab, "Kalau dia bisa menyelesaikan tantangan dariku... mungkin dia akan kurekrut... dan itu akan menjadi keuntungan bagi Reina." Ia tersenyum tipis, menunjukkan bahwa ia tertarik dengan Reina.

Tia mengangguk setuju. "Iya... kau memiliki peralatan tempur dan bisa membuat Reina terbantu." Mereka bertiga menatap kepergian kelima sahabat itu, mengetahui bahwa petualangan yang menantang dan penuh bahaya sedang menunggu di depan. Petualangan yang akan menentukan nasib mereka semua. Ekspresi wajah mereka bertiga—campuran kekhawatiran, harapan, dan antisipasi—mencerminkan betapa besar taruhannya.

Udara Moskow yang dingin menusuk kulit, tetapi semangat Reina, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena tak terhentikan. Salju tebal melapisi jalanan kota, setiap langkah mereka meninggalkan jejak kaki yang segera tertutup kembali oleh serpihan salju yang lembut. Matahari pagi yang redup memberikan cahaya yang lembut, menciptakan suasana magis dan tenang, diselingi oleh tawa dan canda kelima sahabat ini.

Reina, energinya meluap, berlari kecil di depan, langkahnya ringan dan lincah, seolah tak merasakan dinginnya salju. Rambutnya yang hitam berkibar tertiup angin, menambah keceriaannya. Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan keempat temannya mengikutinya. "Cepat, cepat! Jangan sampai ketinggalan pemandangan indah ini!" serunya, suaranya bergema di antara gedung-gedung tinggi.

Mike, dengan langkah tenang dan mantap, mengikuti di belakang, matanya mengamati sekeliling dengan waspada. Meskipun wajahnya tampak tenang, tangannya selalu siap bereaksi. Melihat Reina yang berlari-lari, ia tersenyum tipis. "Hati-hati, Reina! Jangan sampai terpeleset!" suaranya terdengar lembut, namun tegas.

Jimmy, dengan langkahnya yang sedikit sempoyongan karena efek bola salju yang ia lemparkan ke Alice, berjalan di samping Alice. "Awas, Alice! Serangan bola salju!" teriaknya, sambil melemparkan bola salju kecil yang mengenai lengan Alice. Alice, yang selalu menguap, hanya tersenyum dan mengelak dengan malas, "Huuaah... Jimmy, kau benar-benar jahil!" suaranya mengantuk, namun diiringi oleh tawa. Jimmy tertawa lepas, suaranya bergema di antara gedung-gedung.

Helena, biasanya tenang dan anggun, berjalan di belakang, matanya mengamati sekeliling dengan tajam. Meskipun tangannya memegang erat alat komunikasi canggih di balik mantelnya, ia ikut tertawa melihat tingkah Jimmy dan Alice. "Jimmy, jangan terlalu berisik. Kita harus tetap waspada," katanya, namun suaranya tidak terdengar seperti teguran, lebih seperti mengingatkan teman. Ia bahkan ikut melempar bola salju kecil ke arah Jimmy, "Dan kau juga, Jimmy! Jangan hanya menganggu Alice!" Ia tertawa kecil, menunjukkan bahwa ia juga sedang bersenang-senang.

Mereka sampai di Katedral Santo Basil. Reina langsung terpukau. "Wow, ini sangat indah!" serunya, matanya berbinar-binar. Ia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh kubah-kubah berwarna-warni yang menjulang tinggi.

Mike mengangguk setuju. "Memang. Arsitekturnya luar biasa." Ia mengeluarkan kameranya dan mulai memotret.

"Ayo kita foto!" seru Jimmy, mengeluarkan ponselnya. Ia berpose dengan konyol di depan Katedral, menunjukkan sisi jahilnya. Helena pun ikut berpose, menunjukkan senyum jarang terlihat. Alice, meskipun menguap, ikut tersenyum dan mengambil foto mereka berlima. "Huuaah... foto yang bagus," katanya, suaranya masih mengantuk, namun senyumnya tulus.

Di Red Square, Reina berlari-lari kecil di atas salju, menikmati sensasi dingin yang menyenangkan. "Rasanya seperti di surga!" serunya, suaranya penuh kegembiraan.

