Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Pagi pertama di apartemen itu datang tanpa suara. Tidak ada alarm yang berisik, tidak ada teriakan dari lorong asrama, tidak ada langkah kaki terburu-buru orang lain yang saling bertabrakan. Yang ada hanya cahaya matahari yang menyelinap pelan lewat celah tirai tipis, jatuh di lantai kayu berwarna hangat.
Yun Qi terbangun dengan perasaan asing tenang, tapi juga canggung. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar yang terlalu rapi, terlalu bersih. Kamar ini tidak memiliki jejak hidupnya. Tidak ada poster, tidak ada foto, tidak ada barang yang diletakkan sembarangan. Semua terasa seperti kamar hotel jangka panjang, bukan tempat tinggal.
Ia duduk di tepi ranjang, telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin. Nafasnya teratur, tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa mengganjal, seperti ada garis tak terlihat yang ia langkahi semalam dan kini ia berdiri di sisi yang berbeda. Yun Qi menoleh ke arah pintu kamar. Tertutup rapat. Sunyi.
Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah. Pantulan dirinya di cermin membuatnya terdiam sesaat. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya polos tanpa riasan. Terlihat… dewasa. Bukan lagi gadis kecil yang dulu selalu bersembunyi di balik pintu setiap kali Hao Yu pulang larut. “Ini cuma pindah tempat,” gumamnya pada diri sendiri. “Bukan apa-apa.”
Namun kata-kata itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Ketika ia keluar kamar, aroma kopi samar tercium dari arah dapur. Yun Qi berhenti melangkah. Ada seseorang di luar sana.
Ia berjalan pelan, langkahnya nyaris tanpa suara. Dari sudut koridor, ia melihat Wang Hao Yu berdiri di dapur terbuka. Kemeja putihnya digulung sampai siku, jam tangan masih melingkar di pergelangan. Rambutnya sedikit acak tidak seperti biasanya yang selalu rapi sempurna.
Pemandangan itu membuat Yun Qi refleks berhenti. Hao Yu jarang terlihat seperti ini. Terlalu… domestik. Pria itu sedang menuang kopi ke cangkir hitam, gerakannya tenang dan presisi. Seolah ini rutinitas yang sudah ia ulang ratusan kali padahal Yun Qi tahu, ia jarang sarapan di rumah. “Selamat pagi, Ge,” ucap Yun Qi akhirnya, suaranya pelan tapi jelas.
Hao Yu menoleh. Tatapan mereka bertemu selama satu detik yang terasa lebih lama dari seharusnya. “Pagi,” jawab Hao Yu. Nada suaranya netral, tapi matanya menyapu Yun Qi dari kepala sampai kaki bukan dengan cara terang-terangan, melainkan seperti seseorang yang sedang memastikan sesuatu ada di tempatnya. Yun Qi merapikan ujung baju tidurnya tanpa sadar. “Saya tidak tahu Gege sudah bangun,” katanya, sedikit canggung.
“Aku selalu bangun jam enam,” jawab Hao Yu. “Kamu tidur nyenyak?” Yun Qi mengangguk. “Iya. Tempatnya tenang.”
Hao Yu mendorong satu cangkir kopi ke arah meja makan. “Sarapan sebentar. Sopir akan mengantarmu ke kampus.” Yun Qi tertegun. “Saya bisa naik bus seperti biasa.”
“Tidak,” jawab Hao Yu singkat. Nada itu bukan marah, bukan keras. Hanya tegas. Seperti fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Yun Qi duduk perlahan. “Ge… saya tidak ingin merepotkan lagi.”
“Kamu tidak merepotkan,” balas Hao Yu tanpa ragu. Ia duduk di seberang Yun Qi, jarak mereka cukup dekat untuk membuat Yun Qi menyadari betapa sunyinya ruangan itu. “Ini lebih efisien.” Yun Qi menunduk, menggenggam cangkir hangat di tangannya. “Saya tidak ingin terlihat berbeda dari mahasiswa lain.”
Hao Yu menatapnya lama. “Kamu memang berbeda.” Jawaban itu membuat Yun Qi terdiam. Ia tidak tahu apakah harus tersenyum atau merasa tidak nyaman. Mereka makan dalam keheningan. Hanya suara sendok menyentuh piring, dan detak jam dinding yang halus. Tidak ada pembicaraan ringan, tidak ada basa-basi. Namun anehnya, keheningan itu tidak sepenuhnya menekan lebih seperti ruang kosong yang belum tahu harus diisi dengan apa.
Setelah selesai, Yun Qi berdiri. “Saya akan bersiap ke kampus.” Hao Yu mengangguk. “Aku ada rapat. Kita mungkin tidak bertemu sampai malam.”
Yun Qi mengangguk balik. “Baik, Ge.” Ia berbalik menuju kamar, tapi langkahnya terhenti ketika suara Hao Yu terdengar lagi. “Qi.”
Yun Qi menoleh. “Kalau ada yang kamu butuhkan,” kata Hao Yu, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, “katakan saja.” Ada sesuatu dalam nada itu bukan sekadar tawaran, melainkan janji. Yun Qi mengangguk pelan.
Hari itu berjalan cepat di kampus. Yun Qi duduk di kelas seperti biasa, mencatat, mendengarkan dosen, tertawa kecil bersama An Na dan Xiao Lan saat istirahat. Dari luar, tidak ada yang berubah. Namun di dalam dirinya, ada kesadaran baru yang terus mengikutinya kesadaran bahwa setiap langkahnya kini memiliki garis pulang yang berbeda. “Qi,” Mei Ling menyikut lengannya. “Kamu kenapa? Dari tadi bengong.”
