Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
Kepalanya berdenyut.
Mulutnya kering.
Dan udara di ruangan ini… asing.
Raisa membuka mata perlahan, menatap langit-langit yang tidak ia kenal. Ini bukan kamarnya, bukan juga rumah Mama.
Ia sontak bangkit duduk. “Hah?!”
Ranjang yang empuk, seprai putih bersih, aroma kayu maskulin. Pandangannya menyapu sekeliling. Lemari besar, meja kerja rapi dengan laptop terbuka, dan jendela tinggi dengan tirai setengah terbuka.
Ini… di mana?
“Pagi.”
Raisa sontak menoleh.
Di ambang pintu, berdiri Ardan. Kemeja lengan panjangnya tergulung, rambutnya sedikit acak-acakan, dan wajahnya—tenang, tapi jelas ada sisa kelelahan.
“OM?!” Raisa menjerit. “APAAN INI?! AKU DI MANA?!”
“Di apartemen Om.” Jawabannya datar, seolah itu hal biasa.
“DI APARTEMEN OM?!” Raisa langsung melompat turun dari ranjang, mencari sepatu, tas, apapun. “GILA?! Kenapa aku di sini?! Om apain aku semalem?!”
Ardan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. “Om nggak ngapa-ngapain kamu.”
“KATA SIAPA?!” Raisa mendekat, menunjuk wajah Ardan. “Aku mabuk parah semalem, kan?! Gila… ini bener-bener gila.”
Ardan menghela napas panjang. “Raisa. Kamu pingsan di club. Om bawa kamu ke sini karena nggak mungkin kamu pulang ke rumah Mama dalam keadaan begitu.”
“Kenapa nggak ke kos Dina?! Kenapa nggak panggil taksi online?!”
Ardan menatapnya lama. “Kamu mau dilempar ke taksi dalam keadaan nggak sadar? Kamu mau Mama lihat kamu digendong masuk rumah dalam kondisi begitu? Gosipnya udah heboh. Kamu mau tambah parah?”
Raisa tercekat. “Gosip… apa?”
Ardan mengambil ponselnya dari meja, melemparkan ke arah Raisa. “Lihat sendiri.”
Dengan tangan bergetar, Raisa membuka layar.
Video. Seseorang merekamnya. Dirinya—mabuk parah, meronta—digendong Ardan keluar dari club. Komentar-komentar di bawahnya menampar wajahnya satu per satu.
> "Anak kampus mana nih? Mantap banget sama om-om."
"Wkwk sugar baby vibes banget."
"Ya pantes aja banyak yang bilang dia jadi simpanan pengusaha."
Raisa merasa dunia runtuh. Ponsel hampir jatuh dari tangannya.
“Ya Tuhan…” bisiknya.
Ardan mendekat perlahan. “Makanya Om bilang. Kamu nggak ngerti risiko yang kamu ambil.”
“Risiko? RISIKO?!” Raisa mendongak, matanya berkaca-kaca. “Om pikir aku sengaja bikin video itu viral?! Ini semua gara-gara Om! Kalau Om nggak ikut-ikutan hidupku… ini nggak bakal terjadi!”
Ardan mengerutkan dahi. “Gara-gara Om?”
“IYA! Kalau Om nggak muncul di mana-mana, nggak ikut campur, nggak selalu jadi pahlawan kesiangan… orang-orang nggak akan ngehubungin aku sama Om terus!”
Hening.
Ardan menatapnya dalam. “Jadi… kamu nyalahin Om karena nolong kamu?”
“Bukan nolong, Om! Ini namanya NGGAK NGERTI BATAS!”
Kata-kata itu seperti cambuk. Tapi Ardan tetap diam, wajahnya datar.
“Om nggak ngerti, ya?!” Raisa menjerit, dadanya naik-turun cepat. “Aku malu! Semua orang ngegosipin aku, Mama maksa aku nikah sama Om, teman-teman nanya-nanya kayak aku barang lelang—dan Om… Om cuma diem di situ, seolah semua ini wajar!”
Ardan melangkah maju, mendekatinya. “Raisa.”
“JANGAN DEKET-DEKET!”
