Farraz Arasy seorang pemuda biasa tapi mempunyai kisah cinta yang nggak biasa. Dia bukan CEO, bukan direktur utama, bukan juga milyarder yang punya aset setinggi gunung Himalaya. Bukan! Dia hanya pemuda tampan rupawan menurut emak bapaknya yang tiba-tiba harus terikat dalam hubungan cinta tak beraturan karena terbongkarnya rahasia besar sang calon istri sebelum pernikahan mereka terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miss Syinting
"Ini Zea, mas. Anak bibi. Dia dari semalem ikut bantu-bantu bibi bersihin rumah mas Arraz, nemenin bibi. Maap ya mas kalau malah jadi nyusahin mas gini jadinya." Bi Tias membungkukkan badannya merasa segan. Tak enak hati karena putrinya abis jatuh menimpa majikannya.
"Nggak apa-apa bi. Saya juga yang salah, udah dikasih tau dari kemarin kalau stop kontak rusak tapi nggak langsung ngecek ke rumah. Harusnya saya yang minta maaf sama bibi, karena repot-repot ngajak mbak nya buat nemenin bibi di sini."
Ini kok jadinya kayak acara halalbihalal ya. Saling minta maaf dan memaafkan. Vibesnya adem bener.
"Zea bisa pulang sendiri kan? Itu kertas-kertas fotokopiannya kamu diberesin. Takut ada yang ketinggalan besok di sekolah malah bingung nyariinnya." Bi Tias lalu berbicara dengan putrinya, Zea.
"Iya buk."
Zea melenggang saja melewati Arraz, sebelumnya Zea mengangguk pelan lalu kembali berjalan lenggang kangkung. Kok terkesan cuek banget. Padahal tadi abis nindihin orang lho si Zea Zea itu. Kok ya flat sekali mukanya. Kayak yang nggak ada dosa, mana nggak pake acara minta maaf atau terimakasih lagi karena udah maksa pemilik rumah masuk ke dalam rumah sendiri lewat jendela!
"Maap sekali lagi ya, mas. Zea tadi niatnya cuma mau bantuin bibi saja. Dan terimakasih karena udah jadi matras buat nangkap Zea."
Krik Krik Krik Krik
Jadi matras katanya kamu, Ar! Ya walaupun bener ketimpaan tubuh si Zea Zea itu, tapi ya jangan disamain sama matras juga kali bi Tias. Ganteng lho Arraz ini. Spek guru-guru olah raga, tinggi, rapi, senyumnya manis sekali, tapi sayangnya dia ambil tugas mengajar bahasa daerah. Bukan pendidikan jasmani!
"Pamit buk. Om. Maaf om, tadi badan saya nimpa om. Permisi. Assalamualaikum."
"Lho, eh.."
Bingung Arraz ketika tangannya di ambil untuk disalimi oleh Zea. Kok vibesnya kayak ngasih ijin anak mau berangkat sekolah ya... Dan somplaknya lagi, Arraz juga iya iya aja ketika Zea salim padanya.
"Baru lulus sekolah ya, bi?" Tanya Arraz memandang Zea yang makin terlihat jauh dari pandangannya.
"Apa, mas? Oowh si Zea? Iya mas. Baru lulus SMP tahun ajaran ini, dan mau daftar masuk SMA. Di SMA Tadinya Mesra. Tempat mas Arraz ngajar."
Mata Arraz membulat. "Baru lulus SMP, bi? Kok udah sebongsor itu badannya.. Eh, maaf."
"Hehehe, iya mas nggak apa-apa. Emang Zea itu bongsor kok. Sama bibi aja tinggian dia. Nurun almarhum bapaknya, bapaknya juga tinggi." Bi Tias lanjut menyapu. Membersihkan lantai bekas dipakai pijakan tangga tadi.
"Berarti baru 16 tahun ya, bi?" Kepo banget sih pak guru!
"Iya, mas. Nembelas taon. Dua bulan lagi."
'Heh. Belum genap enam belas tahun? Buset.. Tapi kok udah tinggi semampai gitu.' Itu kata-kata yang hanya Arraz ucapakan dalam hati saja. Ya kali nyablak banget jadi orang.
Melihat jam dinding, Arraz ingat sesuatu. Dia harus mengajak Dewi untuk menemui mbak Fai nya. Nafas berat terdengar, seperti ogah sekali kakinya melangkah. Namun, jika apa yang dia lihat waktu itu hanya imajinasi nya saja.. Dia pasti akan merasa bersalah luar biasa karena sudah menyakiti banyak orang. Bersalah pada orang tuanya, juga Dewi tentunya. Mau tak mau, Arraz harus mengajak Dewi untuk diperiksa. Biar semua jelas adanya, bukan main tebak main terka.
Setibanya di depan rumah Dewi, Arraz langsung disambut senyuman seindah pringisan tuyul yang kelar dinas semalaman. Lega sekali kayaknya si Dewi ini ketika melihat Arraz ada di pekarangan rumahnya. Itu artinya kan Arraz udah nggak marah lagi sama dia kan?
