Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Insiden Kebakaran
Mobil hitam itu melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Di dalam kabin yang hangat dan nyaman, suasana justru terasa sunyi. Hanya suara lembut dari radio yang diputar pelan menemani perjalanan pulang mereka.
Tante Nayla menatap ke luar jendela, matanya berkaca-kaca.
“Mas,” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. “Kenapa ya ... hati aku merasa Zoe itu putri kecil kita?”
Om Zero yang sedang menyetir tak langsung menjawab. Lelaki itu hanya menghela napas panjang, menatap lurus ke depan.
“Aku juga sempat berpikir begitu,” ucapnya lirih. “Tapi putri kita sudah meninggal, Sayang.”
Nayla menggigit bibir bawahnya. Air mata menari di ujung matanya, tapi tak jatuh. “Aku tahu. Tapi perasaan ini terlalu kuat, Mas. Tatapan matanya, senyumnya bahkan cara dia bicara. Seolah aku pernah mendengar suara itu sebelumnya.”
Keenan yang sejak tadi duduk di kursi belakang, diam tanpa suara, akhirnya angkat bicara.
“Aku juga merasa dia seperti adik kandungku sendiri,” gumam Keenan, lirih. “Entah kenapa, sejak pertama kali lihat dia ada sesuatu yang terasa familiar.”
Nayla menoleh ke belakang, menatap anak lelakinya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu juga ngerasain itu, Nak?”
Keenan mengangguk pelan. “Iya dan waktu tadi Zoe berdiri dekat Papa, aku bahkan sempat ngerasa dia mirip banget sama Oma.”
Nayla memejamkan mata. Di dalam kepalanya, terbayang wajah Zoe dengan senyum lembut, alis yang melengkung indah, dan sorot mata tajam yang mengingatkannya pada ibu mertuanya.
“Mirip banget,” bisiknya lirih.
Zero melirik istrinya sekilas, lalu menatap ke depan lagi dengan ekspresi penuh beban. “Kita akan cari tahu, Sayang. Aku janji. Tapi, apa itu mungkin?”
Nayla menoleh cepat. “Mas, dengar ya! Bukan nggak mungkin Zoe itu anak kita. Kamu lupa? Aku dan Tina melahirkan di hari yang sama, bahkan di rumah sakit yang sama.”
Om Zero mengernyit, mengingat-ingat. “Iya, waktu itu kamu bilang Tina juga masuk ruang bersalin selisih beberapa menit, kan?”
“Iya! Aku melahirkan duluan. Tapi saat sadar, perawat bilang anakku meninggal padahal aku nggak pernah lihat wajah bayinya dengan jelas, Mas,” suara Nayla mulai gemetar. “Aku selalu curiga. Tapi waktu itu aku terlalu lemah untuk berpikir jernih. Semua terasa kabur.”
Keenan mencondongkan tubuhnya dari kursi belakang. “Mudah-mudahan Zoe adalah adikku, Ma, Pa. Aku yakin itu, dia saja dan Alicia tertukar waktu itu. Bukan tidak mungkin, jika seseorang menukar mereka lagi?” Keenan mulai menduga-duga.
Om Zero menggeleng pelan, napasnya berat. “Kemungkinannya kecil tapi bukan tidak mungkin.”
Nayla menggenggam tangan suaminya yang satu, penuh harap. “Mas, tolong ya kita cari tahu. Aku enggak bisa tenang sebelum tahu yang sebenarnya.”
Zero memegang tangan istrinya dengan erat. “Iya, kita cari tahu. Kita mulai dari rumah sakit itu. Kita buka semua dokumen, semua data. Kalau perlu, tes DNA.”
Nayla mengangguk cepat, matanya berkilat.
Di belakang, Keenan menatap ke luar jendela. Perasaannya berkecamuk. Jika benar Zoe adalah adiknya maka selama ini gadis itu hidup dalam perlakuan yang tidak pantas.
“Kalau benar aku gak akan biarin dia disakiti lagi,” gumam Keenan dalam hati, matanya tajam menatap ke luar.
