NovelToon NovelToon
Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Balas dendam pengganti
Popularitas:374
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Gena Febrian pernah mengambil resiko untuk kehilangan segalanya demi seorang Indri, perempuan yang Ia cintai namun perempuan itu malah meninggalkannya untuk orang lain. Semenjak saat itu Ia bersumpah akan membuat hidup Indri menderita. Dan kesempatan itu tiba, Indri memiliki seorang anak sambung perempuan. Gena c akan menemukannya, membuatnya jatuh cinta padanya, dan kemudian dia akan menghancurkannya.

Sally Purnama seorang staff marketing dan Ia mencintai pekerjannya dan ketika seorang client yang dewasa dan menarik memberi perhatian padanya Ia menaruh hati padanya.

Tak lama kemudian dia menerima ajakan Gena, lalu ajakan lainnya. edikit demi sedikit, Genamengenal perempuan yang ingin ia sakiti, dan ia tidak bisa melakukannya. Dia jatuh cinta padanya, dan Sally jatuh cinta padanya.

Tapi-dia telah berbohong padanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terjebak. Saat Sally menemukan kebenaran, dia patah hati. Pria pertama yang sangat dia cintai telah mengkhianatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Berisiknya suara pembangunan yang dilakukan oleh para tukang terdengar jelas di telinga Sally. Suara palu bertalu-talu dan bor listrik yang meraung-raung sejak pagi membuat kepalanya terasa berdenyut. Wanita itu memijat pelipisnya sambil menyandarkan tubuh di sofa ruang keluarga.

Hari itu terasa seperti racikan sempurna dari ketidaknyamanan. Selain suara bising yang memekakkan telinga, pekerjaan di kantor juga belum selesai, dan ia masih harus meluangkan waktu untuk membimbing Lula—anak baru yang belum paham apa-apa. Beban di pundaknya terasa menumpuk.

"Aduh... Ibu, kepala aku sakit banget!" keluh Sally sambil meremas ujung keningnya. Wajahnya tampak pucat, matanya lelah. "Itu pembangunan rumah di sebelah belum selesai juga ya?"

"Belum sayang, katanya dua minggu lagi baru selesai. Kenapa sih? Terlalu berisik ya?" Indri, ibu sambung Sally, menjawab dari dapur sambil membawa segelas teh hangat.

Sally mengerang pelan. Ia menepuk jidatnya, mencoba tetap sabar. Dua minggu mendatang tampaknya akan menjadi neraka kecil bagi gendang telinganya.

"Iya, kepala aku sakit, Bu. Kurang tidur juga. Suara mereka tuh... kayak orkestra tukang tanpa jeda."

Indri mendudukkan dirinya di samping Sally, mengelus punggung anaknya pelan. "Sabar ya, Sa. Mereka juga cari rezeki."

Sally menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Iya, aku tahu. Aku juga enggak enak ngeluh terus. Cuma... rasanya kepala aku mau pecah.”

"Jadi kamu tetap masuk kerja hari ini?" tanya Indri, nada suaranya mengandung kekhawatiran.

Sally memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali sambil tersenyum tipis. "Aku tetep masuk kerja, Bu. Nanti juga ilang, kalau udah minum obat."

Indri mengerutkan dahi. "Beneran enggak usah masuk dulu aja? Istirahat sehari gitu."

"Ehmmm... Kalau Asa enggak masuk kerja, bisa ribet nanti di kantor. Nanti malah kerjaan numpuk. Apalagi Mbak Yeni entar koar-koar. Hii... ngeri aku bayanginnya."

Indri tertawa kecil mendengar keluhan Sally yang disampaikan dengan gaya khas lebay-nya. “Asa lebay banget. Separah itu ya suasana kantormu?”

"Waduh, Ibu enggak tau medan perangku." Sally tertawa lesu. “Nih ya, Mbak Yeni itu, dia suka menjilat. Paham enggak Bu artinya?”

Indri menggeleng. Sally melanjutkan, “Dia suka cari muka ke atasan, tapi giliran kerjaan berat, dia lepas tangan. Aku enggak ngerti kenapa dia selalu kayak enggak suka sama Asa. Udah gitu, aku juga harus ngajarin Lula. Anak baru. Fresh graduate. Salah mulu.”

