"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Pemilik Topi dan Kacamata
Hari-hari di tempat Serena mengajar semakin terasa berat dan menyesakkan. Setiap pagi, ia berusaha menyemangati dirinya, meyakinkan bahwa segala upaya yang telah ia lakukan selama ini adalah demi masa depannya sendiri.
Akan tetapi, semakin lama ia mencoba bertahan, perasaan dan pikirannya justru semakin tertekan. Kejadian terakhir yang dialaminya justru semakin memperburuk hubungannya dengan rekan-rekan guru yang lain. Suasana di lingkungan kerjanya pun terasa semakin canggung, bahkan lebih buruk dibandingkan dengan sebelumnya.
Serena merasa terkucilkan, dan kini ia menyadari bahwa ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Mereka mungkin melupakan apa yang terjadi kemarin, seolah kejadian itu memang tak pernah ada. Tetapi bagi Serena yang menjadi korban di sini, bagaimana bisa melupakan perkataan yang menjurus pada penghinaan itu? Siapapun pasti tidak bisa melupakannya.
Perasaan kesal dan sedih hanya bisa Serena pendam seorang diri.
Satu hal yang membuat Serena semakin muak. Senior yang menghinanya dengan dalih bercanda—tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Jadi, jangan mengharapkan wanita itu akan meminta maaf padanya.
Itu hampir mustahil.
Bahkan, jangan pernah berharap akan terjadi dalam mimpi sekalipun.
Sampai hari ini, Serena masih cukup mampu untuk bertahan di lingkungan kerja yang tidak sehat ini, tapi tidak untuk bertahan lebih lama lagi. Bisa-bisa, dia akan berakhir stres gara-gara banyaknya tekanan dan emosi negatif yang diterima.
Itulah sebabnya, setelah pulang dari mengajar, Serena segera kembali ke apartemennya lebih cepat.
Malam ini, dia sudah membulatkan tekad, yaitu mencari pekerjaan yang baru.
Gadis itu duduk di ranjang tidurnya. Membuka laptop dan mulai menjelajahi peramban web.
Di kolom pencarian, ia mengetikkan kata kunci berupa Lowongan Pekerjaan.
Beberapa detik kemudian, hasil pencarian muncul, menampilkan berbagai opsi pekerjaan kantoran dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.
Ia pun menggulir layar dengan hati-hati, membaca satu per satu deskripsi pekerjaan yang tertera.
Setelah butuh waktu yang tidak sedikit untuk melakukan pencarian ke sana kemari, ia berhenti di sebuah iklan pencarian karyawan untuk bagian staf admin di sebuah perusahaan start-up bernama "Artivi Studio".
Perusahaan tersebut memiliki foto profil berupa logo yang modern dan klasik—yang diambil dari inisial Artivi Studio, yaitu AS.
Saat melihat logo itu, Serena cukup merasa terusik.
Logo itu terlihat tidak asing. Sepertinya, dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Tapi di mana dan kapan, itu yang tidak dia ingat.
Cukup lama ia menggali memori di kepalanya. Tiba-tiba ia teringat dengan topi yang diberikan oleh seseorang yang misterius beberapa waktu lalu.
Gadis itu sontak bangkit dari tempat duduknya. Untuk memastikan ingatannya, ia segera mengambil topi yang dimaksud, dan hasilnya benar-benar di luar dugaan.
Logo pada foto profil perusahaan itu dan bordiran yang ada di topi, benar-benar terlihat sama persis.
"Kebetulan macam apa ini?" bisik Serena tak percaya.
Dunia ini memang benar-benar sempit. Seperti itulah yang Serena pikirkan saat ini.
Dia memandangi bordiran di topi itu sekali lagi, dan rasa penasaran semakin menyeruak. Ada rasa malu juga di sana, mengingat betapa konyol keadaannya waktu itu.
Menangis di tempat asing, saat membuka mata, sudah ada topi dan kacamata di dekatnya. Seperti ada peri baik hati yang memantaunya selama ini.
Serena jadi penasaran dengan sosok di balik pemilik topi ini. Apakah dia orang yang sama dengan pemilik perusahaan ini?
Untuk mengetahui jawabannya, Serena memutuskan untuk melamar ke perusahaan itu terlebih dahulu. Berjalan seiring waktu, dia pasti akan menemukan jawabannya nanti.
Karena yang paling penting dan yang paling utama untuk Serena lakukan adalah mendapatkan pekerjaan secepat mungkin. Supaya dia bisa keluar dari tempat kerja yang toxic itu.