****
Malam itu, angin berhembus lembut di antara gedung-gedung kota. Lampu jalan menyala temaram, dan suara jangkrik samar terdengar dari kejauhan.
Di dalam kontrakan sederhana yang dihuni Zoe, gadis itu tertidur pulas di atas kasurnya. Napasnya tenang, wajahnya damai, hingga suara gaduh terdengar dari luar.
Krak!
Suara aneh dari dapur terdengar, disusul aroma hangus yang perlahan merayap ke dalam kamar.
Zoe menggeliat kecil, tapi kemudian tubuhnya tersentak.
"Uhuk! Uhuk!"
Zoe batuk keras, matanya terbuka lebar saat melihat kepulan asap mulai memenuhi langit-langit. Bahkan terlihat api mulai merambat.
"A—Apa ini?" Zoe bangun terburu-buru, terbatuk lagi saat mencoba berdiri. Asap makin pekat. Ia panik dan melangkah ke pintu kamar, tapi ..
"Terkunci?!" Zoe menarik-narik gagang pintu.
“Terkunci dari luar?”
Dari luar, suara orang-orang mulai terdengar:
"Kebakaran! Ada kebakaran!"
"Cepat panggil pemadam!"
"Ada orang di dalam!"
Zoe memukul-mukul pintu dari dalam. “Tolong! Siapa pun! Aku di sini!”
Zoe mencoba mendobrak, tapi pintu itu sepertinya benar-benar ditahan dari luar.
Brak!
Sementara itu, sebuah mobil hitam melaju kencang dan berhenti mendadak tak jauh dari kerumunan.
Ryder keluar dengan wajah panik. “Zoe!”
Anak buahnya yang sejak tadi berjaga langsung menghampiri. “Tuan Ryder! Kami baru tahu beberapa menit lalu, api mulai dari samping kontrakan. Sepertinya ada yang sengaja—”
“Dia masih di dalam?” sergah Ryder cepat.
Anak buahnya mengangguk. “Iya, Tuan.”
Tanpa pikir panjang, Ryder mendorong tubuh beberapa warga yang mencoba menahannya.
"Jangan! Api masih besar!" teriak warga.
"Mas, bahaya!"
“Dia di dalam! Aku gak peduli!” bentak Ryder tajam sambil mendorong warga yang menahannya.
Dengan langkah cepat dan hati-hati, Ryder menerobos masuk. Api mulai melahap sisi ruang tengah. Panasnya menyengat, asap menyiksa paru-parunya. Tapi Ryder terus maju, menunduk rendah, matanya mencari pintu kamar Zoe.
"Zoe!" teriaknya.
Dari dalam, terdengar suara lemah. “R—Ryder .…”
Ryder langsung menendang pintu dengan sekuat tenaga.
Brak!
Pintu terbuka paksa. Di baliknya, Zoe berdiri dengan tubuh gemetar, wajahnya pucat penuh keringat dan jelaga.
"Ryder ...." ucapnya lemah.
Ryder segera menghampiri dan menyampirkan jaketnya ke tubuh Zoe. “Aku di sini. Genggam tanganku, kita keluar.”
Zoe mengangguk, terbatuk keras.
Mereka berdua berlari menerobos api. Ryder menutupi kepala Zoe dengan jaket, dan di detik-detik menegangkan itu, sebuah balok kayu jatuh dari langit-langit.
“Awas!” Ryder memeluk Zoe dan menariknya menjauh.
Brugh!
Untungnya, keduanya tidak terkena balok kayu itu.
Dengan napas memburu, akhirnya mereka berhasil mencapai pintu depan. Warga bersorak panik saat melihat mereka keluar dalam kobaran api.
"Cepat! Air! Bawa air!"
"Mereka selamat!"
Begitu sampai di luar, Zoe langsung ambruk, namun Ryder menahan tubuhnya.
"Zoe! Lihat aku, kamu kuat kan?" bisik Ryder, menepuk pipinya perlahan.
Zoe mengangguk lemah. “Terima kasih … Kamu selalu datang.”
Ryder menatapnya dalam. “Aku gak akan biarin kamu mati. Selama aku masih hidup, Zoe.”