Mike, dengan sigap, menjaga Reina agar tidak terjatuh. "Hati-hati, Reina!" katanya, suaranya penuh perhatian.

Jimmy dan Alice bermain bola salju, saling melempar dan tertawa lepas. Helena, meskipun mengamati sekeliling, ikut tertawa melihat tingkah mereka. "Kalian ini seperti anak kecil," katanya, namun suaranya penuh kelembutan.

Di kafe kecil yang nyaman, Reina menceritakan pengalamannya di laboratorium. "Aku merasa seperti robot yang direparasi," katanya, suaranya penuh dengan rasa syukur.

Mike mengangguk. "Untungnya, kau sudah kembali."

Jimmy tertawa. "Sekarang kita bisa berpetualang lagi!"

Alice menguap. "Huuaah... aku setuju. Tapi jangan terlalu banyak berlari, Reina."

Helena menambahkan, "Kita harus tetap waspada. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi."

Di Galeri Tretyakov, Reina, yang awalnya tidak tertarik dengan seni, terpukau oleh keindahan lukisan-lukisan di sana. "Aku tidak menyangka seni bisa seindah ini," katanya, suaranya penuh kekaguman.

Mike menjelaskan beberapa karya seni, menunjukkan pengetahuannya. "Lukisan ini menggambarkan..." jelasnya dengan antusias.

Jimmy dan Alice bercanda, menambah keceriaan suasana. Helena, meskipun mengamati sekeliling, ikut menikmati keindahan lukisan-lukisan tersebut.

Di sepanjang Sungai Moskva yang membeku, Reina bermain seluncur es dengan lincah. "Ini menyenangkan sekali!" serunya, suaranya penuh kegembiraan.

Mike menjaga Reina dari kejauhan, menunjukkan perhatiannya. Jimmy dan Alice melempar bola salju, menambah keceriaan suasana. Helena, menikmati pemandangan senja yang indah, menarik napas dalam-dalam. "Pemandangan ini sungguh menakjubkan," katanya, suaranya penuh kekaguman.

Sepanjang perjalanan, tawa dan cerita mereka memenuhi udara dingin Moskow. Mereka berbagi cerita, saling mendukung, dan saling melindungi. Di tengah dinginnya Moskow, mereka menemukan kehangatan persahabatan yang tak ternilai harganya. Petualangan mereka baru saja dimulai, dan mereka siap untuk menghadapi apapun yang akan datang, bersama-sama.

Embusan angin dingin Sungai Moskva menyapu wajah mereka, membawa aroma salju yang khas. Kelima sahabat—Reina, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena—berhimpitan di tepi sungai yang membeku, cahaya senja Moskow mewarnai langit dengan gradasi oranye dan ungu yang memukau. Di antara mereka, terletak kotak kecil berisi foto-foto berharga—kenangan Reina bersama teman-temannya di Tokyo. Udara dingin terasa menusuk, namun kehangatan persahabatan mereka menghalau rasa dingin itu.

Reina, dengan hati-hati, mengambil sebuah foto dan menunjukkannya kepada teman-temannya. Foto itu menunjukkan dirinya yang berusia 14 tahun, wajahnya polos dan penuh keceriaan, sedang meniup lilin di atas kue ulang tahunnya. Seorang pemuda tampan berdiri di sampingnya, membantunya memotong kue. Napas Reina membubung di udara dingin, menciptakan awan putih kecil di depan wajahnya. Ia tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca.

"Ini aku di saat ulang tahun ke-14," kata Reina, suaranya sedikit bergetar. "Dan di sebelahku, yang menolongku memotong kue… itu Hikari Kei!" Jari-jarinya sedikit gemetar saat menunjuk ke arah pemuda di foto.

Mike, dengan ekspresi kagum, menatap foto tersebut. "Wah… soswit sekali. Pacarmu?" Ia menyikut pelan Jimmy, menunjukkan rasa kagumnya. Jimmy tertawa kecil.

Reina tertawa kecil, menunjukkan bahwa ia mengingat masa lalu dengan penuh kasih sayang dan sedikit kerinduan. "Nyatanya sih, aku masih belum pacaran waktu itu. Kei cuma teman baikku, tapi dia selalu ada untukku." Ia menghela napas panjang, menunjukkan campuran antara kenangan manis dan sedikit penyesalan. Ia menggosok lengannya, seolah mencoba menghangatkan diri.

