NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Duda / CEO / Cinta Paksa / Beda Usia
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Cengzz

KISAH PERJUANGAN SEORANG LAKI-LAKI MENGEJAR CINTA GADIS BERCADAR YANG BELUM MOVEON SAMA PRIA MASA LALUNYA.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Pagi harinya. Bella dan Sabrina sudah bersiap-siap dengan pakaian tertutup didalam kamar. Bella mengenakan gamis berwarna hitam dengan kerudung senada berwarna hitam, menjuntai anggun hingga perutnya, menutupi seluruh bagian depan tubuh dengan rapih. tak lupa ia mengenakan cadar hitam yang membuat wajahnya tertutup, hanya terlihat sorot mata teduh dan tegas.

Sementara, Sabrina mengenakan gamis berwarna putih dibalut cadar dan kerudung berwarna putih senada, menjulang hingga perutnya, tampak rapih dan cantik, sorot matanya sangat tegas, tak ada lembut-lembutnya.

Setelah sarapan pagi, Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan, siap pergi kesuatu tempat bersama Revan dan juga Leon. Tentunya, Bella hanya menemani serta menjaga sang adik dari laki-laki yang bukan mahram.

Begitu pintu terbuka. Dua pria itu sudah menunggu, saling diam-diaman sambil bermain ponsel. Mendengar suara pintu, sontak keduanya langsung mengalihkan perhatian.

"A-ayo, kita berangkat!" Ajak Sabrina tanpa basa-basi.

Tanpa banyak omong, Revan dan Leon mengganguk pelan. Keempat orang itu melangkahkan kakinya, dengan posisi laki-laki paling depan, sementara wanita dibelakang, menjaga jarak, menghindari tatapan laki-laki yang bisa saja tergoda. Meskipun Bella yakin bahwa Revan dan Leon tidak akan tergoda. Pasalnya dia laki-laki itu sudah memiliki istri masing-masing. Namun yang namanya laki-laki tetap saja harus diwaspadai.

Mobil disetir Leon. Revan menatap lurus kedepan memerhatikan kendaraan yang berlalu lantas. Dibelakang Sabrina bersandar dikaca jendela menatap keluar, disampingnya, Bella duduk membaca buku, rutinitas sehari-hari menghilangkan kejenuhannya demi mencari pengetahuan.

selama perjalanan menuju ketempat pembangunan proyek. Bener-bener tidak ada obrolan, hening, hanya terdengar suara deru kendaraan yang mengisi keheningan yang melingkup di dalamnya.

"Dek! Pembangunan proyeknya gede juga ya. Emangnya

Sesampainya dilokasi. Satu persatu turun dari mobil.

"Dek! Pembangunan proyeknya gede juga ya. Emangnya bikin proyek apaan?"tanya Bella diparkiran, matanya menatap ke arah bangunan besar yang mulai menjulang di kejauhan.

Sabrina menatap bangunan besar di kejauhan, lalu menjawab, "Ini kampus cabang baru yang dibangun almarhum suamiku, Kak. Kampus ini akan jadi cabang utama dari universitas besar yang sudah terkenal, lengkap dengan fasilitas riset dan pengembangan teknologi." Jelas sabrina menatap bangunan tinggi itu yang hampir rampung, dengan mata berbinar dan sendu.

Bella mengganguk. "Wah, hebat juga ya. Ini kampus paling terbaik itu kan? Kata orang-orang nomor 1 di segala bidangnya. Pusatnya diluar negeri, cabangnya juga banyak banget kan?"Takjub Bella disela melangkah disamping Sabrina.

"Iya, Kak. Pusat kampus itu memang di luar negeri, dan sudah punya banyak cabang di berbagai negara. Almarhum Suamiku ingin kampus cabang ini bisa membawa standar internasional ke sini, supaya kualitas pendidikannya sama bagusnya." Kata Sabrina dengan perasaan campur aduk, antara sedih dan kagum. Merindukan sosok suaminya.

"Lo nggak ada niatan ngampus disini pan?" Tanya Leon tiba-tiba.

