NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1

Monica Pratiwi terbangun dengan perasaan gelisah. Bukan karena telat bangun atau lupa mencuci piring, melainkan karena hari ini adalah tanggal yang telah ia hindari selama sebulan: 4 Agustus, ulang tahunnya yang ke-28. Di kamar kecilnya yang rapi di perumahan padat penduduk Depok Timur, ia menatap langit-langit, merenungkan hidupnya yang masih "jomblo".

Jam menunjukkan pukul 06.02 pagi. "Ya Allah... Umurku sudah 28. Pagi ini belum ada ucapan cinta, yang ada cuma notifikasi promo cicilan motor!" gerutunya, meraih ponsel di bawah bantal. Benar saja, tak ada ucapan selamat ulang tahun dari siapa pun, kecuali pesan dari ibunya: "Neng, hari ini ulang tahunmu. Mama doakan semoga segera menikah. Biar Lala bisa menyusul juga. Masa adik menikah duluan, sih?"

Monica mendesah. "Lala, Lala lagi. Apa hidupku hanya untuk menjadi jembatan pernikahan Lala?" Lala, adik perempuannya yang lebih muda dua tahun, telah berpacaran sejak kuliah dan ingin segera menikah. Keluarga Monica masih memegang teguh mitos Jawa: kakak perempuan harus menikah lebih dulu. Jika tidak, konon akan selamanya jomblo, rezeki tersendat, atau rumah tangga adik tidak bahagia. Beban itu sepenuhnya ada di pundak Monica. Ia harus segera menikah, padahal belum memiliki calon.

Suasana pagi di rumah kecil dua lantai yang ditempatinya bersama orang tua terasa sunyi namun tegang. Rumah mereka berada di gang sempit, tetapi nyaman. Ayahnya, Pak Darto, pensiunan petugas keamanan kampus. Ibunya, Bu Rini, ibu rumah tangga yang gemar membandingkan anaknya dengan anak tetangga.

Di meja makan, Monica menyantap nasi goreng buatan ibunya yang terasa hambar. Mungkin karena pikirannya kalut, atau karena ibunya memasaknya sambil menggerutu soal jodoh. "Mon, Mama terus ditanya Tante Yuli, kapan kamu nikah. Masa kamu kalah cepat sama Rini anaknya Bu Retno? Dia dulu tomboy banget, sekarang sudah punya dua anak!" cerocos ibunya sambil menyapu halaman.

Monica menghela napas, menyesap teh hangat tanpa gula. "Ma, itu urusan Tuhan, bukan urusan jam tangan. Tidak semua orang waktunya sama."

"Tapi kalau kelamaan, bisa jadi Tuhan pikir kamu tidak niat," jawab ibunya, tersenyum licik dari balik tirai jendela.

Monica hampir tersedak.

Pukul 07.30, Monica bersiap berangkat kerja. Ia mengenakan blouse putih gading dan rok span krem, rambutnya dikuncir rapi. Di depan cermin, ia mengamati penampilannya. Ia cukup menarik, bahkan sering dikatakan mirip aktris sinetron era 2000-an.

Ia bekerja di Jakarta Selatan sebagai sekretaris pribadi di PT. Anugerah Medika Sentosa, perusahaan distribusi alat kesehatan. Perjalanan dari rumah ke kantor memakan waktu lebih dari satu jam dengan KRL dan ojek online, tetapi ia sudah terbiasa.

Sesampainya di gedung perkantoran 10 lantai, Monica masuk dengan lencana karyawannya yang sudah kusam. Ia melewati lobi, menyapa satpam, lalu naik lift ke lantai 8, tempat divisi eksekutif berada. Di sanalah ia hampir setiap hari berinteraksi—atau lebih tepatnya, bersitegang—dengan bosnya, seorang duda tampan bernama Teddy Indra Wijaya.

Teddy, CEO perusahaan, diperkirakan berusia 37 tahun. Tinggi, tenang, bermata tajam, dan selalu mengenakan setelan rapi. Ia jarang bicara, apalagi tersenyum. Namun, kehadirannya selalu membuat karyawan perempuan memperbaiki penampilan. Yang membuat Monica penasaran, Teddy sudah bercerai, tetapi alasannya dirahasiakan. Ia tidak punya anak dan tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun.

"Pagi, Monica," sapa Amanda, rekan kerjanya.

"Pagi juga. Rasanya hari ini ingin resign saja," keluh Monica sambil menyalakan komputer.

"Kenapa? Ulang tahun, ya?" goda Amanda.

Monica mengangguk lesu. "Tapi sepertinya tidak ada yang mengucapkan selamat, kecuali Mama... dan itu pun sindiran."

Amanda tertawa kecil. "Sabar. Kadang jodoh datang dari arah yang tidak terduga."

Monica mendesah. "Iya. Tapi arah itu sepertinya sedang macet parah."

