Dewi Ular Seosen 3
Angkasa seorang pemuda yang sudah tak lagi muda karena usianya mencapai 40 tahun, tetapi belum juga menikah dan memiliki sikap yang sangat dingin sedingin salju.
Ia tidak pernah tertarik pada gadis manapun. Entah apa yang membuatnya menutup hati.
Lalu tiba-tiba ia bertemu dengan seorang gadis yang berusia 17 tahun yang dalam waktu singkat dapat membuat hati sang pemuda luluh dan mencairkan hatinya yang beku.
Siapakah gadis itu? Apakah mereka memiliki kisah masa lalu, dan apa rahasia diantara keduanya tentang garis keturunan mereka?
ikuti kisah selanjutnya.
Namun jangan lupa baca novel sebelumnya biar gak bingung yang berjudul 'Jerat Cinta Dewi Ular, dan juga Dunia Kita berbeda, serta berkaitan dengan Mirna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
"Heeem, baiklah, saya akan mencoba mempertimbangkan segalanya," jawab Angkasa dengan dingin, namun berusaha untuk menahan deguban dijantungnya yang memburu.
"Baik, Pak. Tapi jangan sampai saya yang dipersalahkan, salahkan saja Bapak kenapa sampai dikejar-kejar oleh Kavita, jangan bawa-bawa saya dalam masalah ini," Dewi Pandita tampak kesal, dan ia ingin segera pergi dari ruangan tersebut.
"Saya akan mencoba menyelamatkanmu, tetapi sebagai hukumannya, kamu harus bersihkan ruangan saya," sepertinya Angkasa mulai mencari - cari kesempatan yang ada.
Dewi Pandita membolakan kedua matanya. Ia merasa jika sang dosen telah salah memberi hukuman. Ia hanya membela dirinya, lalu mengapa ia yang dihukum.
"Pak, sa--,"
"Sudah, kerjakan sja, atau saya tambahi lagi untuk buat kopi?" ucapnya dengan menaikkan satu alisnya.
Dewi Pandita membuka mulut dengan lebar. Ia menatap geram pada sang dosen. Ia tak suka jika harus mendapatkan hukuman ini, bukankah seharusnya keempat mahasiswi itu juga mendapatkan hukuman yang sama? Lalu mengapa hanya ia yang menanggungnya?
"Bapak sangat tidak adil!" protes sang gadis yang semakin membuat Angkasa gemas dibuatnya.
"Pilih bersihkan ruangan saya, atau saya buat hukuman yang lebih berat?" ancamnya, dan hal itu membuat Dewi Pandita tak memiliki pilihan lain.
Ternyata selain menjadi dosen, Angkasa juga menjabat sebagai Dekan Fakultas, serta membantu bisnis sang ayah.
Sedangkan kakaknya Samudera memilih mendirikan rumah sakit dikota yang berbeda.
Dewi Pandita mendengus kesal, lalu ia beranjak dari tempatnya. "Bukankah ruangan ini sudah bersih? Lalu apalagi yang harus saya bersihkan?" ia memindai ruangan kerja milik Angkasa. Tak ada debu yang menempel, semua tampak rapih dan bersih, lalu apa yang akan ia kerjakan?"
"Jika begitu buatkan saya kopi dingin," ucap Angkasa dengan santai.
Gadis itu menarik nafasnya dengan sangat berat, lalu menghelanya kasar.
"Makanya, Pak. Jadi orang jangan ketampanan kali, jadi masalah buat diri sendirikan?!" ucap Dewi Pandita kesal.
Dengan memanyunkan bibirnya, ia keluar dari dalam ruangan sang Dekan Fakultas
Mendengar ucapan mahasiswinya, entah mengapa hal itu membuat Angkasa terlonjak girang. Perasaan apa yang saat ini ia rasakan? Kebekuan dihatinya seolah mencair saat bertemu dengan sang gadis.
Dewi Pandita keluar dari dalam ruangan dengan wajah masam. Ia melontarkan sumpah serapah pada Kavita yang sudah membuatnya harus mendapatkan kesialan yang berakhir dengan hukuman.
"Ini semua karena si Kavita yang sudah membuat perkara, dan aku yang harus menanggung akibatnya!" gerutunya sembari berjalan dengan cepat.
Sekitar dua jam lagi, ia ada mata kuliah Hukum Bisnis dan ia harus menyegerakan hukumannya.
Ia menuju kantin. Lalu memesan kopi latte dingin yang diminta oleh sang dosen.
Sembari menunggu pesanannnya, ia terus menatap arlojinya, dan berharap jika masih memiliki waktu untuk mengerjakan proposal yang belum sempat ia selesaikan.
Samar-samar ia mendengar perbincangan dua orang Mahasiswi yang sedang duduk sudut kantin sembari menikmati satu cup dingin juice buah.
"Kenapa ya Pak Angkasa itu kok dingin banget sama perempuan? Padahal banyak yang naksir, dan usianya udah matang untuk berumah tangga, siapa sih yang ditunggunya?" ucap seorang gadis yang terlihat cukup cantik.
