“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS29
Di bawah gelap pepohonan taman istana, Esma berdiri diam. Busur di tangannya terangkat, anak panah terpasang, membidik balkon tempat Bey Murad berbincang dengan Mansur dan Orhan.
SYIUT!
Dalam desingan singkat, anak panah melesat, menancap tepat di pilar balkon. Tanpa menoleh lagi, Esma segera menurunkan busurnya, membuangnya — segera berbalik, lalu menghilang ke dalam kegelapan menuju harem.
Empat bulan lamanya Esma diam meskipun tau bahwa Rustum Pasha adalah seorang pemberontak. Bukan karena ia takut—melainkan karena ia belum selesai menghitung berapa banyak mata dan telinga Rustum Pasha yang menyusup ke dalam harem.
Pelan-pelan, Esma menelusuri mereka. Dan begitu Esma mendapati setiap nama, ia menyingkirkan mereka secara halus — ada yang “dihadiahi” ke rumah para pejabat, ada yang dinikahkan dengan saudagar yang tengah mencari pendamping, dan sebagian lainnya dimerdekakan dari kehidupan istana. Semua itu, tentu, dilakukan atas izin Ibu Suri.
Dan setelah harem benar-benar bersih dari para antek-antek Rustum Pasha, barulah Esma memutuskan untuk mengungkap rahasia itu—tanpa pernah menyingkap siapa dirinya di balik pengirim pesan tersebut.
Setelah mengirim pesan rahasia itu, Esma kembali ke kamarnya guna mengistirahatkan diri. Namun, belum lama matanya terpejam, ia tersentak oleh suara ketukan pintu.
Tok!
Tok!
Tok!
Esma menghembuskan pelan napasnya. “Mereka curiga rupanya,” gumamnya pelan. “Ck! Sungguh merepotkan!”
Wanita itu beranjak dari ranjangnya, mengambil selendang hijau dari dalam lemari, lalu mengenakannya. Lekas ia membuka pintu, ekspresinya pura-pura bingung melihat Mansur Ağa berdiri di depan pintu dengan tatapan menyelidik.
“Mansur Ağa? Ada keperluan apa malam-malam begini?” tanya Esma tenang.
“Malam ini ada panah yang menancap di balkon Baginda. Beberapa penjaga melihatmu menyelinap keluar istana tak lama sebelum kejadian itu terjadi. Kebetulan yang menarik, bukan? Apa kau bisa menjelaskan 'kebetulan' ini, Esma Hatun?”
Esma membelalak panik, mulutnya menganga, ‘Aku tau, kau ingin mengujiku, kan? Dan di saat seperti ini ... aku harus mengkhawatirkan keadaan Baginda dari pada membela diri.’
“Ya Tuhan, apakah Baginda baik-baik saja? Apa yang terjadi? Apa Baginda terluka?!” cecarnya, pura-pura panik.
Mata Mansur menyipit, menyelidik penuh curiga. “Esma Hatun, kepanikanmu sungguh sangat meyakinkan, tapi jangan lupakan pertanyaanku. Penjelasanmu tentang 'kebetulan' ini masih belum cukup. Katakan padaku, apa yang kau lakukan di luar istana malam ini? Jangan bersembunyi di balik kekhawatiranmu pada Baginda.”
“Mansur Ağa, dengan segala hormat, aku adalah istri Baginda. Bagaimana bisa kau menanyaiku seolah aku seorang penjahat, sementara keselamatan suamiku terancam? Jawab dulu pertanyaanku! Apakah Baginda baik-baik saja? Apakah dia terluka? Setelah itu, aku akan menjelaskan 'kebetulan' yang kau maksud.”
Mansur menghela napas, wajahnya sedikit melembut. “Baginda baik-baik saja, Esma Hatun. Anak panah itu tidak melukainya. Tapi, kejadian ini tetaplah sebuah ancaman, dan aku harus menyelidikinya sampai tuntas. Sekarang, jelaskan padaku, apa yang kau lakukan di luar istana malam ini?”
Esma pura-pura menghembuskan napas lega, lalu kembali menatap serius Mansur Ağa.
“Baiklah, Mansur Ağa. Aku memang keluar istana malam ini, tapi bukan untuk melakukan hal yang mencurigakan. Sebenarnya, aku menemui seorang tabib. Sejak sore hari, perutku terasa tak nyaman, dan aku tidak ingin membuat Baginda khawatir. Kau tau sendiri kan, Baginda sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya dengan masalah kesehatanku. Aku tau ini tidak sopan karena tidak meminta izin terlebih dahulu, tapi aku hanya ingin memastikan kesehatanku tanpa mengganggu Baginda.”
Mata Mansur kembali menyipit, menatap Esma dengan curiga. Ada keraguan yang jelas terpancar dari sorot matanya, seolah dia belum bisa mempercayai sepenuhnya penjelasan wanita di hadapannya. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih menyimpan tanda tanya besar.