"Sayaaaaang.. Aku tau kok, kamu nggak beneran marah sama aku! Aku kangen kamu yank!"
Hampir saja tangan Dewi menyentuh Arraz dan bergelayut manja seperti biasanya. Namun Arraz langsung mundur. Memberikan telapak tangannya ke arah Dewi seperti tanda agar Dewi diam di tempat.
"Ikut aku Wi." Ucap Arraz jutek sekali.
"Ikut kemana? Wi? Wi apa? Sayang, kamu selalu panggil aku Mora! Kenapa sekarang jadi Wi?! Aku nggak mau!" Dewi melipat kedua tangannya ke depan dada. Dia bersungut menunjukan ekspresi merajuk.
Jika dulu Dewi yang seperti itu langsung bisa menarik atensi Arraz untuk lebih memperhatikan dirinya, enggak dengan sekarang. Rasanya perasaan Arraz yang kemarin menggebu-gebu kepada Dewi kini menguap hilang tanpa bekas, tanpa ampas!
Arraz langsung menuju motornya. Dia memakai helm, melihat Arraz secuek itu padanya mau tak mau Dewi ngikut juga dengan pikiran bertanya-tanya. Mau ngajak jalan kemana kira-kira? Bukannya mereka sedang di pingit, emang boleh kelayapan kayak gini?
Sekarang aja mikir gitu, lah kemarin-kemarin pas kejadian buka selangkangan emang nggak kepikiran apa kalau mereka dilarang ketemu hingga hari pernikahan tiba? Dewi emang agak laen jadi manusia.
"Ar, kamu nggak pakaiin aku helm?"
Arraz diam. Ini bukan waktunya nebar perhatian hingga belepotan. Ada yang lebih penting, memastikan Dewi punya penyakit kelamin atau tidak!
Meski merasa aneh dengan sikap Arraz, Dewi tetap menuruti ketika Arraz sudah menyalakan motor. Naik ke jok belakang tanpa diminta, memeluk perut Arraz dari belakang. Seperti biasanya jika mereka sedang kencan pake motor.
Ya seperti biasanya memang, tapi bagi Arraz ada perasaan aneh. Mungkin jijik, benci karena dikhianati.. Refleks .tangan Dewi disingkirkan Arraz dari perutnya.
Bukan Dewi namanya kalau nggak makin nekat, dilarang memeluk perut, wanita itu malah meraba bagian selangkangan Arraz... Dari paha lalu berpusat ke area pribadi milik calon suaminya. Dia meremas gemas bagian tengah pangkal paha, tepat di tengah-tengah! Tak peduli jika nanti Arraz akan protes padanya.
"Wi! Jaga sikapmu!!" Bentak Arraz tak terima dirinya dilecehkan seperti itu.
Apa Dewi marah? Enggak! Dia malah cekikikan menikmati aroma parfum Arraz yang bisa dia endus saat kepalanya ditaruh di punggung lelakinya itu. Arraz tak bisa berbuat apa-apa. Salahnya sendiri karena tadi menjemput Dewi dengan menggunakan motor, digrepe-grepe kan jadinya! Seeep naseeeep, begini amat menderitanya jadi pemeran utama.
Mata Dewi memicing, dia bisa tahu ini klinik Fai dan suaminya. Tapi, kenapa dia diajak ke sini??
"Kita mau ngapain ke sini, Ar?" Tanya Dewi menatap bingung.
Bukannya menjawab, Arraz langsung berjalan masuk ke arah petugas yang berjaga di ruang pendaftaran. Sedikit bicara pada sang petugas, akhirnya Arraz kembali keluar lalu menarik tangan Dewi cepat.
"Ar! Aku ngomong sama kamu ya! Dari tadi kamu diemin aku, kamu pikir aku nggak sakit hati kamu giniin?! Kan aku udah bilang, aku nggak apa-apa. Aku nggak sakit! Kenapa kamu bawa aku ke sini?!"
"Ya udah. Nggak usah marah. Mbak Fai nunggu kamu di dalam."
Bayangin, Dewi udah marah meledak-ledak kayak gitu eh Arraz mukanya lempeng banget kayak pentungan satpam. Datar paripurna!
"Masuk Wi. Nggak apa-apa kok, mbak cuma mau periksa kamu aja, nggak bakal diapa-apain." Fai muncul dari balik pintu.
"Tapi, mbak.. Serius aku nggak kenapa-napa! Aku berani bersumpah!" Masih ngotot dia.
"Iya.. Ayo masuk sini dulu."
Ah sudah deh.. Dewi mengangguk lesu. Dia menarik tangan Arraz untuk ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
"Aku tunggu di sini." Tolak Arraz melepaskan tangannya dari belitan jemari Dewi.
"Kalo kamu nggak mau masuk, aku juga nggak mau diperiksa!" Keukeuh Dewi dengan mata melotot.
Mbak Fai mengangguk, memberi tanda agar Arraz menurut saja. Lalu mereka bertiga ada di dalam ruangan seperti tempat bersalin. Ada ners lain di dalam sana.
