Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertahanan yang mulai runtuh
Iring-iringan mobil hitam mewah berderet meninggalkan jalanan desa, membawa Bima yang terbaring lemah di kursi roda khusus, didampingi oleh perawat pribadi dan tim medis yang sudah Zayn siapkan. Sirine kecil dari salah satu mobil pengawal sesekali berbunyi, memberi tanda pada pengguna jalan lain agar memberi ruang.
Alisha duduk di kursi penumpang sebelah Zayn, namun sesekali menoleh ke belakang, memperhatikan adiknya yang dibawa dengan penuh perhatian. Wajahnya tegang, tapi hatinya sedikit lega melihat betapa seriusnya Zayn menepati janjinya.
“Ibu seharusnya ikut,” lirih Alisha, menatap jalanan yang mulai beralih dari hamparan sawah ke aspal kota.
Zayn yang menyetir sendiri kali ini menoleh singkat, sorot matanya tenang. “Aku tidak mau ibumu kelelahan. Beliau sudah cukup mengurus kalian sejak kecil. Biarkan ibu istirahat. Urusan Bima biar jadi tanggung jawabku sekarang.”
Nada suara Zayn begitu tegas, membuat Alisha tak bisa membantah. Meski hatinya sempat berat, perlahan ia mengerti maksud dari suaminya itu.
“Tapi ibu pasti sedih ditinggal sendirian di rumah…” gumam Alisha lagi, suaranya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Zayn menoleh sekali lagi, kali ini sedikit lebih lama. “Jangan khawatir. Aku sudah menugaskan beberapa orang-orangku untuk menjaga dan menemani Ibu. Selain itu, semua kebutuhan ibumu sudah terpenuhi. Percayalah, aku tidak akan membiarkan ibumu merasa sendirian.”
Ucapan itu membuat dada Alisha bergetar. Ada sesuatu yang hangat menjalari hatinya—perasaan yang sulit ia gambarkan. Ia hanya bisa mengangguk kecil, sementara matanya kembali terarah pada pemandangan luar.
___
Sesampainya di rumah sakit ternama di Jakarta, suasana menjadi jauh lebih sibuk. Beberapa staf medis sudah bersiap menyambut kedatangan rombongan itu. Bima langsung dibawa masuk ke ruang pemeriksaan khusus. Dokter spesialis yang sudah dipanggil sebelumnya menunggu di dalam.
“Segera lakukan pemeriksaan lengkap. MRI, tes laboratorium, semua prosedur standar dan lanjutan. Jangan ada yang terlewat,” instruksi Zayn dengan suara dingin namun penuh wibawa.
Para dokter hanya bisa mengangguk penuh hormat. “Baik, Tuan Zayn.”
Alisha mengikuti langkah adiknya masuk ke ruang pemeriksaan, namun salah seorang perawat menahannya dengan sopan. “Mohon maaf, Nyonya, untuk sementara kami perlu privasi agar tim bisa fokus.”
Ia menoleh bingung, lalu memandang ke arah Zayn seolah meminta izin.
Zayn berjalan mendekat, menyentuh punggung tangannya lembut. “Biarkan mereka bekerja. Kita tunggu di luar.”
Alisha ingin protes, ingin berkata bahwa ia tak mau meninggalkan adiknya sendiri, tapi genggaman tangan Zayn menyalurkan ketenangan. Ada sesuatu pada cara pria itu menatapnya—mata yang biasanya dingin kini terasa meyakinkan. Dengan berat hati, ia akhirnya menurut.
Mereka duduk di ruang tunggu VIP yang disediakan khusus. Ruangan itu luas, nyaman, bahkan lebih mirip lounge hotel dibandingkan ruang tunggu rumah sakit.
Alisha terdiam cukup lama, menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Zayn meliriknya sekilas, kemudian menyandarkan tubuh ke sofa.
“Kau tidak perlu menahan semuanya sendirian, Alisha,” ucapnya tiba-tiba.
Alisha terkejut, menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya… aku takut hasilnya buruk, Zayn. Bima satu-satunya adik yang aku punya. Selama ini aku merasa bersalah karena aku tidak bisa memberikan apa-apa untuk kesehatannya.”
