NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 31

Langit telah berganti kelam ketika mobil hitam Rafael berhenti di halaman rumah sakit. Pintu belakang terbuka, dan Rafael melompat keluar dengan Dewi di pelukannya. Bajunya basah oleh darah, tangannya gemetar menahan istri yang nyaris tak bernyawa.

“BANTU! CEPAT!!” teriaknya menggema di lorong UGD, membuat beberapa perawat dan dokter berlari mendekat dengan tandu.

“Perempuan! Luka robek di perut! Banyak kehilangan darah! Dan... dia sedang hamil!” Marco menjelaskan cepat sambil menunjuk perut Dewi yang sudah ditutup kain seadanya selama perjalanan.

Perawat menahan Rafael. “Tuan, kami akan menangani ini. Percayakan pada kami.”

Tapi Rafael menggenggam tangan Dewi lebih erat. “Kalau sesuatu terjadi padanya... aku akan membakar rumah sakit ini.”

Dokter yang memimpin tim hanya mengangguk cepat. “Kami akan melakukan segalanya. Sekarang, tolong beri kami ruang!”

Akhirnya Rafael melepaskan genggamannya, perlahan. Jari-jari Dewi tergelincir dari tangannya saat tubuhnya dibawa masuk ke ruang operasi.

Dia berdiri di sana, diam, menggenggam udara kosong yang masih terasa hangat oleh kulit Dewi. Matanya memerah. Hatinya seperti pecah berkeping-keping.

Marco berdiri di sampingnya. “Kita harus bicara tentang Malik.”

Rafael tak menjawab. Hanya menoleh perlahan, matanya seperti tak lagi manusia.

---

Di ruang bawah tanah markas Rafael,

Seseorang menjerit keras. Suara itu menggema di antara dinding semen dan jeruji besi yang membungkus ruangan gelap nan lembap. Malik, masih setengah sadar, terikat di kursi besi. Tubuhnya penuh luka, darah sudah mengering di beberapa tempat, tapi napasnya masih ada. bukti bahwa penderitaannya belum berakhir.

Di depannya berdiri Rafael, mengenakan kaus hitam dan sarung tangan kulit. Wajahnya tak menampakkan emosi, tapi mata itu… kosong dan mematikan. Di meja di sampingnya, berjejer alat-alat yang biasa digunakan di ruang interogasi. atau penyiksaan.

“Sudah bangun?” suara Rafael tenang, terlalu tenang.

Malik hanya mendengus pelan.

“Kau... sudah terlambat…”

“Tidak,” Rafael membalas, mengambil obeng dari atas meja. Ia menatapnya sejenak, lalu menekannya ke meja dengan suara klak.

“Aku datang... tepat pada waktunya untuk mengubah nasibmu.”

“Anaknya... mungkin sudah mati. Istrimu... akan mengikutinya.” Malik tertawa pelan, meski napasnya tersendat.

“Kau kalah, Rafael…”

Rafael menghampirinya, lalu menekuk kepala Malik ke belakang dengan paksa. “Satu kata lagi, dan aku cabut lidahmu.”

“Aku... ingin melihatmu hancur…” desis Malik sambil meludahi lantai.

Seketika, Rafael menghantam wajah Malik dengan gagang obeng, membuat pria itu mengerang kesakitan. Gigi lainnya rontok.

Marco berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati. Rafael butuh ini. Ini bukan hanya balas dendam. Ini... penghakiman.

“Kenapa dia?” tanya Rafael dingin. “Kenapa Dewi?”

Malik tertawa pelan, tersendat oleh darah di tenggorokannya. “Karena dia satu-satunya hal... yang bisa membuat kau jatuh. Dan aku ingin kau... jatuh sedalam-dalamnya.”

Darah Rafael mendidih. Ia meraih alat pemotong kuku baja, dan tanpa peringatan, mulai menarik kuku Malik satu per satu. Setiap jeritan pria itu seperti nyanyian setan yang menyayat udara.