"Duduk di sana Wi. Tolong celana sama daleman kamu dicopot dulu ya." Fai menarik tirai agar menutupi ranjang pasien guna memeriksa Dewi.
Dibantu ners, Dewi sudah pada posisi tiduran di ranjang pasien dengan posisi kedua kaki di sangga alat penyangga untuk ibu melahirkan.
"Maaf ya Wi, aku harus periksa milik kamu."
"Aah iya mbak, nggak apa-apa. Aku yakin kok kalo aku baik-baik aja."
Fai sudah memakai sarung tangan. Hening. Fai melakukan pemeriksaan pada organ intim milik Dewi. Beberapa menit kemudian, Fai membuka tirai penutup setelah memastikan jika Dewi sudah memakai kembali pakaiannya yang sempat dia lepas.
"Gimana mbak?" Tanya Arraz menatap penuh keinginan tahuan pada kakaknya.
"Dewi mengidap kondiloma akuminata, atau kutil kelamin. Kamu benar Ar, ada jengger ayam pada organ vital Dewi."
Wajah Dewi pucat. Arraz memejamkan mata sesaat. Lalu menghampiri Dewi.
"Mau bohong apa lagi? Denger kan apa yang mbak Fai bilang? Aku nggak bisa lanjutin pernikahan kita Wi. Kita selesai sampai di sini." Tegas Arraz dengan sorot mata penuh amarah. Masih mending kagak digampar itu anak orang.
"Nggak Ar! Mbak Fai pasti salah! Aku nggak mau pernikahan kita dibatalin!! Kamu jangan egois dong Ar! Itu cuma benjolan biasa, bukan penyakit menular! Bukan seperti yang kalian tuduhkan!" Dewi menolak keterangan yang diberikan Fai barusan tentang dirinya.
"Aah.. Aku tau. Ini bisa-bisanya kalian kan? Kalian ingin aku dan keluargaku malu kalau pernikahan ini dibatalkan?! Kalian jahat tahu nggak!!" Dewi berderai air mata.
"Kami jahat? Bahkan aku baru tahu kalo kamu punya jengger ayam juga barusan tadi, Wi. Nggak usah mengada-ada ngomongnya." Fai kok kesel ya lama-lama.
"Biarin aja mbak. Terserah dia mau ngomong apa. Keputusan ku udah final. Aku nggak bakal nikahin dia." Arraz keluar meninggalkan ruang pemeriksaan.
Dewi mengejar Arraz, tapi Arraz langsung menghindar. Menolak kala tangannya dipegang Dewi.
"Oowh.. Jadi gini ya sifat aslimu, kamu udah liat semua bagian dari tubuh ku, bahkan bagian terdalam diriku, kamu tahu... Kamu juga udah nikmati tubuhku, dan setelah kamu puas kamu mau buang aku gitu aja?? Bajingan kamu Ar!! Bajingan tau nggak?!" Dewi Amora berubah jadi toa mushola. Teriak-teriak keras sekali dia.
Arraz menggeleng tak percaya. Kok bisa ya, dia jatuh cinta sama yang kayak gitu selama setahun ini? Kemarin itu dia bodoh apa blo'on sebenarnya?!
"Ar.. Kamu yang bikin dia nggak perawan??" Fai memicingkan mata.
"Mbak percaya sama dia?" Kali ini bukan lagi geleng-geleng kepala tapi pengen banget Arraz jedotin kepalanya ke dinding klinik ini saja.
"Iya! Dia yang merawanin aku mbak! Adikmu kudu tanggung jawab!! Aku nggak mau dia ninggalin aku gitu aja!! Mbak, kamu juga wanita.. Seorang wanita pasti tau bagaimana rasanya jika kehormatan yang selama ini dijaga malah dirusak sama lelaki kayak Arraz ini?! Mbak, adikmu selalu maksa aku mbak, kalo aku nggak mau ngasih dia.. Dia bakal mukul aku! Dia tampar aku, bahkan dia nggak segan ngiket aku, mbak! Semua itu dia yang mulai! Huhuhuhuuuuu.. Aku kayak gini karena dia!!!" Dewi meraung-raung sambil menutupi mukanya.
Namun ketika jari Dewi mantap menunjuk ke arah Arraz tadi berdiri, Arraz nya kok udah nggak ada di tempatnya. Kosong nggak ada siapa-siapa. Lho... Arraz mana?
"Sinting." Kata Arraz sudah di atas motornya.
Arraz melenggang pergi menaiki motornya sebelum Dewi menyelesaikan seluruh kalimatnya. Masa bodoh sama si Dewi Dewi itu nanti pulangnya bagaimana, mau jalan kaki, mau naik taksi, atau ngesot sambil meratapi diri juga Arraz nggak peduli.
maaf aku yg polos ini bertanya dengan nada dering selembut2nya.. tolong dijawab, jangan dijokiin😐
ora mangan nongko keno pulute awakmu arr kuapokkkkk