“RAISA!” suara Ardan meninggi.
Gadis itu terdiam, kaget karena Ardan jarang sekali membentak.
Ardan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Om nggak pernah minta kamu suka sama Om. Om nggak pernah minta kamu nikah sama Om. Om cuma… nggak mau lihat kamu hancur sendiri.”
Kata-kata itu menusuk. Raisa menunduk, tiba-tiba kehilangan tenaga untuk marah.
“Kalau kamu mau benci Om, bencilah,” lanjut Ardan pelan. “Tapi jangan pernah salah paham. Om di sini bukan buat ngontrol hidupmu. Om cuma… ada. Karena kamu nggak punya siapa-siapa yang lebih peduli daripada Om sekarang.”
Air mata Raisa akhirnya jatuh. Ia benci menangis di depan Ardan. Benci karena pria itu membuat semua bentengnya runtuh.
“Kenapa sih Om nggak bisa pergi aja…? Kenapa sih… selalu ada?” suaranya pecah.
Ardan menatapnya lama. “Karena kalau Om nggak ada, siapa yang jaga kamu?”
Tak ada kata-kata lain. Raisa berlari ke kamar mandi, menutup pintu dengan keras. Ia duduk di lantai dingin, memeluk lutut.
Kenapa dia selalu benar? Kenapa dia selalu bikin aku bingung?
Sementara itu, Ardan duduk di ruang tamu, menatap ponselnya. Beberapa panggilan dari Mama Raisa tak ia angkat. Ia tahu akan ada badai yang lebih besar setelah ini.
Tapi untuk malam ini, ia hanya bisa menjaga jarak.
Dan berharap Raisa memahami satu hal—bahwa ia di sini bukan untuk mengikatnya.
Tapi untuk menemaninya, bahkan ketika Raisa tak menginginkannya.
*
Suara ketukan pintu membangunkan Raisa dari tidur siangnya yang gelisah. Ia mengernyit. Ardan bilang ia harus istirahat, tapi sejak tadi Raisa hanya bisa berguling di kasur tamu, memikirkan video yang menyebar dan komentar-komentar jahat yang ia baca di media sosial.
Ketukan itu semakin keras. Siapa sih?
Ia bangkit, berjalan pelan ke ruang tamu—dan tubuhnya langsung kaku.
Mama.
Berdiri di depan pintu apartemen Ardan, wajahnya merah karena marah.
“Rai. Kamu di sini, ya?” suaranya dingin, menusuk.
“M-Ma…” Raisa refleks mundur.
Belum sempat ia bicara lagi, Mama sudah menerobos masuk, melewati Raisa begitu saja. “Mana Ardan?!”
Ardan keluar dari dapur, mengenakan kaus sederhana, wajahnya tenang seperti biasa. “Mbak, duduk dulu.”
“Jangan sok ramah, Ardan!” Mama menudingnya. “Kamu pikir apa yang kamu lakukan ke anak saya itu benar?! Membawanya ke tempat seperti ini?!”
Ardan tetap tenang. “Mbak, Raisa pingsan di club. Saya cuma memastikan dia aman.”
“Aman?!” Mama hampir berteriak. “Dari kapan aman itu artinya menginap di apartemen laki-laki?! Kamu tahu nggak orang-orang ngomong apa di luar sana?!”
Raisa berdiri di samping Mama, gemetar. “Ma… udah, tolong. Jangan teriak—”
“Diam, Raisa! Kamu juga! Kamu bikin malu Mama!”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada semua komentar di media sosial. Raisa menunduk, tak sanggup menatap Mamanya.
Ardan melangkah maju, berdiri di antara Raisa dan Mamanya. “Jangan salahkan Raisa, Mbak. Kalau ada yang harus disalahkan, salahkan saya. Semua tanggung jawab ada di saya.”
Mama memelototinya. “Tanggung jawab?! Kamu pikir dengan ucapan seperti itu masalah selesai?! Kamu menghancurkan nama baik anak saya!”
“Nama baiknya sudah dihancurkan orang-orang yang suka menggosip, bukan saya.”
