“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan
Hari pernikahan Zara dan Zayn akan diselenggarakan di hari Ahad. Di saat para santri sedang ada kegiatan belajar-mengajar. Memang agak memusingkan. Tapi demi mentaati dan menyenangkan Abah dan Uminya, Zayn mau bersusah payah mewujudkannya.
Permasalahan pertama yang muncul, adalah bagaimana cara mengaturnya. Bisakah para santri belajar ditengah hingar-bingarnya suara sound system yang menyala keras dari tengah-tengah lapangan?...Pasti akan sulit.
Untungnya Abah Munif bisa dinego, sehingga pada hari itu, para santri diliburkan. Sebuah hadiah istimewa dalam rangka menyambut pernikahan ustadz kesayangan mereka. Tapi liburan yang tidak gratis, yaitu sebuah tugas tambahan menanti mereka. Yaitu membantu persiapan pernikahan dan segala sesuatu yang menunjang kesuksesan penyelenggaraannya.
Kabar baik untuk semua. Para santri senang bukan main, demikian juga dengan Zayn. Ada tambahan tenaga untuk membantu mempersiapkan Dekorasi pelaminan dan juga koki dadakan.
Hitung-hitung untuk menambah ketrampilan para santri. Agar tidak hanya bisa menghafal kitab atau Al Qur'an tapi juga ketrampilan lainnya. Siapa tahu akan berguna di masa depan mereka kelak.
Oh ya, bagian dapur dan penerima tamu juga memerlukan tambahan personel. Maklumnya undangan Abah Munif, kelurga Zara dan teman-temannya sangat-sangat banyak. Hampir sepuluh ribu orang.
Apalagi dengan kemauan abah Munif yang aneh. Sepuluh ribu orang akan dihadirkan dalam satu waktu. Bisa dibayangkan kalau itu sangat merepotkan. Terop yang disediakan seluas lapangan pasti tidak akan muat. Lalu akan dikemanakan para tamu?.. Apakah akan memakai ruang kelas?... Tentu saja tidak elok, bukan?.. Dan akan merusak suasana pernikahan yang Zayn impikan.
Untungnya, abah Munif bisa dirayu, meski dengan berbagai imbalan yang menggiurkan. Bahwa semua hadiah dari para tamu, baik uang maupun benda berharga akan menjadi milik Abah munif. Dengan asumsi, kalau hadiah uangnya terkumpul banyak, insyaallah bisa jadi tambahan untuk membeli bahan bangunan, untuk menambah lokal kelas yang saat ini sangat dibutuhkan.
Sehari sebelum hari H, Zayn sudah mondar-mandir di pondok pesantren. Dia begitu sibuk. Mengkoordinasikan dan memastikan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara ijab Kabul dan resepsi.
Sejak sore hari, sudah terjadi kesibukan di pondok pesantren. Terop-terop yang Zayn pesan sudah datang. Begitu pun dengan dekorasi pelaminan yang sangat ikonik namun terkesan wah juga sudah datang.
Zayn memesan dekorasi ini dari kakak Kemal, yang merupakan alumni pondok pesantren Abah Munif angkatan pertama. Dengan demikian dia dengan mudah mengkoordinasikan pembuatan dan penyelesaian dekorasi pernikahan tersebut dengan para santri, teman teman Kemal.
Meskipun tidak terkenal, namun dia berharap hasilnya akan memuaskan.
“Tad, kerja terus, nggak ada apa apanya. ini namanya kerja rodi. Ustad dzalim lho,” keluh Kemal saat Zayn tengah inspeksi di bagian pembuatan dekorasi dan kembang mayang.
“Ya Sudah sana. Minta ke mbaknya di dapur,” jawab Zayn.
“Asyik.”
Kemal segera bangkit menuju dapur dengan gembira. Ingin minta kopi dan juga makanan kecil pada ustadzah atau Umi Shofia yang biasanya menjaga dapur.
Dengan santai, dia masuk ke dapur tanpa salam dan ketuk pintu, seperti yang biasa lakukan.
“Eeennhgkkyaaa...tak sopan.” teriakan yang cukup keras menghentikan langkahnya.
Kemal tersentak dan membelalakkan mata. Dia pun mundur teratur, tidak jadi masuk dapur. Nafasnya naik turun, dan tubuhnya bergetar hebat. Seperti baru saja bertemu kuntilanak di siang bolong.
“Astaghfirullah al adzim,” ucapnya sambil mengelus dada.
Dia tak menyangka kalau di dapur adalah para santriwati-santriwati yang sedang mendapat tugas membantu dan menyelesaikan pembuatan hidangan untuk acara esok. Dikiranya Umi Shofia atau ustadzah saja yang biasanya ada di sana.