"Gue udah pernah kuliah le, punya gelar S1." Jawab Revan singkat.

"Ngampus lagi aja! Ngejar s2!" Saran Bella.

"Nggaklah, Ribet. Pusing pala. Mendingan kerja aja," jawab Revan.

"Emang kerja sama almarhum gak pusing? Kan kerjaannya banyak tuh, ngurus perusahaan ini itu." Tanya Bella hati-hati.

"Pusing sih, memang pusing. Tapi gajinya itu gede banget, bel!" Jawab Revan apa adanya.

Bella manggut-manggut.

"Kamu nggak ada niatan kuliah mbak?" Tanya Sabrina.

"Tadinya ada niatan kuliah, dek. Tapi mbak gak mau ngambil, lebih milih ngurusin pondok. Padahal, kyai Hasan, Abah. Nyuruh aku kuliah aja sama Aurel, adikku, anak pak Abah sama umi, dek." Jawab Bella jujur.

"Aurel cantik nggak, mbak? Sudah menikah belum? Kalo belum saya pengen... Maksudnya, dia ada tunangan?" Tanya Revan penasaran meralat kembali ucapannya.

"Lo ngapain nanya-nanya gituan!" Bisik Leon gregetan.

"Cantik? Cantik banget orangnya, cadaran juga. Pinter, paham agama, lembut, orangnya ramah banget. Dia belum nikah, masih single.... Padahal banyak yang ngelamar dia, tapi gak ada satupun yang dia terima. Dia bilang ke aku. Katanya dia suka sama satu laki-laki. Pengen nikah sama laki-laki itu, gak papa dipoligami juga." Ucap Bella membuat ketiga orang itu kian penasaran.

"Mbak tau nama laki-laki itu?" Tanya Sabrina.

"Jangan-jangan dia nungguin bang lucky lagi! Wah, harus lapor sih ini mah!" Ucap Revan pelan, teringat lucky.

"Siapa bel orangnya? Pria sudah beristri? Siap dipoligami? Apa dia suka sama Revan ya?" Tanya Leon membawa-bawa Revan.

"Bukan! Bukan! Bukan itu laki-lakinya, tapi.... Mohon maaf dek, laki-laki yang disukain dia, almarhum suami kamu. Arhan," jawab Bella.

"Hah?" Leon dan Revan melongo.

"Apa?? Kak arhan? Kok bisa?" Pekik Sabrina terkejut.

"Bisa lah dek. Almarhum suami kamu itu idaman cewek-cewek pondok loh, mulai dari santri, pengajar, anak kyai dari pondok lain, bahkan ustadzah banyak yang suka sama dia. Suami kamu dulu sering bantu-bantu dipondok, membangun ini itu, donasi dan banyak lagi lah. Jadi gak heran Aurel suka sama suami kamu. Sampe-sampe Aurel ini kagum sama dia. Setiap almarhum suami kamu kepondok, dia selalu minta Abah, buat jodohin dia sama arhan! Tapi arhan selalu nolak. Semua lamaran nikah ditolak sama dia." Terang Bella tersenyum, mengingat masa lalunya. Sabrina menatap lurus kedepan, dengan sorot mata tak menyangka.

"Gacor banget bos gue! Disukain ukhti-ukhti pondok. Sayangnya dia nolak semua lamarannya. Coba aja kalo gue, demi Allah! Gue terima minimal 2, maksimal 10 lah!" Halu Revan.

"Makanya tuhan gak mau ngasih Van! Orang niat Lo dari awal udah ngaco banget!" Celetuk Leon berusaha menyadarkannya.

Sabrina dan Bella hanya terkekeh kecil dari balik cadarnya.

"Gue salut sama bang arhan... Padahal, dia banyak yang suka. Tapi gak genit samsek! Tiap liat cewek! Pasti nundukin pandangan!" Ucap Leon bangga dan kagum.

"Beda banget sama bang lucky! Tiap ada cewek montok, lirik Bae!" Celetuk Revan dengan gaya khasnya.

