Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Sudah lima hari berlalu sejak Clara, Matteo, dan Dewi dikurung di bawah tanah vila Rafael. Cahaya lampu remang-remang menjadi satu-satunya penunjuk waktu mereka. Makanan datang sekali sehari, cukup untuk bertahan, tapi tidak cukup untuk merasa hidup.
Clara duduk menyandar di sudut sel bersama Matteo. Bajunya kumal, rambutnya kusut, dan matanya sembab karena terlalu sering menangis. Matteo duduk diam di sebelahnya, memegangi bahu Clara sambil menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah yang semakin mencekik tiap harinya. Di sel sebelah, Dewi duduk memeluk lututnya. Suara tangisnya tak lagi terdengar sejak hari ketiga. Ia belajar menyimpan air mata. Tapi tubuhnya masih gemetar, seolah setiap detik di sini adalah siksaan tak kasat mata.
Tiba-tiba...
GERTAKAN BESI.
Suara pintu besi besar di ujung lorong terbuka. Langkah kaki bergema, berat, penuh kekuasaan. Dua pria berbadan besar. anak buah Rafael. muncul dari balik kegelapan. Mereka menggiring seseorang.
Clara langsung menegakkan tubuhnya.
Matteo menyipitkan mata. “Apa itu… orang?”
Dewi berdiri terguncang, menggenggam jeruji besi selnya.
Pria itu… hampir tidak bisa dikenali sebagai manusia. Tubuhnya berlumuran darah, bajunya robek, kulitnya penuh luka dan memar yang tampak baru dan lama bertumpuk. Napasnya terputus-putus, satu matanya hampir tertutup oleh lebam.
Para tahanan hanya bisa menatap dengan ngeri saat kedua penjaga menyeret tubuh sekarat itu menuju kandang besar di ujung lorong. kandang kaca tebal dengan besi pengaman berlapis. Lima pasang mata menyala dari dalam kegelapan kandang: harimau.
“Tidak… jangan…” bisik Clara, air matanya jatuh. “Tolong… jangan…”
“Ya Tuhan…” Matteo memundurkan tubuh, nyaris muntah.
Dewi mengguncang jeruji selnya, “Apa yang kalian lakukan?! Dia masih hidup!”
Namun, tidak ada yang mendengar. Atau, lebih tepatnya, tidak ada yang peduli.
CRAK!
Pintu kandang dibuka. Salah satu pria menarik tubuh berdarah itu. masih mengerang lirih. dan melemparkannya ke dalam. Tubuhnya menghantam lantai kandang dengan bunyi keras. Pria itu mencoba bergerak, namun tak sempat.
Auman menggelegar memenuhi lorong. Harimau-harimau Rafael, buas dan lapar, menyerbu. Satu menggigit leher korban, yang lain mencakar punggungnya. Jeritan membuncah dari mulut pria itu. jeritan panjang, menyayat, dan penuh rasa sakit yang tak bisa diungkap kata.
Clara menjerit. Matteo menutup telinga dan menunduk. Dewi menatap tak berkedip, air matanya jatuh satu per satu, tapi tubuhnya membeku.
Jeritan itu terus terdengar.
Lima… sepuluh detik…
Hingga perlahan… hanya ada suara kunyahan dan auman rendah. Suara kehidupan yang dicabik dari tubuh manusia… dan dibawa pergi oleh binatang.
Clara menutup wajahnya. “Kita akan mati di sini,” bisiknya. “Dia akan bunuh kita semua.”
Dewi berusaha mengatur napas, matanya kosong, namun pikirannya berputar.
“Tidak… belum. Belum sekarang,” ucapnya pelan, pada dirinya sendiri. “Dia sedang bermain. Dan permainan ini… belum selesai.”
Matteo bangkit dari lantai, menahan mual. “Itu… itu siapa?” suaranya bergetar. “Siapa yang dia bunuh?”
Tak ada yang menjawab. Karena tidak ada yang tahu. Dan yang lebih mengerikan… mereka tahu, bisa jadi, mereka yang berikutnya.
Langkah kaki penjaga menjauh. Pintu besi kembali tertutup dengan bunyi berat. Hening kembali menguasai lorong. Namun hening itu tak seperti sebelumnya. Kini, ia membawa rasa dingin yang merambat ke tulang.
Lalu, suara mikrofon kembali menyala.
Suara Rafael terdengar dari speaker di langit-langit. Dingin. Tenang. Tapi mengandung ancaman yang membuat jantung serasa diremas.
“Kalian lihat, bukan? Apa yang terjadi pada mereka yang menjadi penghianat.”
Clara menggigit bibirnya.
Rafael melanjutkan, “Satu kata saja, satu langkah saja… dan harimau-harimauku akan tahu kalian sudah siap.”