“Kau ingin aku jatuh?” Rafael berbisik di telinganya. “Aku akan pastikan kau jatuh duluan… ke neraka yang paling dalam.”

Jeritan Malik makin keras. Suara tulangnya patah. Nafasnya makin lemah. Tapi Rafael belum berhenti. Ia ingin Malik merasakan... rasa takut yang sama. Rasa kehilangan. Rasa tak berdaya yang dialami Dewi.

---

Sementara itu, di rumah sakit…

Sinar lampu operasi menyilaukan ruangan. Dokter bekerja cepat, darah mengalir deras dari luka terbuka di perut Dewi. Jantungnya lemah. Bayi di dalam rahimnya nyaris tak berdetak.

“Cepat, buka lebih lebar. Kita harus segera keluarkan bayinya!” seru dokter utama.

“Tekanan darahnya turun drastis! Jantungnya... flatline sebentar!”

“CPR! Sekarang! Jangan biarkan dia pergi!”

Tangan-tangan sibuk. Mesin berbunyi nyaring. Setiap detik, nyawa dua makhluk di atas meja itu berada di ujung jarum. Dokter berteriak, keringat membanjiri wajah mereka.

Lalu...

Tangisan bayi.

Kecil, lemah... tapi nyata.

Seorang perawat menangis. “Dia berhasil... bayi berhasil...”

Namun semua mata beralih ke Dewi yang masih terbaring tak bergerak.

“Jantungnya... kita kehilangan dia! CEPAT!”

---

Kembali ke markas Rafael…

Pintu ruang bawah tanah terbuka tiba-tiba.

Marco masuk dengan wajah tegang.

" Tuan!”

Rafael menoleh, tangannya masih memegang pisau kecil berlumur darah.

“ Nyonya Dewi... dia melahirkan. Bayi perempuan... selamat.”

Rafael terdiam. Pisau terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan bunyi clingggg.

“Tapi nyonya...” Marco menelan ludah. “Dia koma.”

Rafael menutup matanya sejenak, mencoba menahan sesuatu yang mulai mendesak keluar dari dadanya.

“Koma?” suaranya bergetar.

Marco mengangguk.

“Dokter bilang... tubuhnya terlalu lemah. Terlalu banyak darah yang hilang. Tapi ada harapan. Mereka belum menyerah.”

Rafael menatap Malik yang kini hampir tak sadarkan diri.

“Aku akan menemuinya,” bisiknya. Lalu berbalik, meninggalkan Malik yang kini tak lebih dari bangkai hidup.

Tapi sebelum melangkah keluar, Rafael berhenti dan berucap tanpa menoleh,

“Biarkan dia hidup. Tapi pastikan dia tidak bisa bicara... berjalan... atau merasa seperti manusia lagi.”

Marco mengangguk.

Dan Rafael pun pergi. Untuk menemui satu-satunya hal yang masih membuatnya bertahan: istrinya. Dan anak perempuan yang baru saja lahir ke dunia... di tengah darah, jeritan, dan perang tanpa akhir.

Langkah-langkah Rafael terdengar berat di lorong sunyi rumah sakit. Sepatu kulit hitamnya menginjak lantai dengan ritme lambat namun pasti, seperti setiap langkahnya membawa beban dunia. Setibanya di depan ruangan ICU Dewi, pintu itu terbuka tiba-tiba. Seorang dokter keluar dengan wajah penuh kelelahan, masker medisnya masih tergantung di leher.

Rafael langsung menghampiri. “Bagaimana istri saya?”

Dokter mengangguk pelan, menatap Rafael dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Kondisinya... sangat lemah, Tuan Rafael. Dia kehilangan banyak darah. Trauma pada organ dalam cukup parah, dan... tekanan emosionalnya membuat kondisinya semakin menurun.”

Rafael mengepalkan tangannya, matanya menatap lurus, wajahnya seperti dipahat batu. Tapi nadanya tetap tenang, terlalu tenang. “Apakah dia akan bertahan?”

“Dia... dalam keadaan koma. Kami tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi kami melakukan semua yang kami bisa untuk menstabilkannya.”