***
Suasana rumah sakit malam itu terasa sunyi namun menegangkan. Di lorong ruang IGD, Ryder duduk di kursi tunggu dengan kepala tertunduk, jemarinya saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang, sesekali ia melirik pintu yang bertuliskan Pemeriksaan Intensif. Napasnya berat.
Bau antiseptik menusuk hidung, dan suara monitor dari dalam ruangan terasa seperti ketukan jarum jam yang menyayat hati.
Terdengar langkah kaki terburu-buru terdengar menggema dari ujung lorong.
“Ryder!” suara wanita terdengar jelas dan tinggi.
Ryder mendongak. Di hadapannya kini berdiri Tante Nayla dengan wajah cemas, diikuti oleh Om Zero dan Keenan yang juga tampak tegang. Nayla langsung menghampiri Ryder dan mencengkeram lengannya.
“Apa yang terjadi?! Bagaimana ini bisa terjadi?!” serunya penuh emosi. “Baru beberapa jam lalu kita makan malam bersama! Zoe baik-baik saja! Kenapa sekarang dia ada di IGD?!”
Ryder berdiri buru-buru, mencoba tetap tenang. “Saya juga nggak tahu, Tante. Anak buah saya yang berjaga bilang, api berasal dari sebelah kontrakan Zoe. Saat sadar, api sudah menjalar ke dalam.”
“Sebelah? Maksud kamu ini bukan kebakaran biasa?” tanya Om Zero dengan suara dingin namun dalam.
Ryder mengangguk pelan. “Kami masih selidiki, Om. Tapi ... pintu kamar Zoe terkunci dari luar. Saya yakin ini bukan kecelakaan biasa.”
Mata Nayla membelalak. “Apa?! Terkunci dari luar?! Itu artinya ada yang ingin membunuhnya!”
Keenan yang dari tadi diam tiba-tiba mengepalkan tangannya. “Siapa pun pelakunya, aku akan pastikan dia bayar mahal.”
Tepat saat itu, pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang dokter muda keluar dengan masker setengah terbuka dan clipboard di tangan.
Ryder, Nayla, Zero, dan Keenan serempak berdiri dan menghampiri.
“Dok, bagaimana keadaannya?” Nayla bertanya cepat, hampir memotong napas sang dokter.
“Zoe baik-baik saja, kan?!”
Dokter itu terlihat sedikit terkejut melihat kerumunan mendadak. “Tenang ... tenang, semuanya. Pasien atas nama Zoe dalam kondisi stabil sekarang. Dia hanya mengalami iritasi saluran pernapasan akibat menghirup asap, sedikit luka bakar ringan di lengan dan punggung tangannya, tapi tidak ada yang membahayakan nyawanya.”
Nayla menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata haru. “Syukurlah .…”
Ryder menghela napas panjang, bahunya mengendur. “Boleh saya menemuinya?”
Dokter mengangguk. “Kami sedang menyiapkan ruang rawat. Satu orang boleh masuk untuk sementara, asal tidak terlalu lama.”
Nayla menatap Ryder, lalu mengangguk pelan. “Kamu duluan. Dia pasti lebih tenang lihat kamu.”
Ryder menatap Tante Nayla sejenak, lalu melangkah masuk ke ruang rawat dengan hati-hati. Di belakangnya, Om Zero menatap sang dokter.
“Dokter,” ucapnya, suara berat namun jelas. “Kalau benar ini ulah seseorang, kami ingin laporan lengkapnya segera. Kami akan menyelidiki lebih lanjut.”
Dokter mengangguk. “Tentu, Tuan. Kami juga akan segera menyerahkan hasil pemeriksaan pada pihak berwajib.”
Sementara itu, Nayla menatap pintu ruang rawat dengan mata berkaca-kaca. “Anak itu … seharusnya tak perlu terus disakiti begini lagi.”
Keenan, yang berdiri di sebelahnya, menatap lurus. Di matanya, ada bara kemarahan yang membara. “Aku nggak akan diam. Ini sudah keterlaluan.”
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