Di sebuah kampung yang sejuk dan dingin terdapat pemandangan yang indah, ada danau dan kebun teh yang menyejukkan mata jika kita memandangnya. Menikmati pemandangan ini akan membuat diri tenang dan bisa menghilangkan stres, ada angin sepoi dan suasana yang dingin. Disini bukan saja bercerita tentang pemandangan sebuah kampung, tapi menceritakan tentang kisah seorang gadis yang ingin mencapai cita-citanya.
Hai namaku Senja, aku anak bungsu, aku punya satu saudara laki-laki. Orangtuaku hanya petani kecil dan kerja serabutan. Rumahku hanya kayu sederhana. Aku pengen jadi orang sukses agar bisa bantu keluargaku, terutama orangtuaku. Tapi kendalaku adalah keuangan keluarga yang tak mencukupi.
Apakah aku bisa mewujudkan mimpiku?
yok baca ceritanya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yulia weni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Sekolah
"Pagi hari sudah mendung, tanda-tanda hujan akan turun. Mungkin langit tahu tentang kondisi aku ya," ucap Senja sedih. "Hufft, tidak boleh sedih, Senja, kamu harus semangat! Ingat cita-citamu, ingat kedua orang tuamu," batin Senja.
"Senja, apakah kamu sudah siap, Nak?" tanya Ibu. "Sepertinya mau hujan, lebih baik cepat berangkat sekolah! Karena payung kita sudah rusak, Nak.
"Iya, Bu, ini Senja sudah siap," balas Senja.
"Ya sudah, ini ada uang jajan untuk kamu 5 ribu. Maaf ya, kemarin Ibu tak punya uang! Alhamdulillah kemarin sore Ayah dapat jasa, membersihkan selokan air tetangga kita," ucap Ibu.
"Apakah utang beras sudah Ibu bayar, Bu? Kalau belum, tidak usah uang ini buat Senja," kata Senja dengan nada yang penuh perhatian.
"Tidak apa-apa, Nak. Uang ini buat kamu saja. Utang beras sudah Ayah bayar tadi pagi," jawab Ibu dengan senyum.
"Hmm, baiklah, Bu. Senja terima uangnya. Terima kasih ya, Bu. Ayah kemana, Bu?" tanya Senja.
"Ayah sudah pergi ke kebun, Nak, mau lihat kebun kita. Apakah kubis kita sudah bisa dipanen atau belum." "Ya sudah, sekarang ayo berangkat ke sekolah! Mumpung belum turun hujannya, dan ini minum dulu air teh hangatnya.
"Baik, Bu, ya sudah Senja berangkat dulu, sambil mencium tangan Ibunya. 'Assalamualaikum, Bu.' 'Waalaikumussalam, ya sudah hati-hati ya, Nak,' ucap Ibu. Senja tidak langsung ke sekolah, biasa dia mampir dulu ke rumah Novi.
"Wah, sudah siap kamu, Nov! Tumben sudah menunggu di teras,' ucap Senja. 'Hehe, baru siap juga, takut hujan turun, payungku hanya satu. Kalau untukku sih cukup satu payung. Hanya saja kita berdua tidak cukup dengan satu payung. Kamu kan tahu badanku bohai,' ucap Novi. 'Hehe, iya ya,' balas Senja, dan mereka pun tertawa bersama.
Sampai di sekolah, saat Senja dan Novi masuk kelas, hujan pun langsung turun. 'Alhamdulillah, untung kita sudah sampai ya, Sen! Kalau tidak mungkin kita sudah basah di jalan," ucap Novi. 'Iya, Alhamdulillah, cukup hati kita saja yang basah, badan kita jangan,' balas Senja sambil bergurau, hehe."
"Kayaknya guru kita belum datang, deh, Nov! Soalnya tidak ada motor gurunya yang terparkir," ucap Senja. "Mungkin karena hujan, Sen. Semoga gurunya tidak datang! Jadi, kita bisa bebas pagi ini, saling curhat, santai-santai, hehe," balas Novi.
"Hehe, iya juga ya. Sekali-sekali boleh dong kita bebas pagi ini," balas Senja. Mereka pun tertawa bersama. "Oh ya, Nov, malam tadi aku sudah menceritakan tentang pembayaran uang ujian nasional ke orang tuaku. Kayaknya aku belum bisa lunas bayar, Nov. Ya, kamu tahu sendiri bagaimana kondisi keluargaku," ucap Senja sedih.
"Aku juga sudah menceritakan sama orang tuaku, Sen! Aku sama kayak kamu, belum juga bisa bayar lunas. Karena adikku juga butuh uang untuk pembayaran uang komite di sekolahnya. Ditambah uang LKS yang belum dibayar ada beberapa," ucap Novi sedih.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita coba tanyakan saja sama, bu Tet? Apakah kita bisa ikut ujian nasional jika kita belum bisa bayar lunas?" ucap Senja. "Soalnya malam tadi aku juga diminta sama ibuku untuk menanyakan masalah ini ke guru kita," ucap Senja.
"Iya, nanti jam istirahat kita ke kantor guru ya, Sen! Kita temui bu Tet dan kita tanyakan perihal ini. Kita jelaskan juga kondisi keluarga kita yang sebenarnya," balas Novi.
Mega sepertinya sama dengan kita Sen, juga belum bisa bayar lunas. Kemarin dia juga sempat cerita, kalau uang kiriman dari abangnya tidak seperti biasanya. Dia tidak tahu juga apa kendala abangnya.
"Hmm, begitu. Tapi aku kasihan sama Mega, Nov. Aku tahu dia pura-pura bahagia kalau ketemu teman yang lain. Dia anak yang kuat, ya. Kalau aku jadi Mega, mungkin aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini.