Baiklah. Kembali ke Artivi Studio.
Artivi Studio saat ini sedang mencari seorang admin dengan jam kerja yang teratur dan terbilang normal. Benefit yang ditawarkan juga cukup menggiurkan. Tanpa membuang banyak waktu, Serena segera mencatat nomor WhatsApp yang tertera di iklan tersebut, lalu mengirimkan pesan dengan nada sesopan mungkin.
[Selamat malam, saya Serena. Saya tertarik dengan lowongan admin yang diiklankan. Apakah posisi ini masih tersedia?]
Pesan terkirim. Serena terus menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Dia sangat berharap, orang yang menerima pesannya ini segera membalas secepat mungkin.
Ting!
Satu pesan balasan masuk. Serena membukanya dengan cepat, dan membaca isi dari pesan yang dikirimkan.
[Selamat malam, Serena. Posisi ini masih tersedia. Terima kasih sudah menghubungi. Silakan kirim CV Anda ke nomor ini. Atau, kamu bisa langsung datang ke toko kami. Saya akan share lokasinya.]
[Terima kasih atas informasinya, Bapak/Ibu. Saya akan mengirimkan CV saya untuk ditinjau secara langsung ke kantor Bapak.]
Setelah mengirim balasan singkat itu, Serena menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang dingin dengan perasaan puas.
Jantungnya saat ini berdegup dengan kencang, dipenuhi euforia karena sebentar lagi ia akan segera meninggalkan pekerjaan lamanya, dan mendapatkan pengganti yang lebih baik.
Meskipun, masih ada satu masalah yang sulit diabaikan. Ini soal pemilik topi dan kacamata.
Tapi, ya udahlah. Mending pura-pura bodo amat aja, daripada harus berlama-lama di tempat kerja yang cuma memberikan banyak penyakit itu!
Terlebih lagi, Serena sudah membulatkan tekad!
"Tanggalkan semua rasa malu!" ucapnya pada diri sendiri.
Lagi pula, orang gila mana yang mau melepaskan kesempatan emas seperti ini? Artivi Studio adalah batu loncatan yang selama ini ia idam-idamkan, jalan keluar untuk membebaskan diri dari tempat kerjanya yang kini sudah seperti neraka. Penuh tekanan dan sangat menyesakkan.
***
Beberapa hari kemudian, Serena akhirnya mendapat panggilan untuk melakukan wawancara. Lokasinya ternyata tidak jauh, tepat di gedung sebelah tempatnya tinggal. Hari itu, ia memutuskan untuk izin tidak masuk kerja demi menghadiri wawancara tersebut.
Detik ini, Serena berdiri di depan pintu kaca bertuliskan Artivi Studio.
Perasaan Serena saat ini benar-benar tak karuan. Dia merasa sangat gugup sekaligus antusias.
Entah yang mana dari kedua perasaan itu yang mendominasi. Tapi yang pasti, Serena berharap semuanya berjalan dengan lancar.
Saat Serena sedang menenangkan diri sekaligus merapikan pakaiannya sekali lagi, terdengar seseorang memanggil namanya.
"Permisi?" Suara itu berasal dari arah belakang punggung Serena.
Serena lantas menoleh, dan mereka sama-sama terkejut saat saling bertatap muka.
"Kamu? Pria yang di lift waktu itu, kan?"
Pria itu mengangguk sambil tersenyum kecil. "Betul. Ternyata kita ketemu lagi di sini. Kamu mau melamar pekerjaan?"
"Iya," jawab Serena, masih sedikit heran dengan pertemuan yang sangat kebetulan ini. Dunia memang begitu sempit, ya. "Apa kamu kenal dengan bosnya?" tanya Serena lebih lanjut.
"Saya kenal," balas pria itu ramah. "Kebetulan saya juga kerja di sini. Ayo, sekalian saya antar ke ruang wawancara."
Serena melangkah masuk, mengikuti Adhan dari belakang. Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung fokus pada interior ruangan yang terasa segar, unik, kreatif, tapi tidak meninggalkan kesan rapi dan terorganisir.
Dinding ruangan dihiasi mural bergaya botanical modern. Gambar-gambar dedaunan tropis dengan sapuan warna hijau lembut dan aksen earthy tones menghiasi dinding, menciptakan suasana yang menenangkan tapi tetap estetik.