Rambut lurus sepunggung, ditambah softlens berwarna coklat muda menambah pesona penampilannya.
"Mungkin nungguin jodohnya yang belum lahir," sahut rekan bicaranya.
Dewi Pandita mengerutkan keningnya. Ia merasa sangat tak percaya jika pria yang saat ini sedang memberikan hukuman padanya sudah berusia sekitar empat puluh tahun.
"Masa sih? Kirain masih usia dua puluh lima tahun, gak taunya udah kepala empat? Emang wanita seperti apa yang diinginkannya? Terlalu pemilih sekali dia," gadis itu mencebikkan bibirnya.
Tak berselang lama, pesanannya selesai, dan ia membayarnya, lalu kembali ke ruangan Dosen sekaligus Dekan.
"Kenapa gak sekalian sebagai pemilik yayasan saja!" ucapnya dengan kesal.
"Memang beliau pemilik yayasannya," sahut seorang mahasiswi yang berkacamata yang mengekori Dewi Pandita dsri arah belakang.
Ia memperlambat langkahnya, hingga membuat gadis berkacamata mensejajarkan langkah mereka.
"Hey, namaku Shasa." gadis itu mengulurkan tangannya.
Dita menyambut tangan sang gadis, lalu membalas perkenalan tersebut. "Dewi Pandita."
"Aku ingin kita menjalin persahabatan. Tetapi sebelumnya, aku sangat menyukaimu, saat tadi membalas merekan yang sok sebagai penindas," ungkapnya dengan perasaan yang sangat puas saat Dita menghajar para Genk yang sok kecakepan itu.
"Mengapa tidak ada yang berani melawannya?"
"Karena Kavita itu anak pejabat, dan ia selalu melakukan hal keji pada siapa saja yang mencoba menentangnya," sahut Shasa dengan penuh kesal.
"Seharusnya, sebagai anak pejabat, ia mencerminkan sikap yang baik, bukan sebaliknya!" Dewi Pandita ikut kesal.
Ia tak suka kesemena-menaan, apalagi menganggapnya lemah.
"ya, begitu deh." Shasa mengangkat kedua pundaknya, dan tak ingin membahas lebih lanjut. Sebab ia tahu ada banyak telinga yang akan menyampaikan ucapannya.
Dewi Pandita mencoba membaca fikiran sang gadis dari ekspresi wajahnya. Ia melihat jika Shasa sedang menghadapi masalah yang rumit.
"Eh, Dit. Kamu mau kemana?" ia melihat Dita yang mempercepat langkahnya menuju ruangan Dekan Fakultas.
"Nih, karena ulah Kavita tadi. Aku mendapatkan hukuman membeli kopi untuk Pak Dosen!" umpatnya dengan ketus.
Shasa membolakan kedua matanya rasanya tak percaya saat mengetahui pria sedingin salju itu menghukum Dewi Pandita dengan cara seperti itu.
"Masa--Sih?" ia masih merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Iya, menyebalkan!" ucapnya dengan sangat kesal.
"Tapi Pak Angkasa itu gak pernah terlihat berbicara dengan gadis manapun? Bahkan sesama dosen saja, jika itu wanita, ia sangat irit bicara,"
Dewi Pandita tampak tampak bingung. Lalu mengapa pria itu justru sangat bicara saat bersamanya?
"Heeemm, mungkin ia hanya ingin mengerjaiku saja," gumamnya dengan lirih dalam hati.
Ia tiba didepan ruangan sang Dekan. Lalu ia memiliki ide untuk membawa masuk serta Shasa agar pria itu menyudahi hukumannya.
"Apaan, Dit?"
"Udah, nurut saja. Aku tidak mau lagi dikerjain begini," sahut Dewi Pandita.
"Lha, tapi kenapa justru ngerjain aku?" Shasa melakukan protes.
Namun Dewi Pandita tak mendengarkan ucapan sahabat barunya yang merasa keberatan.
Ia mengetuk pintu, dan saat sebuah sahutan menyuruhnya masuk, maka ia membuka pintu dan membawa serta Shasa masuk.
Angkasa menelan salivanya. Ternyata gadis itu tak mudah untuk ditaklukan dan ia menggelengkan kepalanya.
"Ini kopinya, Pak. Saya ada keperluan yang mendadak, biasa, Pak. Panggilan mendesak," ucapnya asal.
Shasa kembali ditarik pergi meninggalkan ruangan untuk menghindari hukuman lainnya.
Shasa yang masih terpaku dengan ketampanan sang Dosen hanya tersenyum cengir kuda, dan tak menyadari jika Dewi Pandita telah membawanya keluar dari ruangan, hingga menutup pintu.
"Tapi Dia emang tampan sekali."gumam Shasa denga n senyum--senyum sendiri.
"Hadeeew..., orang-orang pada kenapa, sih?" ucapnya dengan kebingungan.
aduhh knp g di jelasin sih kannksihan dita nya klo kek gtu ya kann
Dia itu klu gak salah yg tinggal di rumah kosong yg dekat dg rumah orang tua nya Satria yaa , kak ❓🤔