'Ya, kalau aku jadi Mega, aku langsung mendatangi ayahku di rumah istri mudanya. Sudah meninggalkan istrinya yang sakit-sakitan, tidak memberi nafkah, malah tidak mengakui anak kandung sendiri. Nanti kalau anak sudah sukses, dia datang ke rumah anak, minta balas budi. Sumpah, aku emosi, Sen!' ucap Novi berapi-api.
'Sabar, Nov. Jadi, kita masih bersyukur kita hanya masalah ekonomi. Kita masih punya orang tua lengkap, saling kasih sayang," ucap Senja lembut. Tapi apakah kita bisa kuliah, ya, Nov?' tanya Senja. 'Melihat kondisi kita kayak ini, rasanya sulit aku untuk kuliah," ucap Senja sedih.
"Kamu harus kuliah, deh, Sen. Siapa tahu kamu dapat beasiswa. Kamu anak pintar, rajin, gigih, ditambah paling semangat. Kalau aku, kamu tahu sendiri, ibuku kalau membahas masalah kuliah pasti bawaan-nya jutek terus. Ditambah kemampuanku hanya rata-rata, mana mungkin aku mendapatkan beasiswa," ucap Novi.
"Husss, tidak boleh kita merendahkan diri sendiri, Nov," balas Senja. 'Walaupun dapat beasiswa, awal modal kita ke kota juga butuh biaya, Nov. Aku tidak tahu apakah aku diizinkan kuliah atau tidak sama keluargaku,' ucap Senja dengan mata berkaca-kaca.
"Bel masuk sudah berbunyi, mata pelajaran pertama. Gurunya tidak bisa masuk karena terjebak hujan. Jadi, ditinggalkan tugas untuk membahas soal ujian tahun kemarin. Semua teman-teman kelas bersorak gembira, karena seperti mendapatkan hadiah saja, haha.
"Ok, teman-teman, tadi aku dihubungi sama Bapak Ham. Beliau datang terlambat karena terjebak hujan. Aku sudah mengambil soal-soal tahun kemarin di kantor, sesuai perintah Pak Ham.
"Dan tolong ini dikerjakan dulu soalnya. Bagi yang tidak paham, nanti kita bahas bersama dengan bapaknya kalau ada waktu kita yang tersisa," ucap Nanda, ketua kelas. "Oh ya, satu lagi, boleh mengerjakannya sendiri-sendiri, boleh berpasangan, atau berkelompok," tambahnya. "Hore!" teriak teman yang lain.
"Senja, aku mau gabung sama kamu, ya," ucap Novi sambil tersenyum lebar. "Iya, boleh. Tapi jangan gosip dulu, ya," balas Senja pura-pura melotot. "Hehe, mana ada aku bergosip? Aku hanya bercerita," balas Novi.
Soal dibagikan satu persatu. Namun, tidak ada ceritanya kelas diam saja saat guru tidak ada. Akan ada saja yang main game, yang bercerita terus, yang nyontek, yang bercanda, tapi masih ada juga yang serius mengerjakannya, seperti Senja dan Novi.
Jam istirahat berbunyi, tugas mereka selesai. Tidak bisa juga dibahas hari ini karena bapaknya baru saja datang. Ketua kelas mengumpulkan lagi soal-soalnya dan berkata, "Oke, teman-teman. Karena bel sudah berbunyi, jadi kita istirahat dulu. Untuk soalnya dikumpulkan lagi. Hari Sabtu pagi kita bahas sama Bapak Ham." Ok," jawab yang lain.
"Sen, ayo kita ke kantor guru. Tadi aku lihat Bu Tet juga sudah keluar dari kelas XII C. Kita kejar saja Bu Tet sebelum beliau pergi ke kantin," ucap Novi sambil berdiri. "Ok, ayo," ucap Senja sambil berjalan.
"Bu, tunggu sebentar, Bu," ucap Senja sambil berlari dengan Novi. "Iya, ada apa, Senja? Kok tergesa-gesa seperti itu?" balas Bu Tet. "Begini, Bu. Aku mau bertanya tentang uang ujian nasional," ucap Senja. "Iya, ada apa? Apa kamu mau bayar sekarang?" balas Bu Tet.
"Bukan, Bu. Boleh tidak, Bu? Kami ikut ujian jika belum lunas bayarnya? Soalnya kami sudah bilang ke orang tua di rumah. Dan kata orang tua, kalau bayar lunas mungkin belum bisa. Apakah bisa dibayar lunas saat ambil tanda kelulusan?" ucap Senja sedih dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Bu. Aku juga sama seperti Senja," balas Novi.
"Ibu belum bisa memberikan keringanan masalah biaya ujian, karena belum diskusi dengan Kepala Sekolah," kata Ibu Tet dengan nada yang sabar.
"Apa maksudnya, Bu? Berarti kami tidak bisa bayar setengah ya, Bu? Harus lunas?" tanya Senja dengan rasa penasaran.
"Belum bisa dipastikan, Senja. Ibu perlu membicarakan ini dengan Kepala Sekolah terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan lihat apa yang bisa dilakukan," jawab Ibu Tet dengan penjelasan yang jelas.
Novi yang mendengarkan percakapan itu juga bertanya, "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membicarakan ini dengan Kepala Sekolah, Bu?"
"Bu Tet akan membicarakan ini dengan Kepala Sekolah dalam beberapa hari ke depan. Setelah ada keputusan, Bu Tet akan memberitahu kalian berdua," kata Ibu Tet dengan nada yang meyakinkan.
Mendengar jawaban Bu Tet, membuat Senja dan Novi menjadi sedih dan patah semangat. Mereka saling menatap dengan wajah yang murung, berharap ada jalan keluar untuk masalah biaya ujian yang mereka hadapi.