"Lu juga sama Bae! Lucky sama Lo adek Abang! Kelakuan gak beda jauh!" Leon ngegas.

"Sssttt! Jangan ngomongin orang!" Tegur Bella pelan.

"Waduh, maaf bel!" Revan mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tersenyum dalam hati mendengar Bella yang menegur saat lucky dibawa-bawa.

Setibanya didalam, mereka mengobrol-ngobrol singkat membahas tentang agama, Sabrina bertanya-tanya pada Bella. Begitupun dengan Revan dan Leon yang bertanya mengenai apa yang tidak mereka tahu.

Disela-sela mereka mengobrol, tiba-tiba terdengar suara keributan. Sontak, Bella mengedar.

"Astaghfirullah! Dek! Ada yang ribut tuh!" Tunjuk Bella pada satu orang yang mencengkram kerah baju mandor.

"Kita samperin!" Sahut Sabrina melangkah lebih dulu, disusul Bella dan dua laki-laki itu bergerak reflek melindungi keduanya dari sisi kanan dan kiri.

Aksi keributan langsung terhenti kala melihat kedatangan mereka. Sosok pria yang mencengkram kerah baju mandor tadi mengendurkan cengkramannya, menolehkan kepalanya ke arah mereka. Bella terkejut melihat wajah laki-laki itu yang dipenuhi berbagai bekas luka dan tato yang menyeluruh. Sabrina terdiam membisu, Leon dan Revan saling berpandangan.

"Maaf kan kami, nyonya, tuan. Atas keributan barusan! Ka-" mandor dan semua kuli kecuali pria itu, langsung menunduk takut.

Sabrina mengiyakan saja, menyuruh mereka kembali bekerja dengan tatapan tak lepas dari laki-laki tinggi itu. Bella pun sama, kepalanya terus mendongak, menatap pria itu dengan perasaan aneh yang mulai menyusup, entah perasaan apa ini.

Sementara Leon dan Revan sudah pergi, mengawasi pembangunan proyek bersama mandor tadi, menyisakan pria itu, Bella dan Sabrina.

"Siapa nama kamu?" Tanya Bella lembut namun penasaran.

"Kepo!" Jawab pria itu dingin.

Bella menarik napas panjang, mencoba tetap bersabar setelah mendapat jawaban yang diluar dugaannya.

"Siapa nama kamu, mas?" Tanya Sabrina kini.

"Tama!"

Nafas Bella dan Sabrina reflek tertahan. Tama?

'astaghfirullah.... Kenapa jantungku berdebar ya, dek?' tanya Bella dalam hati.

'sama mbak, aku juga deg-degan.' batin Sabrina, seolah menjawab pertanyaannya.

Bella memandangi pria itu dari atas sampai bawah, sungguh hatinya terasa diremas-remas melihat penampilan pria itu. Bajunya sobek kotor, celananya robek dibeberapa bagian, bahkan sepatunya mengganga, usang tak layak pakai. Bibirnya terbuka, belum sempat mengatakan apa-apa, Sabrina langsung mengeluarkan suara, mengajak laki-laki itu kelapangan kosong.

"Duduk!" titah Sabrina sambil duduk di kursi taman, Bella di sebelahnya.

"Duduk di mana, Mbak? Kursinya sempit," ujar Tama bingung, menggaruk tengkuknya.

Sabrina hendak berdiri, namun Tama mencegah, "Biar saya saja yang duduk di bawah."

Bella bangkit, menawarkan kursinya. Tapi Tama menolak, "Saya nggak mau duduk di kursi bekas perempuan. Dilarang duduk dikursi yang sebelumnya bekas diduduki perempuan."

"Masyaallah, tahu dari mana mas?" tanya Bella, tersirat kekaguman kecil di hatinya.

"Dari ustaz," jawab Tama santai.

Bella tersenyum. "Ternyata Bener ya, jangan menilai seseorang dari covernya saja."

"Emang kenapa cover saya? Salah gutu" sinis Tama tersinggung.