Dan Esma menyadari ekspresi keraguan itu.
“Mansur Ağa, jika kau tidak percaya padaku ... silahkan saja tanyakan pada tabib yang kutemui. Aku yakin dia akan membenarkan perkataanku,” ujar Esma mantap.
Bagaimana tidak, sebelum melancarkan aksinya mengirim panah peringatan ke balkon Baginda, Esma memang telah menyempatkan diri menemui seorang tabib. Dengan wajah pucat yang dibuat-buat dan keluhan ringan tentang perutnya yang keram, ia berhasil meyakinkan sang tabib untuk memeriksanya. Pertemuan itu bukan hanya sekadar formalitas, melainkan bagian dari rencana Esma untuk menciptakan alibi yang sempurna. Ia memastikan sang tabib mengingat kedatangannya, sehingga jika ada yang bertanya, tabib tersebut dapat membenarkan bahwa Esma memang sedang tidak enak badan dan mencari pengobatan. Dengan begitu, Esma selangkah lebih maju dalam menutupi jejaknya.
Setelah percakapan yang menegangkan, Mansur tidak membuang waktu. Dengan langkah cepat, ia mendatangi tabib yang disebut oleh sang Hatun. Benar saja, tabib itu membenarkan bahwa Esma telah datang untuk memeriksakan kesehatannya malam itu, mengeluhkan perutnya yang keram.
Mansur menghela napas berat. Informasi itu semakin membuatnya frustrasi. Setelah mendapatkan jawaban yang sama dari tabib, Mansur berjalan menjauh, tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya.
“Ah, rubah licik itu,” gerutunya kesal. “Aku yakin sekali kalau dia pelakunya, tapi bagaimana caranya membuktikan ini?”
...***...
Beberapa bulan kemudian.
Di kamar pribadi Baginda Bey Murad, suasana terasa hangat dan intimm. Meja bundar kecil ditata dengan indah, beserta beberapa menu yang menggugah. Esma duduk di seberang Baginda, gaun sutra hijaunya berkilauan dalam cahaya redup, perutnya yang mulai membesar tersamar dengan elegan di balik balutan gaunnya.
Bey Murad menatap Esma dengan tatapan penuh kasih sayang. Ia menuangkan anggur ke gelasnya, lalu menawarkan sari buah delima segar kepada Esma. “Malam ini kau terlihat sangat cantik, Kekasihku,” ucapnya dengan suara lembut yang membuat hati Esma berdesir.
Esma tersenyum, rona merah langsung menghiasi pipinya. “Mungkin, ini dampak dari kasih sayang yang selalu hamba dapatkan dari Anda, Baginda,” jawabnya malu-malu.
Bey Murad mengulas senyuman hangat seraya menggenggam lembut tangan Esma di atas meja. “Aku sangat bersyukur memilikimu di sisiku, dan bayi yang kau kandung adalah anugerah terindah untukku.”
Sepanjang makan malam, Bey Murad terus memanjakan Esma dengan perhatiannya. Ia menyuapinya dengan hidangan terbaik, menceritakan kisah-kisah lucu untuk membuatnya tertawa, dan memuji kecerdasan serta keanggunannya. Esma merasa seperti ratu, dicintai dan dipuja oleh pria paling berkuasa di kerajaan. Ia tau, posisinya di istana semakin kuat, dan tidak ada yang bisa menggoyahkannya.
Suasana romantis itu tiba-tiba terganggu oleh ketukan pintu. Bey Murad mengerutkan kening, sedikit kesal karena gangguan kecil ini.
“Masuk,” ucapnya tegas.
Seorang pengawal memasuki ruangan, menunduk hormat. “Baginda, hamba membawa kabar dari tempat pengasingan.”
Bey Murad menghela napas pelan, lalu menatap Esma seolah meminta maaf atas gangguan ini. “Katakan,” titahnya kepada pengawal.
“Baginda, Yasmin Hatun telah melahirkan seorang putra,” lapor pengawal tersebut.
Seketika, suasana di ruangan itu berubah. Senyum di wajah Esma memudar, digantikan oleh ekspresi yang sulit dibaca. Sementara itu, Bey Murad tampak terkejut, lalu raut wajahnya berubah menjadi serius.
“Lalu?” tanyanya seakan mengerti masih ada hal lain yang ingin disampaikan.
Pengawal itu menunduk lebih dalam. “Baginda, ada kabar lainnya. Safiye, dayang yang mengurus semua keperluan Yasmin Hatun, dikabarkan melarikan diri dari pengasingan, beberapa saat setelah persalinan.”
“Melarikan diri?!”
*
*
*
aku suka peran wanita yg gk menye menye 🤭🤭
gk suka yg drama indosiar dkit dikit meewekk
sadr diri