Klik. Suara mati.
Dewi memejamkan matanya. Ia harus berpikir. Harus mencari celah.
Karena kini ia sadar sepenuhnya…
Rafael tidak main-main.
Dan jika mereka tidak menemukan cara keluar… mereka akan menjadi berikutnya di dalam kandang.
...
Malam itu, lorong bawah tanah terasa lebih dingin dari biasanya. Clara bersandar di dinding sel, mencoba memejamkan mata meski kegelisahan membuatnya sulit tidur. Matteo duduk tak jauh, pandangannya kosong mengarah ke jeruji besi.
Tiba-tiba…
LANGKAH KAKI.
Clara dan Matteo segera menoleh ketika suara itu terdengar makin dekat. Dua penjaga berbadan besar muncul dari kegelapan. Tanpa sepatah kata pun, mereka membuka sel tempat Dewi dikurung. Lampu temaram menggambarkan ekspresi bingung dan takut di wajah Dewi saat kedua pria itu masuk dan menarik lengannya. Tangannya diikat kasar di belakang punggung.
“Hey! Mau dibawa ke mana dia?!” teriak Matteo, berdiri dan mengguncang jeruji selnya.
“Jangan sentuh dia!” Clara ikut panik.
Namun, tak ada yang menjawab. Para penjaga tetap diam, menyeret Dewi keluar sel. Gadis itu menoleh ke arah Clara dan Matteo dengan tatapan bingung dan takut, namun ia tak sempat berkata apa pun sebelum pintu sel ditutup kembali. Suara langkah mereka menjauh, meninggalkan kesunyian penuh tanya.
“Ke mana mereka membawanya…?” bisik Clara.
Matteo menggeleng pelan, ekspresinya tegang. “Entah… tapi aku punya firasat buruk.”
...
Di tempat lain, sebuah kamar luas berdiri megah di lantai atas vila Rafael. Langit malam yang muram tampak dari balik jendela besar. Dinding-dinding kamar dihiasi lukisan-lukisan abstrak dengan nuansa gelap dan penuh interpretasi aneh. seolah ruangan itu memancarkan kegilaan yang tenang. Lampu gantung berkilau lemah di langit-langit, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding.
Di tengah ruangan, Rafael duduk di sebuah sofa kulit hitam, kakinya disilangkan, dan menyilangkan kedua tangannya di dada. Tatapannya kosong menembus kegelapan, menunggu.
KETUKAN PINTU.
Dua anak buahnya masuk, menyeret Dewi yang terikat. Mereka membungkuk pelan, lalu meninggalkan ruangan begitu saja setelah mendorong tubuh Dewi ke dalam kamar. Pintu tertutup. Hening.
Dewi terhuyung beberapa langkah sebelum bisa menegakkan tubuh. Ia mengangkat kepalanya perlahan. Matanya bertemu dengan tatapan Rafael. dingin, tajam, tak terbaca. Tubuhnya gemetar, tapi ia mencoba tetap berdiri tegak.
Rafael tidak langsung berbicara. Ia menatap Dewi seakan sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan nada tenang dan datar, ia berkata,
“Kau tahu kenapa kau ada di sini?”
Dewi menggeleng perlahan.
Rafael bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati Dewi. Langkahnya pelan tapi mantap. Ia berhenti tepat di hadapan gadis itu.
“Mulai malam ini,” katanya, matanya tak berkedip,
“kau adalah milikku.”
Dewi menahan napas. Matanya membelalak. “A… apa…?”
Rafael tidak menjawab. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah meja di dekat jendela. Di atasnya, sebuah kotak perhiasan terbuka, seolah sedang menunggu untuk digunakan. Ia mengambil kalung tipis berwarna perak, lalu kembali menghampiri Dewi.
“Kau tidak punya pilihan. Tapi kau bisa memilih… apakah akan membuat ini lebih mudah… atau lebih menyakitkan.”
Dewi menelan ludah. Tangannya masih terikat. Ia tak tahu harus lari atau melawan. Tapi satu hal yang pasti. Rafael tak hanya ingin menaklukkannya secara fisik. Ia ingin menghancurkannya secara perlahan.
“Jika aku mati,” bisik Dewi akhirnya, “aku tidak akan mati sebagai milikmu.”
Senyum tipis muncul di wajah Rafael. “Kita lihat… seberapa lama kau bisa mempertahankan kata-katamu.”
Di lantai bawah, Clara dan Matteo masih duduk gelisah dalam sel. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di atas. Tapi malam itu, entah kenapa… udara di lorong bawah tanah terasa lebih berat. Lebih menyesakkan. Seperti tanda bahwa sesuatu… telah berubah.