"Maaf kalau tersinggung," ucap Bella lembut, merasa bersalah.

Tama diam saja. Masih tersinggung.

"Jadi maunya kamu gimana?" celetuk Sabrina.

"Maksudnya gimana apanya, Mbak?" Tanya Tama.

Sabrina menghela napas. "Mau duduk di mana?"

"Mbak geser, deh." Sabrina menuruti tanpa sadar.

Tama langsung duduk di tempatnya tadi.

"Lah, kok malah duduk bekas adik saya?" tanya Bella heran.

"Udah deh, Mbak, jangan kebanyakan ngoceh. Saya pusing dengernya. Sana duduk! Tuh kursi didepan masih kosong!" sahut Tama cuek. Bella hanya melongo, tak percaya diusir pria itu. Baru kali ini ia menemukan orang sekurang ajar itu didalam hidupnya. Sekurang-kurang ajarnya lucky, masih punya attitude. Kalau ini, boro-boro.

"Kamu tidak punya attitude! Hargai kakak saya dong!" Omel Sabrina tidak terima kakaknya diperlakukan seperti itu.

"Sudah, dek. Dek." Cegah Bella. "Biar mbak duduk disana saja, mari mas." Pamit Bella sopan, berjalan.

"Iya, teh jus mbak!" Sahut pria itu asal.

Bella terkekeh kecil, bisa-bisanya ia tertawa mendengar celetukan recehnya yang tak nyambung. Tapi entah kenapa ia terhibur dengan laki-laki itu, meskipun sikapnya bikin Bella beristighfar sambil ngelus-ngelus dada. Ia duduk dikursi taman seorang diri, depan-depanan dengan kedua orang itu. Posisinya tak terlalu jauh. Bella membuka Al-Qur'an kecil yang sering ia bawa kemana-mana, lalu membacanya dengan suara pelan dan lembut, mengisi kekosongan.

Disela-sela ia melantunkan ayat-ayat suci Alqur'an, disitu pula interaksi Sabrina dan Tama terus terdengar, mengusiknya. Mulai dari Sabrina yang marah, kesal, ngegas Mulu tanpa ampun sama Tama yang bersikap biasa saja, bahkan Bella bisa melihat dengan jelas didepannya, Tama yang malah cengengesan membercandai adiknya yang ngamuk-ngamuk tidak jelas.

Bella menutup Al-Qur'annya, perlahan meletakkannya dipangkuan, matanya menatap kedua orang itu. Sementara kupingnya menangkap jelas, obrolan riuh keduanya. Sabrina yang terus membalas, dan Tama yang tak kalah senggol bacok, memancing emosi Sabrina. Bella hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terkekeh kecil melihat adiknya dan Tama yang terus beradu mulut. Sesekali ia beristighfar dan ingin melindungi Tama sehabis dipukul adiknya dengan higheels, merasa kasihan dengan Tama. Namun, aksinya terhenti kala Tama mengusap lengannya dan Sabrina yang meminta maaf. Bella menghela nafas lega, menyaksikan kembali dua manusia itu yang tampak sangat akrab.

'kenapa Sabrina bisa se akrab itu ya sama laki-laki asing?' batin Bella heran. Pasalnya, Sabrina mengobrol dan tertawa-tawa bersama Tama.

Melihat keakraban keduanya. Bella terdiam, hatinya berdenyut pelan, terasa sakit dan sesak secara tiba-tiba. Seolah ada sesuatu yang mengganjal didalam dadanya, membuatnya sulit bernafas dengan tenang.

'astaghfirullah hati aku kenapa ngilu begini ya Allah? Ada apa? Setiap kali melihat pria itu yang akrab dan bercanda sama adikku, rasanya sakit banget. Nggak mungkin kan, aku punya perasaan sama laki-laki itu?' batin Bella memegang dadanya.