“Hah? Enggak,” jawab Yun Qi cepat. “Cuma kurang tidur.” An Na mengernyit curiga. “Serius? Atau karena pindah ke apartemen mewah?” Yun Qi tersenyum tipis. “Itu bukan apartemen mewah. Cuma… tempat tinggal.”
“Tempat tinggal CEO,” sahut An Na sambil tertawa kecil. Yun Qi tidak menanggapi. Ia menunduk, membuka ponselnya. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Namun entah kenapa, ia merasa seperti sedang diawasi bukan dengan cara menakutkan, melainkan seperti seseorang yang berdiri di kejauhan, memastikan ia tidak jatuh. Perasaan itu membuatnya gelisah.
Malamnya, Yun Qi pulang lebih awal. Sopir menurunkannya di lobi, dan ia naik ke atas sendirian. Apartemen masih sunyi. Lampu ruang tamu mati, hanya cahaya kota yang masuk lewat jendela besar. Ia mengganti pakaian, lalu duduk di sofa dengan buku di tangan. Namun matanya tidak benar-benar membaca. Pikirannya melayang ke pagi tadi ke cara Hao Yu berdiri di dapur, ke nada suaranya yang terlalu tenang.
Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh ketika pintu terbuka. Yun Qi menoleh refleks. Hao Yu masuk, melepas jas, ekspresinya lelah. Ketika melihat Yun Qi di ruang tamu, ia berhenti sejenak. “Kamu belum tidur?” tanyanya.
“Belum,” jawab Yun Qi. Ia berdiri. “Gege sudah makan?” Hao Yu menggeleng. “Belum sempat.” Yun Qi ragu sejenak, lalu berkata, “Saya bisa… membuat sesuatu.”
Hao Yu menatapnya, seolah menimbang. “Tidak perlu. Kamu seharusnya istirahat.”
“Saya tidak keberatan,” kata Yun Qi cepat, lalu menambahkan dengan nada lebih formal, “Lagipula, saya tinggal di sini. Saya ingin membantu.” Kata tinggal di sini bergema di kepala Hao Yu. Ia mengangguk pelan. “Baiklah lakukan sesukamu.”
Yun Qi menuju dapur. Gerakannya sedikit kaku, seperti tamu yang takut salah langkah. Ia membuka kulkas, mencari bahan sederhana. Hao Yu berdiri bersandar di meja, memperhatikannya tanpa suara. Beberapa menit kemudian, aroma sup hangat memenuhi ruangan. “Ini sederhana,” kata Yun Qi sambil meletakkan mangkuk di meja. “Tapi hangat.”
Hao Yu duduk, mencicipi. “Enak.” Satu kata itu membuat Yun Qi tersenyum kecil. Ia duduk di seberangnya, menjaga jarak yang sopan. Mereka makan dalam diam lagi, tapi kali ini keheningan terasa berbeda lebih padat, lebih sadar. “Qi,” kata Hao Yu setelah beberapa saat, “kita perlu bicara tentang batasan.” Yun Qi menegang sedikit. “Batasan?”
“Ya.” Hao Yu meletakkan sendoknya. “Kita tinggal serumah sekarang. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan.” Yun Qi menatapnya, menunggu. “Aku tidak akan masuk ke kamarmu tanpa izin,” lanjut Hao Yu. “Aku tidak akan mencampuri urusan kampusmu. Kamu bebas.” Yun Qi mengangguk. “Terima kasih, Ge.”
“Tapi,” Hao Yu melanjutkan, nadanya sedikit lebih keras, “aku ingin kamu pulang tepat waktu. Dan memberitahuku ke mana kamu pergi.” Itu bukan permintaan. Itu aturan. Yun Qi menarik napas. “Saya mengerti.” Hao Yu mengamatinya. Tidak ada penolakan. Tidak ada protes. Itu seharusnya membuatnya lega namun entah kenapa, ada rasa tidak nyaman yang menyelinap.
“Kalau kamu merasa ini terlalu menekan,” katanya pelan, “katakan saja.” Yun Qi mengangkat kepala. Matanya bertemu dengan mata Hao Yu. Ada kejujuran di sana, tapi juga sesuatu yang belum diucapkan. “Saya… merasa aman di sini,” katanya akhirnya. “Itu saja.”
Kata aman itu seperti pisau bermata dua. Hao Yu mengangguk, tapi di dalam dirinya, sesuatu bergerak pelan sebuah kesadaran bahwa rasa aman itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Malam semakin larut. Yun Qi berdiri, membereskan meja. “Saya akan tidur dulu,” katanya. “Selamat malam, Ge.”
“Selamat malam.” Yun Qi berjalan ke kamarnya, menutup pintu dengan hati-hati. Di balik pintu itu, ia menyandarkan punggung, menghela napas panjang. Dadanya terasa hangat, tapi juga penuh pertanyaan.
Di ruang tamu, Hao Yu duduk sendirian. Ia menatap pintu kamar Yun Qi lama sekali, sebelum akhirnya berdiri dan masuk ke ruang kerjanya. Ia menyalakan lampu, membuka laptop namun tidak bekerja. Pikirannya tertinggal di dapur, di meja makan, di senyum kecil Yun Qi yang terlalu mudah ia hafal. “Ini hanya sementara,” gumamnya.
Namun bahkan ia sendiri tidak yakin pada kata-kata itu. Batas telah ditarik. Aturan telah dibuat. Tapi di ruang sunyi apartemen itu, keduanya tahu beberapa garis, begitu digambar, justru membuat keinginan untuk melanggarnya semakin kuat.