Sebelum mereka melanjutkan obrolan, suara berat memecah suasana. "Monica," suara itu dari pintu ruangan direktur. Teddy berdiri di sana, menatap Monica. "Saya perlu bicara. Sekarang."

Monica menelan ludah, melirik Amanda yang tersenyum menggoda. Ia bangkit, dan melangkah ke ruangan Teddy, pria yang secara tidak langsung telah ia sebut dalam doanya pagi tadi. Jika doa itu terkabul... Monica akan sangat terkejut.

Begitu Monica memasuki ruangan Teddy, hawa dingin langsung terasa, entah karena pendingin ruangan atau aura sang direktur. Ruangan Teddy minimalis, didominasi warna abu-abu dan hitam, elegan dan dingin seperti pemiliknya.

Monica berdiri tegang di depan meja Teddy, jantungnya berdebar. Teddy mendongak dari laptopnya, menatap Monica tanpa ekspresi. "Duduklah," katanya singkat.

Monica duduk, berusaha tenang, kaki disilangkan, postur tubuhnya tegak seperti di drama Korea. Teddy menutup laptopnya, membuka map coklat. Jari-jarinya panjang dan rapi, terlihat profesional. Monica memperhatikan sejenak, lalu buru-buru menunduk, menyadari tatapannya terlalu lama.

"Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan," kata Teddy, suaranya tenang namun membuat jantung Monica berdebar kencang.

"Baik, Pak. Tentang proyek rumah sakit kemarin? Saya sudah kirim laporan lewat email," jawab Monica.

Teddy menggeleng pelan. "Bukan soal pekerjaan."

Kalimat itu membuat Monica memikirkan skenario terburuk: dipecat, dituduh melanggar kebijakan, atau diminta lembur tanpa bayaran?

"Saya akan langsung ke intinya," lanjut Teddy. "Perusahaan sedang dalam tahap finalisasi kerja sama dengan investor Jepang. Mereka konservatif dan sangat memperhatikan citra CEO."

Monica mengerutkan kening. "Baik... dan hubungannya dengan saya?"

Teddy menghela napas, menatap Monica intens. Tatapannya tajam, namun ada sedikit keraguan. "Mereka hanya akan menyetujui kerja sama jika saya sudah menikah."

Monica membelalak. "M-maksud Bapak?"

"Saya tidak punya waktu mencari pasangan dalam waktu dekat. Jadi... saya membutuhkan seseorang untuk berpura-pura menjadi istri saya. Sementara. Sampai kontrak kerja sama selesai."

Hening. Monica mendengar detak jantungnya sendiri. Ia menunggu Teddy tertawa, tapi wajahnya serius.

"Dan Bapak ingin saya...?" Monica menunjuk dirinya sendiri, tak percaya.

"Ya. Kamu yang akan menjadi istri pura-pura saya," jawab Teddy, tenang, seperti menawarkan pekerjaan tambahan.

Monica hampir tertawa, tapi hanya bisa bergumam, "Ya Allah, ini beneran?"

Teddy melanjutkan, "Saya tahu ini tidak biasa. Tapi kamu orang yang saya percaya. Kamu tahu ritme kerja saya, cerdas, dan cukup... menarik."

Monica mengangkat alis. "Cukup?"

Teddy hampir tersenyum. "Sangat menarik, jika itu membantu keputusanmu."

Ini nyata. Bukan mimpi, bukan sinetron. Atasannya menawarkan kontrak pernikahan palsu.

"Kalau saya tolak, bagaimana?" tanya Monica pelan.

"Kamu tetap bekerja seperti biasa. Saya tidak akan memaksa. Tapi, jika setuju, ada kompensasi."

Teddy memberikan selembar kertas. Monica membacanya—matanya hampir melotot.

Rp 50 juta per bulan selama kontrak, plus satu unit apartemen.

Monica menelan ludah. "Ini... bukan jual diri, kan, Pak?"

Teddy menggeleng. "Ini kerja sama. Profesional. Tidak ada kewajiban selain tampil sebagai pasangan suami istri di depan publik dan relasi. Tidak lebih."

Monica memejamkan mata. Wajah ibunya, Lala, sindiran tetangga, dan tekanan usia 28 menyerbu pikirannya. Doanya tadi pagi terngiang: "Ya Allah, jika Engkau tidak mengirimkan jodoh, duda juga tidak apa-apa..."

Ia membuka mata, menatap Teddy. "Boleh saya pikir-pikir dulu, Pak?"

Teddy mengangguk. "Tentu. Tapi keputusan harus diberikan sebelum akhir pekan. Investor datang hari Senin."

Monica berdiri, kaku. Ia membungkuk, lalu keluar ruangan. Teddy menatap punggungnya. "Aku tidak salah pilih orang," gumamnya.

Monica berjalan ke mejanya dengan langkah gemetar. Di pikirannya, hanya satu kalimat berulang: "Ya Allah... ini doa yang dikabulkan atau jebakan, sih?"

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!