Zayn mendekat, tangannya terulur menyentuh punggung tangan Alisha perlahan. “Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Seharusnya dari dulu ada orang yang melindungimu, bukan membuatmu merasa sendirian. Mulai sekarang, biarkan aku yang mengambil peran itu.”
Kata-kata itu menusuk ke dalam hati Alisha. Ia memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa ada seseorang yang mau menanggung beban bersamanya.
Zayn menghapus air mata yang membasahi pipi Alisha dengan ibu jarinya, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Kau boleh menangis. Tapi jangan pernah merasa sendiri lagi.”
Entah Zayn menyadarinya atau tidak, ia mendekap Alisha ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu hangat, berbeda jauh dari kesan dingin yang selalu ia tampilkan di depan publik. Alisha merasakan detak jantung Zayn yang stabil, seolah memberi jaminan bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Untuk sesaat, Alisha lupa bahwa pernikahan mereka hanyalah ‘perjanjian’. Untuk sesaat, ia merasa seolah dirinya benar-benar istri yang dicintai dan dilindungi sepenuh hati.
____
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya serius namun tenang.
“Tuan Zayn, Nyonya Alisha, hasil pemeriksaan awal sudah kami dapatkan. Kondisi adik Anda bisa ditangani, tapi membutuhkan pengobatan jangka panjang. Dengan fasilitas dan perawatan yang tepat, peluang kesembuhannya cukup besar.”
Alisha terisak lega, sementara Zayn mengangguk mantap. “Lakukan yang terbaik. Jangan pikirkan soal biaya.”
“Baik, Tuan,” jawab dokter itu penuh hormat.
Alisha menoleh ke arah Zayn, matanya berbinar penuh rasa syukur. “Terima kasih… aku tidak tahu harus bilang apa lagi.”
Zayn menatapnya dalam-dalam. “Kau tidak perlu bilang apa-apa, Alisha. Cukup ada di sisiku, itu sudah cukup.”
Kata-kata itu membuat hati Alisha kembali bergetar. Ia menunduk, tak sanggup membalas tatapan pria itu. Namun jauh di lubuk hatinya, ia mulai menyadari—perlahan tapi pasti, benteng yang ia bangun sejak awal mulai runtuh oleh kebaikan serta ketulusan Zayn.
.....
Lorong rumah sakit elit di Jakarta itu terasa begitu tenang saat malam hari, hanya sesekali terdengar langkah perawat yang bergegas, atau bunyi mesin infus yang berdetak pelan. Bagi Alisha, suasana itu terasa mencekam sekaligus menenangkan. Mencekam karena ia memikirkan kondisi Bima, sekaligus menenangkan karena akhirnya adiknya kini ditangani oleh tenaga medis terbaik.
Alisha duduk di tepi ranjang Bima, menatap wajah pucat adiknya yang tertidur dengan selang infus terpasang di lengan. Sesekali ia mengelus rambut adiknya dengan hati-hati, seolah ingin memastikan Bima baik-baik saja.
“Bima kuat ya, Sayang…” bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. “Mbak janji tidak akan membiarkanmu kesakitan lagi.”
Ia menoleh ke arah kursi panjang di sisi ruangan. Zayn masih duduk di sana, mengenakan kemeja yang baginya terlihat sederhana, jauh berbeda dari penampilan miliarder yang selalu rapih dengan jas. Malam itu, penampilannya lebih santai, namun sorot matanya tetap tajam dan penuh wibawa. Hanya saja, ada kelembutan yang tak bisa Alisha abaikan—saat menatapnya, hatinya selalu terasa bergetar aneh.
“Alisha,” suara Zayn memecah keheningan.
“Kau tidak perlu berjaga semalaman. Perawat sudah ada, aku juga di sini. Istirahatlah.”
Alisha menggeleng cepat, netranya berkaca-kaca.
“Aku tidak bisa tidur. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa pada Bima.”
Zayn berdiri perlahan, mendekati ranjang, lalu berdiri tepat di belakang Alisha. Tangannya terulur, menyentuh bahu istrinya dengan lembut.
“Jika kau sakit, bagaimana kau mau menjaga Bima? Percayalah… aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik. Kau hanya perlu kuat untuknya.”
Alisha menunduk, matanya berkabut. Ia bisa merasakan kehangatan tangan Zayn yang menenangkan. Tapi hatinya masih diliputi rasa bersalah.