Indri mendengarkan dengan penuh perhatian. “Dulu kamu juga anak baru, masih banyak salah. Kamu yang sabar ya. Jangan nyerah dong, anak Ibu yang hebat.”

Sally tersenyum. Semangatnya perlahan kembali. “Iya, Bu. Aku sabar kok. Timku ada lima orang, termasuk aku. Untungnya ini bidang kerja yang aku suka. Kalau enggak suka? Wah, aku udah tumbang dari minggu lalu.”

Obrolan itu memberi Sally sedikit ketenangan. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena ia tahu ada seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.

"Oh iya, hari ini Ayah kamu enggak pulang, Sa. Dia harus lembur di Rumah Sakit," ujar Indri, nada suaranya berubah pelan.

"Kenapa enggak pulang?" tanya Sally, menyandarkan kepalanya di bahu Indri.

"Katanya banyak kecelakaan lalu lintas. Jadi Ayah kamu harus turun tangan langsung. Ibu jadi kesepian, nih." Indri membuka tangan, minta peluk.

Sally tersenyum dan memeluknya erat. “Untung aja aku enggak jadi dokter. Capek banget pasti hidup kayak Ayah.”

"Asa… Ayah kamu itu mulia lho kerjanya. Dia udah ambil risiko tinggi buat nyelametin nyawa orang.”

“Iya, aku tau. Tapi... karena jadi dokter, Ayah jadi jarang kumpul sama kita. Ibu enggak apa-apa?”

Indri tersenyum. Ada kesedihan kecil yang terlihat di matanya, tapi ia sembunyikan baik-baik. “Ibu enggak papa, sayang. Selama Ayah kamu bisa bantu orang, Ibu ikhlas.”

Sally mengangguk pelan. Lalu ia bangkit, mencium pipi ibunya.

“Yaudah, Bu. Aku mandi dulu ya, habis itu makan, minum obat, terus siap-siap berangkat.”

"Gimana, udah selesai?" Yeni langsung menyambut Sally dengan nada sinis saat ia baru saja menginjakkan kaki di kantor.

Sally menghela napas panjang. Kepalanya masih berdenyut, dan pertanyaan itu hanya memperparah semuanya.

“Aku enggak salah denger, Mbak? Ini baru juga beberapa hari. Kita cuma kerja berdua doang, aku sama Lula.”

Yeni menyeringai. "Kemarin lu bilang mau ngerjain sendiri, kan? Harusnya tiga hari juga kelar dong."

Sally mengepalkan tangan. Tapi ia menahan diri. “Kapan saya bilang begitu? Ini kan udah dibagi kerjanya. Tapi yang kerja cuma dua orang. Udah deh Mbak, pagi-pagi jangan bikin ribut.”

Ia pergi, meninggalkan Yeni sebelum mulutnya ikut lepas kendali.

Pagi itu, Sally keluar dari kantor. Langit cerah, angin berhembus pelan. Ia berjalan pelan menyusuri trotoar depan kantor, mencoba menenangkan pikirannya.

Dan dari kejauhan, ia melihat Gena—bersepeda seperti biasa. Senyuman muncul di bibir Sally. Matanya mengikuti gerak Gena, hingga ia tidak sadar kakinya tersandung pembatas jalan.

"Awasss!!!" Gena berteriak dari kejauhan.

Roda sepeda melaju cepat, dan hanya berhenti satu sentimeter dari tubuh Sally yang terduduk di trotoar. Jantung Sally nyaris copot.

“Kamu ngapain, mepet di tengah jalan begitu?” Gena berkacak pinggang, napasnya memburu.

“Maaf Pak Gena, saya kurang fokus, karena kepala saya sakit,” bohong Sally sambil merapikan rambutnya yang kusut.

Gena mendesah, tapi nada bicaranya melunak. "Tapi kamu enggak apa-apa, kan?"

“Iya, Pak Gena. Maaf banget.”

“Yaudah, saya antar kamu ke dalam. Jangan ngerepotin orang lain cuma karena maksa masuk kerja pas sakit.” Gena menggeleng.

Sally tertawa kecil, lalu berkata lirih, “Terima kasih, Pak Gena.”

Hari yang kacau… tapi dengan Gena di sisinya, ada sedikit harapan untuk menjadi lebih baik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!