NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Rahasia di Balik Hutan Bukit Barisan"

Hujan turun sejak pagi, deras dan penuh rahasia. Menyusup lewat celah-celah dedaunan Bukit Barisan yang lebat, membasuh hening dengan gemuruh halus yang tak pernah benar-benar riuh. Pohon-pohon tinggi bergetar dalam hembusan angin yang membawa dingin sampai ke tulang. Sungai di dekat situ meluap, namun tetap jernih, seakan tak peduli meski langit menumpahkan luka ke bumi.

Di dalam tenda kecil berwarna hijau lumut, Johan duduk diam. Sorot matanya kosong, menembus jendela plastik bening yang basah oleh embun dan hujan. Pikirannya mengembara jauh ke masa lalu. Di sanalah, di sudut paling sunyi dalam hatinya, hidup kenangan akan Vinda Puti Keysha—gadis yang dulu ia cintai bahkan sampai sekarang, kini hanya tinggal bayang.

“Tahu gak, Han, Bukit Barisan itu menyimpan banyak misteri,” suara Keysha kembali menyusup ke dalam kepalanya, begitu jelas, begitu nyata. “Ada mitos tentang manusia bunian, harta karun tersembunyi, bahkan bidadari yang katanya tinggal di sini. Tapi inget ya, kalau kamu liatin terus bidadarinya, matamu ku colok!”

Johan tersenyum getir. Tangisnya nyaris pecah, tetapi ia tahan. Kenangan itu terlalu indah untuk dikotori air mata. Namun tetap saja, luka bernama rindu itu menyayat perlahan, menyesap hingga ke tulang belakang.

“Mana, Key?” bisiknya pelan, suaranya hampir lenyap ditelan gemuruh hujan. “Katamu mau nyolok mataku kalau aku liatin bidadari… Aku pasang tenda di tempat aku ketemu pertama kali dengan bidadari itu Key. Biar aku bisa gali informasi, biar aku bisa bebasin Kalmi. Semua ini untuk itu, Key... Kau pasti ngerti, kan?”

Ia menyeka air mata yang mengalir tanpa permisi. “Tolong... katakan kalau kamu belum benar-benar pergi.”

Seolah mendengar seruannya, langit mulai mereda. Hujan berkurang menjadi gerimis yang malu-malu. Cahaya mentari menembus sela-sela pepohonan, dan saat itulah, sebuah bayangan muncul di luar tenda. Johan terperanjat. Ia bangkit tergesa, menyingkap tirai tenda dan melangkah keluar.

Di tepi sungai yang deras, berdiri seorang gadis—wajahnya tenang, kulitnya pucat bersih, rambutnya panjang tergerai dan basah oleh embun. Ia mencuci pakaian di bawah rinai cahaya, seperti mimpi yang muncul dari dongeng tua.

Bidadari itu.

“Hey... tolong,” kata Johan, nadanya tercekat, hampir tak terdengar. “Tolong selamatkan temanku. Di mana dia sekarang?”

Gadis itu menghentikan tangannya. Ia menoleh perlahan. Mata yang lembut namun menyimpan terlalu banyak luka. “Kenapa kau masih di sini?” tanyanya. Suaranya bagai desir angin yang menyelinap di sela dedaunan—pelan, namun menampar hati yang lelah.

Johan diam. Lalu dengan pelan, ia bercerita. Tentang Kalmi. Tentang perjalanan mereka. Tentang petualangan yang berubah menjadi bencana. Dan tentang tekadnya yang kini tak bisa dihentikan.

Gadis itu mendengarkannya dengan seksama. Raut wajahnya berubah, seperti ada badai yang ia tahan di dalam dada. Saat ia bicara kembali, suaranya gemetar.

“Aku... tidak bisa membantumu. Aku tak ingin membawa petaka bagi diriku. Juga bagi orang lain.”

“Petaka?” Johan menatapnya tak mengerti.

Gadis itu menunduk, memeluk dirinya sendiri. Hening sejenak, sebelum ia berbicara lagi—kali ini lirih, namun cukup tajam untuk menusuk jantung siapa pun yang mendengarnya.

“Ladang ganja itu… bukan milik orang biasa,” ucapnya pelan. “Itu milik salah satu pejabat negeri.”

Ia menunduk sejenak. Lalu melanjutkan, suaranya lebih pelan, tapi jelas.

“Orang-orang yang kerja di sana… bukan petani. Mereka warga desa yang diculik. Nama-nama yang sekarang masuk daftar orang hilang. Yang tak pernah ditemukan lagi.”

Ia menarik napas, berusaha menahan sesuatu yang menggumpal di dadanya.

“Mereka dipaksa kerja. Dijaga orang-orang bersenjata. Dikurung ketakutan setiap hari. Dan semua itu… dikendalikan oleh ayahku. Dan anak buahnya. Mafia di Padang.”

Hening sejenak. Lalu suaranya pecah sedikit di akhir kalimat berikutnya.

“Aku pernah bantu satu orang kabur. Cuma satu. Tapi dia ketahuan. Malam itu juga dia ditangkap. Ditembak di depan semua orang. Supaya jadi contoh.”

Ia memejam sebentar. Lalu membuka matanya kembali, basah tapi tak tumpah.

“Sejak itu, aku berhenti membantu orang untuk kabur. Aku nggak sanggup lihat orang mati lagi.”

Dunia Johan runtuh perlahan. Tapi dari reruntuhan itu, tekadnya justru tumbuh seperti bara dalam abu.

“Apa kamu tahu di mana Kalmi sekarang?”

Gadis itu menggeleng pelan. “Aku tak tahu. Mereka tidak memberitahuku.”

Johan menutup mata. Menarik napas panjang. Di dalam hatinya, badai mulai tenang. Ia tahu, jalan di depannya tak mudah. Tapi ia juga tahu, ia tak bisa mundur.