“Maaf,” gumamnya pelan.
Zayn mengernyit tipis. “Maaf? Untuk apa?”
“Karena aku sudah menyeretmu dalam semua masalahku. Aku tahu hidupmu jauh dari kata sederhana. Sekarang aku membuatmu harus repot-repot seperti ini, padahal besok kau ada urusan penting. Aku hanya…” suaranya tercekat. “Aku hanya tidak mau menjadi beban.”
Zayn berjongkok di samping kursinya, menatap langsung wajah Alisha. Sorot matanya tajam, tapi lembut sekaligus menusuk.
“Kau istriku, Alisha. Bebanmu adalah bebanku juga. Jangan pernah berpikir aku keberatan. Justru aku bersyukur, karena melaluimu… aku punya alasan untuk peduli pada seseorang lagi.”
Alisha terdiam, dadanya berdesir hebat. Kata-kata Zayn membuat pertahanan hatinya longsor sedikit demi sedikit. Ia menunduk, tak berani menatap balik terlalu lama sorot tajam namun menenangkan itu, ia takut, takut jika hatinya semakin goyah.
Zayn tersenyum tipis melihat keraguan di wajah istrinya. Ia lalu berdiri lagi, mengambil selimut yang tersampir di kursi, lalu meletakkannya di pundak Alisha.
“Jika kau ingin berjaga, berjagalah dengan nyaman. Aku akan tetap di sini bersamamu.”
Malam itu, mereka berdua duduk berdampingan di kursi panjang. Alisha masih menggenggam tangan Bima, sementara Zayn hanya bersandar, matanya sesekali menatap Alisha diam-diam.
Dari luar ruangan, Arvin menatap ke dalam lewat kaca transparan dengan wajah yang sulit menyembunyikan ekspresi geli. Ia menyilangkan tangan di dada, menggelengkan kepala pelan.
“Bucin sekali Tuanku,” gumamnya lirih sambil terkekeh. “Biasanya dingin seperti es batu."
Seorang perawat pribadi yang baru saja tiba mendengar bisikan Arvin dan ikut tersenyum kecil. “Tuan Zayn memang berubah, ya. Jika biasanya ia hanya memprioritaskan pekerjaan, tak ada waktu untuk hal lain, tapi lihat… dia sabar sekali dengan istrinya.”
Arvin terkekeh pelan. “Iya, aku tidak menyangka. Selama aku bekerja dengannya, yang ada hanya ketegangan. Sekarang, lihatlah, dia rela mengalah demi menemani istri, padahal besok pagi ada meeting bersama investor besar. Aku yakin setengah jam saja dia telat, itu akan menjadi gosip di kalangan bisnis.”
“Lalu kenapa dia tetap di sini?” tanya perawat polos.
Arvin menghela napas sambil tersenyum, nadanya setengah menggoda.
“Karena dia sudah jatuh terlalu dalam. Dan sepertinya, dia sendiri tidak menyadari betapa dalamnya.”
____
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul dua pagi. Zayn akhirnya tertidur di kursi panjang setelah memindahkan istrinya dari kursi penunggu pasien di dekat ranjang Bima tadi, kepalanya miring ke arah Alisha. Sementara Alisha kini terjaga, meski kelopak matanya berat. Ia menatap wajah Zayn yang tenang dalam tidur, lalu tiba-tiba dadanya menghangat.
“Kenapa kau begitu baik, Zayn?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Kenapa kau membuatku bingung seperti ini?”
Hatinya bergejolak. Ia tahu jelas perjanjian mereka—pernikahan tanpa cinta, tanpa drama romantis. Tapi melihat pengorbanan Zayn, caranya menjaga, caranya hadir, Alisha merasa semua perjanjian itu semakin tak masuk akal.
Perlahan, tangannya yang semula meremas pelan ujung baju yang ia kenakan kini berpindah, nyaris menyentuh jemari Zayn yang terkulai di sisi kursi. Tapi buru-buru ia tarik kembali, wajahnya memerah.
“Aku tidak boleh…,” ucapnya pada diri sendiri. “Ini hanya sementara. Jangan jatuh hati, Alisha.”
Namun di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu—kata-kata itu hanyalah usaha sia-sia.