Beberapa elemen grafis menjadi background yang memanjakan mata—ikon layout, palet warna, hingga tipografi simpel. Ruangan ini terasa seperti perpaduan antara studio desain dan kafe kekinian.
Di salah satu sisi ruangan, ada rak kayu yang menampilkan portofolio cetak—seperti buku tahunan, brosur, poster, hingga undangan pernikahan.
Di sisi lainnya, tampak sebuah ruangan terpisah yang dindingnya terbuat dari kaca transparan tebal. Dari luar, Serena bisa melihat area operasional itu dengan jelas. Ada seseorang yang sedang sibuk di depan layar komputer yang terlihat seperti sedang mendesain sesuatu.
Di area lantai satu ini, ruangan itu terlihat sangat sibuk.
Dinding kaca yang transparan memberikan kesan terbuka, membaurkan batas antara tim kreatif dan pelanggan, seolah mengajak siapa pun yang melihat untuk ikut menyelami proses di balik terciptanya setiap karya desain.
Lampu-lampu gantung bergaya industrial menyinari area kerja, sementara tanaman kecil di sudut-sudut ruangan memberi kesan segar dan bersih. Serena bisa merasakan semangat dan karakter tempat ini—penuh energi seorang anak muda.
Ya. Dia memang masih muda, tapi tempat ini terasa lebih modern dan kreatif baginya.
Menatap sekitarnya dengan perasaan kagum, Serena tidak menyangka, pria muda seperti Adhan sudah berhasil membangun tempat usaha sebesar, dan sekeren ini. Pasti modal yang dibutuhkan tidaklah sedikit.
"Silakan duduk." Suara Adhan memecah lamunan Serena, menariknya kembali ke dunia nyata.
Serena berkedip beberapa kali, masih berusaha mencerna kenyataan yang kini terpampang di hadapannya. Siapa sangka, pria yang sempat ia temui di lift—yang ternyata adalah tetangganya sendiri—justru orang yang akan mewawancarainya hari ini.
Sekali lagi. Dunia rasanya sempit sekali.
Sedikit canggung, Serena akhirnya menarik napas dan duduk di kursi yang tadi ditunjuk oleh Adhan.
"Boleh saya lihat berkasnya terlebih dahulu?" tanya pria itu.
Serena langsung menyerahkan berkas di tangannya dengan cepat.
Melihat kegugupan Serena yang begitu jelas, Adhan hanya tersenyum tipis. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke map di tangannya, membuka dan memeriksa berkas-berkas di dalamnya untuk mengetahui identitas kandidat yang akan diwawancarainya hari ini.
"Serena Azura Auliana," ucapnya, membaca nama yang tertera di dokumen.
"Ya, benar," jawab Serena pelan.
Adhan menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tenang, "Saya akan mulai wawancaranya sekarang. Kamu nggak perlu terlalu tegang, Serena."
Sambil berkata demikian, ia membuka lembaran berkas yang sebelumnya diserahkan oleh Serena, bersiap memulai sesi wawancara.
"Baik," jawab Serena, mencoba tersenyum kecil.
"Kamu punya pengalaman mengajar selama dua tahun, ya?" tanya Adhan.
"Betul, saya sudah dua tahun bekerja di sebuah yayasan sebagai seorang pengajar."
Adhan mengangguk. "Itu bagus. Tapi untuk pekerjaan admin di sini, kemampuan mengatur dokumen dan data lebih dibutuhkan. Apakah kamu punya pengalaman atau pernah mengelola hal seperti itu?"
"Saya pernah membantu administrasi di tempat kerja sebelumnya, seperti rekap data siswa dan laporan bulanan. Mungkin tidak sering, tapi saya cukup terbiasa dan percaya diri dengan pekerjaan seperti itu." Serena menjawab dengan percaya diri.
"Kenapa kamu tertarik bekerja di sini?" tanya Adhan lagi, tatapannya mengunci mata Serena.
"Saya sedang mencari lingkungan kerja yang lebih mendukung dan sesuai dengan kemampuan saya. Selain itu, saya ingin belajar hal baru dan mengembangkan diri."
Adhan mengangguk, puas dengan jawabannya. Ia menutup CV itu dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Sejujurnya, CV-mu cukup baik untuk posisi ini. Tapi saya ingin memastikan satu hal. Apakah kamu siap beradaptasi dengan sistem baru? Seperti yang kamu lihat, di sini bukan yayasan seperti tempat kamu kerja sebelumnya."
Serena mengangguk dengan yakin. "Saya siap."