Rafael menahan napas. “Dan... anak saya?”

Dokter tampak lebih ragu kali ini. “Bayi perempuan Anda lahir dalam usia kandungan enam bulan. Tubuhnya sangat lemah dan paru-parunya belum sepenuhnya berkembang. Dia butuh perawatan intensif di NICU. Kami sedang melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk membuatnya bertahan.”

Rafael tak berkata apa-apa. Tapi wajahnya memucat. Rahangnya mengeras, dan urat-urat di lehernya mulai menegang.

“Kemungkinannya?” suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti desis pelan.

Dokter menatap mata Rafael dalam-dalam, sebelum akhirnya menjawab,

“Kecil, Tuan Rafael. Sangat kecil. Tapi bukan tidak ada harapan. Dengan perawatan intensif, dan jika tubuhnya merespons... dia bisa bertahan.”

Seketika, tubuh Rafael seperti membatu. Napasnya tertahan. Dunia seperti berhenti sejenak di sekelilingnya. Amarahnya... meledak dalam diam. Ia menoleh perlahan ke arah pintu ICU yang tertutup rapat. tempat istrinya kini berjuang antara hidup dan mati. dan tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Bisa saya melihatnya?” tanyanya pelan.

“Kami mohon maaf. Saat ini, Nyonya Dewi belum bisa dijenguk. Ia butuh waktu untuk pulih tanpa gangguan. Tapi… Anda boleh melihat putri Anda.”

Rafael hanya mengangguk sekali, tajam. Tanpa bicara lagi, ia berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya kali ini lebih cepat. seperti dituntun oleh rasa kehilangan dan amarah yang belum meledak. Marco mengekor dalam diam, tak berani mengatakan apa-apa.

Mereka tiba di depan ruang NICU. Seorang perawat membukakan akses, membimbing Rafael ke balik kaca pembatas tempat bayi-bayi mungil dirawat dalam inkubator.

Di ujung ruangan, ada satu inkubator yang terpisah sedikit dari yang lain. Di sanalah putrinya berada.

Rafael berhenti di depan kaca. Dadanya berguncang. Napasnya tercekat.

Di dalam inkubator itu, bayi perempuannya terbaring. Begitu kecil. Kulitnya masih merah muda, tubuhnya nyaris tak sebesar telapak tangan Rafael. Kabel-kabel kecil menancap di dada mungil itu, alat bantu napas mengisi hidung dan mulutnya, dan lampu hangat menjaga suhu tubuhnya agar tetap stabil.

Rafael menempelkan telapak tangannya ke kaca. Matanya memerah.

“Putriku…” bisiknya.

Dia berdiri di sana, terpaku, nyaris tak bernapas. Pandangannya tak lepas dari makhluk kecil yang menjadi bagian dari darah dagingnya. Begitu rapuh. Begitu rentan. Tapi… hidup.

Air mata jatuh diam-diam dari sudut matanya. Ia yang tak pernah menangis, kini menitikkan air mata bukan karena lemah. tapi karena hancur.

Marco berdiri di belakangnya, menjaga jarak. Ia belum pernah melihat Rafael seperti ini. Bukan Rafael yang ditakuti dunia luar. Tapi Rafael seorang ayah, yang berdiri di antara harapan dan kematian.

“Siapapun yang membuat ini terjadi…” desis Rafael, pelan namun tajam. “Aku akan buat mereka membayar... dengan darah.”

Tangannya masih menempel di kaca.

“Bernafas lah, Nak… lawan semuanya. Papa di sini. Dan papa takkan biarkan siapapun menyentuhmu lagi.”

Ruangan itu hening. Hanya suara mesin dan detak kecil monitor yang berbunyi pelan. Tapi dalam diam itu, tumbuh satu ikatan tak kasat mata antara Rafael dan bayi perempuannya. Sebuah janji tak bersuara: bahwa meski dunia menghitam, Rafael akan tetap berdiri. Untuk Dewi. Dan untuk gadis kecil di balik kaca itu.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!