Suasana menegang. Mama memandang Ardan seakan ingin menamparnya. “Ardan, kamu tahu kan kenapa aku awalnya setuju sama kamu? Karena aku pikir kamu bisa jadi pelindung buat Raisa. Tapi ternyata… kamu malah bikin dia jadi bahan omongan murahan!”
Ardan menghela napas panjang. “Kalau mau omong jujur, Mbak, apa yang bikin nama Raisa jadi bahan omongan? Foto dan video di internet, atau kenyataan bahwa kamu ingin menjodohkannya dengan orang seumuran saya?”
Mama terdiam sesaat.
Raisa menatap Ardan kaget. Dia bener-bener berani ngomong kayak gitu di depan Mama?!
“Jangan balikkan fakta!” Mama membalas, suaranya meninggi. “Kalau kamu nggak selalu muncul di hidupnya, orang nggak akan salah paham seperti ini!”
“Kalau saya nggak muncul di hidupnya,” suara Ardan pelan namun tajam, “siapa yang jagain Raisa saat dia mabuk di club semalam? Siapa yang jemput dia waktu mobilnya mogok? Siapa yang pasang badan waktu gosip mulai beredar?”
Mama terdiam. Napasnya tersengal, tapi ia tak langsung membalas.
Ardan melanjutkan, suaranya semakin tenang, “Saya tahu semua ini kelihatan buruk. Tapi saya di sini bukan untuk merusak Raisa, Mbak. Saya di sini karena saya nggak bisa diam lihat dia hancur sendirian.”
Kalimat itu menggema di ruangan.
Raisa menatap Ardan lama. Entah kenapa, ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Kenapa dia selalu bilang hal-hal seperti itu…?
Mama akhirnya duduk di sofa, memijat pelipis. “Saya nggak tahu harus ngomong apa lagi. Semua ini… terlalu jauh.”
Raisa mendekat pelan. “Ma, tolong… ini bukan salah Om Ardan. Ini salahku juga. Aku cuma… pengen bebas dari semua tekanan.”
Mama menatap putrinya, mata yang tadinya marah kini penuh lelah. “Rai… kamu nggak ngerti apa yang kamu hadapi. Dunia itu kejam.”
“Justru itu kenapa saya nggak bisa ninggalin dia,” sela Ardan.
Mama menoleh ke Ardan. “Dan kamu mau terus di sini? Di tengah semua gosip itu?”
“Kalau itu harga yang harus dibayar supaya Raisa tetap aman, iya.”
Suasana kembali hening.
Mama berdiri. “Aku butuh waktu mikir. Dan kamu,” ia menatap Raisa, “pulang sama Mama sekarang.”
Raisa terdiam. Ia ingin bilang iya, tapi tatapan Ardan menghentikannya. Ada sesuatu di sana—sebuah janji tak terucap.
“Aku… mau di sini dulu, Ma,” ucap Raisa akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Mama mematung. “Rai… kamu pilih tinggal sama dia daripada sama Mama?”
Raisa menggigit bibir. “Untuk sementara. Iya.”
Mama menatap Ardan penuh amarah. “Kalau ada apa-apa terjadi sama dia… kamu yang saya cari.”
Ardan mengangguk. “Itu sudah jadi tanggung jawab saya.”
Mama pergi tanpa berkata lagi, pintu tertutup keras.
Raisa jatuh terduduk di sofa, wajahnya terkubur di telapak tangan. “Aku gila. Kenapa aku ngomong gitu ke Mama…”
Ardan duduk di kursi seberang. “Kamu cuma jujur sama diri sendiri.”
Raisa mendongak, menatapnya tajam. “Kenapa sih Om bisa setenang itu? Semua orang lagi ngehujat kita, Mama marah besar, aku… aku bahkan nggak tahu harus gimana…”
Ardan menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Karena kalau satu dari kita panik, semuanya hancur. Jadi biar aku yang tetap tenang.”
Raisa merasa kata-kata itu seperti selimut di tengah badai. Ia benci mengakuinya, tapi entah kenapa—ia merasa lebih aman saat Ardan ada.
Namun bersamaan dengan itu, sebuah pertanyaan besar menghantamnya:
Kenapa sih… Om Ardan peduli banget?