Santriwati-santriwati merasa aman didapur. Semua wanita, dari koki yang dibawa ustad Zayn dan karyawan-karyawan lainnya. Sehingga hanya memakai kerudung seadanya. Selain simpel dan tidak mengganggu ketika harus beraktifitas menyelesaikan masakan, juga untuk mendapatkan udara yang segar dalam panasnya suhu ruangan saat itu.
Mereka tak menyangka kalau mendapatkan kejutan yang luar biasa di tengah malam. Ketua osis, yang mempunyai suara bagus yang membuat terlena semua orang kalau mengimami sholat, dan juga tampan tiba-tiba masuk ke dapur tanpa permisi.
“Pakai kerudungnya yang benar!” perintah gadis cantik bermata bening yang bernama Delisha, tak lain dan tak bukan wakil ketua osis mereka.
“Pakai pakai,” bisik mereka sambil membenahi kerudungnya.
Delisha pun segera membuka pintu dapur.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara tegas pada Kemal.
“Aku bisa di buatkan kopi satu ceret untuk teman-teman dekor dan juga camilan kalau ada.”
“Ya tunggu sebentar.”
Delisha segera berlalu untuk menyiapkan semua yang Kemal minta. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa kopi dan kue-kue yang baru saja matang di atas sebuah napan.
“Ini,” ucap Delisha sambil menyerahkan napan itu pada Kemal.
“Terima kasih,” ucap Kemal.
“Lain kali kalau mau masuk, salam dulu. Agar tidak membuat orang kaget,” ucapnya kemudian.
“Ya. Maaf tadi tidak sengaja,” jawab Kemal.
“Ya.”
Delisha pun pergi begitu saja, meninggalkan Kemal yang masih sibuk menata jantungnya yang masih sibuk berolah raga.
Setelah bisa mengendalikan detak jantungnya, ia pun pergi dengan membawa napan penuh makanan kecil dan kopi, serta bayang bayang Delisha yang bicara ketus tanpa ekspresi.
“Suit...suit...suit...yang hatinya sedang berbunga bunga,” goda salah satu teman Delisha.
Delisha diam, melanjutkan pekerjaannya mengupas wortel dan memotong buncis. Dia tak tertarik untuk menyahutinya.
“Ehem...ehem...ehemmm.” Sahut yang lainnya.
“Apaan sih kalian. Lanjutkan tugas. Keburu malam. Habis waktu kita dan tidak bisa sholat malam kalau kita bercanda terus,” jawab Delisha dengan suntuk.
Semua pun diam, melanjutkan pekerjaan masingmasing, tak berani mengganggunya lagi.
Lain Delisha, lain pula Kemal.
Hati masih berdebar-debar, tapi langsung di hadang ustadz Zayn, ustadz yang lucu tapi sangat diseganinya.
“Kok lama sekali, Kemal? Ngapain kamu di sana?” tanya Zayn.
“Uh, Ustadz nggak bilang bilang. Kalau di dapur, ada anak anak perempuan. Grogilah saya.”
Hahaha...Zayn tersenyum tipis. Dia teringat dengan masa-masa abu-abu dulu, saat masih dalam tahap menyelesaikan hafalan kitab. Selalu panas dingin, saat bertemu perempuan.
“Ya sudah sana, lanjutkan tugasmu. Nggak bagus, nilainya aku kurangi plus tambah hafalan satu lembar kalau sampai nggak selesai.”
“Ya, Ustadz. Andalannya tambah hafalan tambah hafalan. Susah, Ustadz.”
“Hmmm...” gumam Zayn dingin. Membuat Kemal enggan mengganggunya lagi.
Kemal pun melanjutkan tugasnya membuat hiasan pelaminan dari janur kuning dan juga bunga-bunga setaman. Dengan ditemani Zayn dan beberapa ustadz hingga malam hampir berakhir.
Alhamdulillah, jam 3 semuanya sudah selesai. Ada waktu sedikit untuk beristirahat. Para santri pun pergi ke peraduan masing-masing. Kini hanya tinggal Zayn seorang diri yang masih terjaga.
Sampai azan subuh berkumandang, bola matanya masih bersinar sempurna. Namun begitu turun dari shalat subuh, Dia sangat mengantuk. Matanya tak lagi bisa terbuka.
“Tidur ah. Sebentar.” Gumamnya setelah beberapa kali menguap. Dia sudah benar benar sudah tak tahan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dan Akhirnya Zzzzzzzzzz....
Dia lupa dengan waktu ijab qobul yang sebentar lagi aka dilaksanakan.
“Zayn...Zayn...” Suara Umi Shofia memanggilnya dari balik pintu.