Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI GERBANG SEKOLAH
Langkah Maya terasa berat saat ia menyusuri trotoar sempit menuju gerbang sekolah Nayla. Matahari siang ini tak terlalu terik, tapi hawa panasnya terasa menempel di kulit, bercampur dengan ketegangan yang membuat punggungnya sedikit berkeringat. Sepanjang jalan, ia mengamati orang tua lain yang sudah lebih dulu menunggu, sebagian bercakap-cakap santai, sebagian menatap layar ponsel.
Namun Maya berbeda. Ia tidak tenang. Ada perasaan was-was yang membuatnya tak bisa berdiri diam. Sejak pagi tadi, perasaan itu mengendap seperti kabut pekat—intuisi yang sering muncul sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Tangannya meremas tali tas kecil yang berisi botol minum, cemilan, dan beberapa lembar tisu untuk Nayla. Sementara matanya sesekali menoleh ke arah jalan raya di depan sekolah, seperti mengantisipasi sesuatu yang bahkan ia sendiri tak berani tebak.
"Tenang, Maya… cuma jemput anak. Nggak ada yang aneh," ia membatin, meski otaknya sendiri tak percaya pada kalimat itu.
Bel sekolah akhirnya berbunyi nyaring, diikuti riuh langkah kaki anak-anak yang berhamburan keluar kelas. Pagar besi gerbang sekolah dibuka perlahan, dan suara riang tawa mereka memenuhi udara. Beberapa berlari ke arah orang tua mereka, yang langsung menyambut dengan pelukan hangat.
Maya tersenyum tipis begitu melihat Nayla keluar dari kelas. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya kemerahan karena bermain di jam istirahat, dan senyum kecilnya membuat hati Maya hangat. Ia melambaikan tangan.
"Nayla… sini, Nak," suaranya lembut, mengundang.
Nayla mengangkat wajahnya, matanya berbinar melihat Maya. Ia mulai berjalan cepat, hampir berlari—tapi langkah itu terhenti mendadak ketika suara lain terdengar dari sisi jalan.
“Nayla!”
Suara itu lantang, nyaring, dan membuat jantung Maya seperti berhenti berdetak sepersekian detik. Kepalanya menoleh refleks, dan di sana… sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan sekolah. Dari dalam, Reza turun dengan kemeja putih yang disetrika rapi, wangi parfum mahalnya seakan terbawa oleh angin siang itu.
Bukan hanya Reza. Dari sisi penumpang, keluar seorang perempuan bergaun pastel sederhana namun elegan. Rambut hitam panjangnya ditata rapi, wajahnya cantik, kulitnya cerah, dan senyumnya manis—tapi di balik itu ada tatapan yang sulit diartikan. Maya mengenalnya. Hana.
Istri baru Reza.
“Nayla!” panggil Reza lagi, kini sambil melambaikan tangan seolah tak ada sekat di antara mereka.
Nayla menoleh, ragu, lalu kembali melihat Maya dengan kebingungan di matanya.
Maya berusaha tetap tenang. “Ayo sini, Nak. Mama di sini,” katanya, menahan nada suaranya agar tidak terdengar tegang.
Reza sudah berjalan mendekat, langkahnya santai tapi penuh keyakinan, seperti seseorang yang merasa punya hak penuh di tempat ini. “Aku mau jemput Nayla,” ucapnya begitu sampai di depan Maya. “Kebetulan hari ini kita mau ajak dia makan siang.”
Maya memandangi Reza dengan tatapan tajam. “Kita? Maksud kamu, dengan istri barumu?”
Reza tersenyum tipis, seolah sindiran itu tidak mempan. “Ya. Hana ingin mengenal Nayla lebih dekat. Lagipula, ini juga anakku.”
Hana melangkah maju, suaranya lembut, bahkan terdengar tulus bagi orang yang tidak mengenalnya. “Mbak Maya… aku tahu kita nggak dekat. Tapi aku nggak mau Nayla merasa terasing dari keluarganya sendiri. Aku—” ia terhenti sebentar, lalu melanjutkan, “aku nggak bisa punya anak. Dan… aku sayang sama Nayla.”