Gadis itu tersentak kaget ketika menyaksikan adiknya yang tiba-tiba menangis. Ia segera bangkit dan menghampiri, menanyakan ada apa. Namun Tama mengusirnya kembali, menyuruh disana saja, biar dia yang menangkan katanya sih gitu. Bella terdiam, sebelum akhirnya menurut dan duduk ditempatnya, sambil mengamati. Matanya membulat seketika, terpaku menyaksikan adiknya dipeluk Tama, bahkan diusap-usap kepalanya. Hati Bella terasa sangat sesak, sakit. Matanya perlahan memerah nyaris meneteskan air mata, entah kenapa ia tidak suka dengan pemandangan ini.

"Mas! Kamu jangan macam-macam sama adik saya! Dia bukan mahram!" Teriak Bella memprotes, menurutnya memang bukan mahram, ini bukan tentang agama, tetapi batasan juga. Selain itu, ia melarangnya atas perasaan aneh ini.

Namun, Tama tidak menjawab, ia meletakkan telunjuknya dibibir, menyuruh Bella untuk diam saja. Hati Bella bagai dihantam benda keras saat menyaksikan Tama yang mendekap erat adiknya. Tanpa sadar, tangannya terkepal kuat dipangkuannya,  menahan gejolak aneh ini. Namun, Bella tidak sanggup, air mata mengenang dipelupuk matanya.

'ya Allah, ada apa dengan perasaanku? Sejak tadi melihat dia (Tama), yang bersikap romantis sama adikku, terasa menyakitkan. Masa iya aku suka sama orang asing ya Allah? Orang yang belum aku kenal! bahkan baru aku temui beberapa menit yang lalu.... Apa ini cuma perasaan ku saja ya Allah?' tanya Bella dalam hati.

*

*

"Kita berdua pergi dulu ya! Bye!" Ucap Sabrina pamit pergi bersama Tama, melangkah berdua meninggalkan Leon, Bella dan Revan yang memandangi keduanya dengan perasaan campur aduk.

Bella masih terpaku menyaksikan adegan Sabrina  mengejar Tama yang menghindar sambil tertawa-tawa. hatinya sesak bukan main, membuatnya semakin sulit menghirup oksigen.

Tanpa sadar, air mata Bella menetes saat melihat Tama menolong Sabrina yang terjatuh, bahkan Tama berjongkok didepannya, lalu Sabrina naik, Tama melangkah sambil menggendong Sabrina, penuh kelembutan diselingi candaan. Jelas sekali ia menyaksikan Sabrina yang tertawa digendongannya. Hatinya sesak, sangat sesak, nyeri. Air mata mengalir deras membasahi pipinya.

"Bella kamu kenapa nangis?" Celetuk Revan, mengerutkan keningnya, bingung dengan Bella yang meneteskan air mata.

Bella terperanjat. "Nggak, kenapa-kenapa. Mas," Bella menyeka air matanya.

"Nggak kenapa-kenapa? Tapi kok nangis?" Gumam Leon pelan nyaris berbisik, namun terdengar jelas ditelinga Bella.

"Nangis terharu.... Iya, terharu sama seneng aja ngeliat Sabrina yang bisa senyum dan ketawa-ketawa." Alasan Bella, menyembunyikan perasaan aneh ini.

"Kirain saya nangis karena rindu bang lucky, bel!" Celetuk Revan tiba-tiba.

Bella menghela nafas kasar. Semenjak kapan ia merindukan abangnya Revan itu? Jangankan rindu, sebatas memikirkannya saja tidak pernah. Hanya satu orang yang selalu membuatnya kepikiran, selalu ia rindukan setiap saat. Namanya selalu dipanjatkan disepertiga malam, berharap laki-laki itu bisa menjadi jodohnya kelak, baik di dunia maupun di akhirat.

Tapi, semua yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan. Laki-laki yang sering ia selipkan dalam doa, sering ia rindukan setiap saat dan di cintai nya. ternyata bukan jodohnya, melainkan sudah berjodoh dengan orang lain. Hatinya pun tersayat, menyimpan luka yang sulit diobati. Atau istilahnya Bella masih gamon dengan laki-laki itu (cinta pertamanya).

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!