Adhan menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Baik. Kamu diterima."
Serena membelalakkan mata, kaget dengan keputusan Adhan yang langsung menerimanya saat itu juga.
"Alhamdulillah! Terima kasih!" serunya dengan nada senang.
Adhan menyunggingkan bibirnya melihat tingkah Serena, dan dia tidak menyadari itu sama sekali.
"Kamu bisa mulai besok kalau sudah siap. Tapi sebelum itu ..." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai. "Saya minta maaf kalau sebelumnya saya nggak menyapa kamu dengan benar. Saya tahu kita tetangga, tapi ... saya nggak terlalu terbiasa menyapa orang lain."
"Tidak apa-apa. Saya juga nggak terlalu sering ngobrol dengan tetangga sekitar. Ya, karena kita pasti punya kesibukan masing-masing," maklum Serena, karena dia pun juga sama seperti itu.
Adhan tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih hangat. "Baik. Kalau begitu, sampai jumpa besok, Serena."
Serena hampir bangkit dari kursi, tetapi kemudian teringat sesuatu. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah topi dan kacamata.
"Saya melupakan sesuatu ..." Serena mengulurkan kedua benda itu. "Ini milik Anda, kan?"
Adhan tertegun sejenak, matanya terfokus pada topi dan kacamata yang ditunjukkan Serena. Pandangannya secara bergantian beralih pada gadis itu, lalu kembali ke arah benda di tangannya. Siapa sangka, gadis misterius yang ia temui di taman baca beberapa waktu lalu, ternyata adalah Serena.
Setelah beberapa detik, ia mengangguk perlahan. "Iya, itu milik saya."
Serena merasa wajahnya memanas. Pipinya bersemu merah karena malu. Dia jadi teringat dengan keadaannya yang menyedihkan saat menangis di taman baca tempo hari.
"Berarti ... waktu itu, Anda yang—"
Adhan tidak membiarkan Serena menyelesaikan kalimatnya. "Melihatmu menangis?" potongnya. "Iya, saya melihatnya. Tapi saya tidak punya maksud lain. Saya hanya berpikir kamu pasti akan sangat membutuhkan topi dan kacamata ini."
Serena menunduk, rasa malu menyeruak di dadanya. "Terima kasih atas kebaikan Anda. Saya sangat terbantu dengan kedua benda ini. Suatu hari nanti, saya pasti akan membalasnya."
Adhan menatap Serena dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Sama-sama. Tapi, tidak perlu sampai seperti itu. Saya niat membantumu dengan ikhlas. Kamu juga nggak perlu mengembalikan topi dan kacamata itu. Kamu bisa menyimpannya."
Serena hanya tersenyum mendengarnya, lalu mengulurkan topi dan kacamata itu ke Adhan sekali lagi.
"Tapi saya merasa tidak nyaman menyimpan barang yang bukan milik saya terlalu lama. Ini adalah milik Anda, jadi sudah sewajarnya bagi saya untuk mengembalikan barang milik Anda."
Adhan tertegun. Ia sebenarnya tidak berharap Serena akan mengembalikan barang-barang itu. Sebagian dari dirinya bahkan berpikir benda-benda itu lebih baik berada di tangan Serena, sebagai pengingat kecil akan pertemuan mereka. Namun, ia tahu bahwa meminta seorang gadis menyimpan barang milik orang asing mungkin akan terasa aneh.
Dengan berat hati, Adhan akhirnya menerima kedua benda itu. "Terima kasih sudah menjaganya dengan baik."
Serena mengangguk singkat, lalu merapikan tasnya. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Sampai bertemu besok."
Adhan hanya menjawab dengan anggukan dan senyum kecil, tetapi pandangannya tetap mengikuti Serena yang berjalan keluar dari kantornya.
Saat gadis itu benar-benar menghilang dari pandangan, ia menghela napas panjang. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya, tetapi ia menepisnya dengan cepat.
"Serena. Jadi, gadis itu adalah Serena. Dunia ini terlalu kecil. Ini benar-benar gawat," gumam Adhan dalam hati.
Sejujurnya, Adhan merasa sedikit lega setelah mengetahui identitas gadis misterius yang ia temui di taman baca Lily tempo lalu. Namun, di balik kelegaan itu, ada kegelisahan yang mengusik hatinya. Bagaimana tidak? Ia sudah jatuh hati pada gadis itu, sementara Serena ternyata sudah memiliki kekasih.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025