Kata-kata itu menusuk dalam. Maya sudah tahu kenyataan ini—bahwa Hana menikah dengan Reza dan menjadi alasan besar hancurnya rumah tangga mereka—tapi mendengarnya diucapkan di depan Nayla, di tengah kerumunan orang tua murid lain, membuat dadanya sesak.
“Nayla sudah punya keluarga. Aku ibunya,” jawab Maya tegas.
Reza menghela napas, lalu menyelipkan tangan ke saku celana. “Maya, jangan keras kepala. Kita berhak juga bawa dia. Lagipula… kita masih menikah secara hukum.”
Kalimat itu membuat kepala Maya berdenyut. Ia tahu itu fakta, dan ia benci bagaimana Reza memanfaatkannya.
Nayla menatap mereka bergantian, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku mau pulang sama Mama…” suaranya kecil, hampir tak terdengar.
Maya langsung menggenggam tangan Nayla, menariknya sedikit ke belakang tubuhnya. “Kamu dengar sendiri. Dia mau sama aku.”
Hana mencoba mendekat, wajahnya berusaha menenangkan. “Nayla, Papa sama Tante cuma mau ajak kamu makan. Nanti pulangnya kita antar, ya?”
“Tidak.” Jawaban Maya kali ini keras, membuat beberapa orang tua di sekitar mulai menoleh penasaran.
Reza menatapnya lama, lalu tersenyum miring. “Baiklah. Tapi ingat, Maya… ini belum selesai.” Ia meraih lengan Hana, mengajaknya kembali ke mobil.
Mobil itu melaju pelan, meninggalkan debu tipis di udara. Maya menatapnya sampai menghilang di tikungan, lalu menarik napas panjang, berusaha menstabilkan degup jantungnya.
“Ayo pulang, Nak,” ucapnya lembut, sambil mengusap kepala Nayla.
Di Rumah Kos
Kos kecil itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Maya menutup pintu, melepas sepatu Nayla, dan memintanya berganti baju. “Mama masakin mie, mau?” tanyanya.
Nayla mengangguk pelan. “Mau…” suaranya masih terdengar murung.
Maya membiarkan Nayla menonton televisi sebentar. Ia sendiri masuk ke kamar, duduk di tepi ranjang, dan menarik napas panjang. Pertemuan tadi terus berulang di kepalanya, seperti pita kaset yang macet di satu bagian.
Pandangan matanya terhenti pada lemari kayu kecil di sudut kamar. Perlahan, ia bangkit, membuka pintu lemari itu, lalu menarik keluar sebuah kotak kardus lusuh. Kotak itu sudah lama ia simpan di bagian paling bawah, jarang sekali disentuh.
Dengan hati-hati, ia membuka tutupnya. Bau kertas lama menyeruak. Di dalamnya, tersusun rapi beberapa map, sepucuk surat, dan… foto-foto.
Ia mengambil satu persatu. Foto pernikahan mereka—dirinya dalam gaun putih sederhana, Reza dengan setelan hitam. Senyum mereka di foto itu begitu lebar, seolah masa depan mereka pasti indah. Maya mengusap permukaan foto itu dengan ujung jarinya, rasanya asing, seperti melihat dua orang yang tak ia kenal.
Lalu ia menemukan foto Nayla saat masih bayi, tidur pulas di pelukannya. Matanya memanas, air mata mulai menggenang. “Aku janji… aku nggak akan lepasin kamu, Nak,” bisiknya, meski tahu tidak ada yang mendengarnya.
Tangannya gemetar saat ia meraih foto lain—foto keluarga pertama mereka di taman kota. Reza sedang menggendong Nayla, sementara ia berdiri di samping mereka, tersenyum. Potret itu terasa seperti dunia yang sudah hancur berkeping-keping.
Air matanya jatuh, membasahi sudut foto. Ia menunduk, membiarkan rasa sakit itu mengalir, tak lagi mencoba menahannya.
Di ruang tengah, suara Nayla memanggil. “Ma, mie-nya udah mateng belum?”
Maya buru-buru menyeka air matanya, memasukkan foto-foto itu kembali ke kotak, dan mengembalikannya ke lemari. Ia menarik napas panjang, mencoba merangkai senyum, lalu keluar. “Sebentar lagi, Sayang.”
Namun di dalam hatinya, ia tahu—hari ini hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar.
kamu harus jujur maya sama adrian.