“Terima kasih... atas informasi yang kau berikan padaku,” ucapnya lembut. “Meskipun sedikit, tapi cukup untukku mulai berjalan.”

Gadis itu menunduk. Johan pun berbalik, melangkah perlahan kembali ke tenda.

Tiba-tiba, suara lembut memanggil dari belakang.

“Hei… pria kota,” ucap gadis itu.

Nada suaranya bukan sekadar panggilan biasa—ada harap di sana. Ada luka yang disembunyikan dengan rapi. Ia berdiri tegak di hadapan Johan, seperti seseorang yang telah lama terkurung dalam sangkar tak kasatmata dan baru saja mencium aroma kebebasan dari balik jeruji.

“Maukah kau bercerita tentang kehidupan di luar sana? Tentang kota. Tentang langit yang tak tertutup kanopi daun. Tentang suara klakson, lampu jalan, atau… tentang sekolah. Aku ingin sekali tahu rasanya bersekolah. Duduk di bangku dengan seragam. Membaca buku yang harum dan berat di tangan.”

Johan terdiam sejenak. Di matanya, gadis ini bukan sekadar saksi hutan. Ia adalah jiwa yang terperangkap di antara dunia gelap dan cahaya yang belum sempat menyapa. Gadis ini haus, bukan oleh air, melainkan oleh dunia yang tak pernah dikenalnya. Dan mungkin, pikir Johan, dari kerinduan yang sederhana itu, ia bisa menguak misteri hutan dan menyelamatkan Kalmi.

“Tentu,” ujarnya akhirnya. “Aku akan ceritakan semuanya. Tentang keramaian kota, tentang bangku sekolah, tentang pesawat, taman bermain, bahkan tentang es krim yang meleleh di tangan.”

Gadis itu tersenyum kecil. Tapi cepat-cepat senyum itu memudar.

“Ayahku melarangku bicara dengan para pekerja. Katanya, dunia luar hanya membawa petaka. Tapi… aku ingin tahu. Aku ingin bebas.”

Johan mendekat. Tak ada heroisme dalam langkahnya—hanya tekad yang ditahan rapi di dalam dada.

“Apa kamu mau… kita bekerjasama?” katanya, suara tenang, hampir seperti bisikan. “Aku akan pikirkan rencananya. Pelan-pelan, sebaik mungkin. Dan kalau semua berhasil… aku akan bantu kamu sekolah. Aku bawa kamu ke luar dari tempat ini. Naik pesawat. Lihat kota. Hidup bebas. Apa pun yang kamu mau, akan aku usahakan.”

Gadis itu diam. Usianya mungkin dua puluh, atau bahkan belum. Wajahnya menoleh, menatap Johan dengan sorot mata yang… kosong, tapi bukan tak berpengharapan. Seperti anak kecil yang baru saja diberi mimpi, lalu ragu apakah ia boleh mempercayainya.

“Tapi… apa mungkin kita kabur?” bisiknya. Lebih ke dirinya sendiri daripada ke Johan.

Johan tak buru-buru menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menyentuh bahu gadis itu dengan hati-hati. Seolah takut menyakiti. Tapi di sentuhan itu ada satu hal yang nyata: keyakinan.

“Kita atur pelan-pelan. Nggak harus sekarang. Tapi pasti. Bareng-bareng,” ucapnya.

Gadis itu menunduk, seperti menimbang banyak hal yang terlalu berat untuk usianya. Lalu ia angguk. Ragu-ragu, tapi tulus.

“Baiklah… kita coba,” katanya. Lalu jeda. Pandangannya naik lagi ke arah Johan, polos. “Tapi... pesawat itu apa?”

Johan sempat tertawa. Bukan untuk mengejek. Tapi karena lupa, gadis ini hidup dalam dunia yang tak mengenal jalanan, apalagi langit terbuka.

“Pesawat itu... semacam burung,” katanya sambil duduk di batang kayu yang basah. “Tapi besar. Terbuat dari logam. Kita bisa duduk di dalamnya, lalu dia terbang. Membawa kita ke mana pun kita mau.”

“Terbang?” Gadis itu memicingkan mata. “Seperti... benar-benar di langit?”

“Ya. Tinggi sekali. Sampai kamu bisa lihat awan dari dekat.”

Gadis itu mendongak, menatap langit yang tersembunyi di balik kanopi daun. Lama ia diam, seperti sedang membayangkan dirinya melayang di atas pohon-pohon tua itu.

“Kalau kita kabur… kita bisa naik pesawat juga?”

“Kalau kita bisa sampai ke kota yang punya bandara, iya. Kita bisa.”

Tak ada yang bicara setelah itu. Hutan mulai menggelap. Angin sore membawa dingin yang menggigit perlahan.

Johan menoleh, suaranya lebih ringan sekarang. “Ngomong-ngomong... kamu belum bilang namamu.”

Gadis itu menatapnya. Ada senyum. Bukan senyum besar. Tapi cukup untuk terlihat nyata.

“Lia,” katanya. “Namaku Liana.”

“Senang bertemu denganmu, Liana. Aku Johan.”

Ia menyambung setelah jeda singkat. “Mulai sekarang, kita bukan dua orang asing. Kita sekutu. Kita akan cari jalan keluar… bersama-sama.”

Dan pada saat itu, di antara bau tanah basah dan suara serangga malam yang mulai bangkit, dua nama itu bertukar seperti janji yang tak perlu diucapkan keras-keras.

Mereka tak tahu apa yang menunggu esok hari. Tapi mereka tahu satu hal: harapan tak butuh banyak alasan untuk bertumbuh. Ia hanya butuh satu teman yang percaya.

1
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!