Reina mengambil foto lain, kali ini menunjukkan pemandangan yang lebih ramai. Seorang pemuda sedang memanjat pohon mangga dengan lincah, sementara seorang gadis berdiri di bawah, siap menangkap buah mangga yang dilempar. Es di Sungai Moskva berderak pelan, menciptakan irama yang lembut di latar belakang.

"Nah, ini Kenzi," kata Reina, suaranya penuh semangat, matanya berbinar-binar saat mengingat kenangan itu. "Namanya Masachika Kenzi. Selalu urakan, kaya preman, tapi baik kok, walaupun sedikit usil." Ia tersenyum lebar, menunjukkan betapa dekatnya ia dengan Kenzi. Seutas rambutnya yang lepas tertiup angin, menambah kesan ceria.

Jimmy, dengan ekspresi terkesan, menatap foto tersebut. "Dari wajahnya saja sudah kelihatan sangar-sangar gitu," katanya, suaranya penuh kekaguman. Ia mengangkat alisnya, menunjukkan rasa kagumnya. Ia menggigit bibir bawahnya, menunjukkan rasa tertariknya.

Reina tertawa kecil, kemudian menunjuk ke arah gadis yang berdiri di bawah pohon mangga. "Dan ini Hanna, Akasi Hanna. Sahabat baikku se-semesta. Selalu menjagaku, selalu menemani aku ketika sedih. Dan yang paling unik, dia pintar soal sejarah dan strategi!" Matanya berbinar-binar, menunjukkan betapa bangganya ia dengan Hanna. Ia mengusap pipinya yang sedikit memerah karena dingin.

Alice, yang biasanya selalu menguap, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Wah… kalau aku ketemu sama dia, pasti aku belajar strategi dari dia!" katanya, suaranya penuh kekaguman. Ia menguap kecil, namun senyumnya menunjukkan ketertarikannya pada Hanna. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya.

Reina melanjutkan, menunjukkan foto-foto lainnya satu per satu—Andras, Leon, Chins, Hiro, Emi, Earl, Ryu, Zerah, Yumi, dan Max. Setiap foto diiringi oleh cerita dan kenangan yang penuh emosi. Tawa dan air mata bercampur aduk, menunjukkan betapa berharganya persahabatan mereka. Helena, yang biasanya tenang, menunjukkan ekspresi yang lebih hangat dan penuh empati saat mendengarkan cerita Reina.

Tiba-tiba, Helena mengeluarkan jam tangan canggihnya. Sebuah hologram kecil muncul dari jam tangan tersebut, menampilkan pertanyaan: "Kenangan terindahmu bersama teman-teman di Tokyo?". Hologram itu melayang di udara di antara mereka, cahaya hologram itu memantul di permukaan es Sungai Moskva yang membeku, menciptakan efek yang magis.

Reina menatap hologram itu, matanya berkaca-kaca. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Banyak sekali kenangan indah bersama mereka," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi yang paling aku ingat… adalah saat kita semua berkumpul di taman dekat sekolah, makan bersama, bercerita, dan tertawa hingga larut malam. Rasanya seperti mimpi sekarang…" Ia menghela napas panjang, menunjukkan betapa rindunya ia kepada teman-temannya. Air mata mulai menetes di pipinya, tercampur dengan buih-buih salju yang halus. Foto-foto di tangannya tampak semakin buram karena air matanya.

Mike, Jimmy, Alice, dan Helena mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka merasakan kesedihan Reina, namun juga kagum akan kekuatan persahabatan yang begitu kuat. Mereka tahu, perjalanan Reina masih panjang, namun ia tidak sendirian. Ia memiliki teman-teman baru yang akan selalu ada untuknya, menemaninya melewati masa sulit dan merayakan setiap kebahagiaan yang akan datang. Di tepi Sungai Moskva yang membeku, di bawah langit senja Moskow yang indah, dengan hologram kenangan yang melayang di antara mereka, kehangatan persahabatan mereka terasa lebih berarti daripada apapun.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!