Alisya, seorang gadis muda yang lulus dari SMA, memiliki impian untuk melanjutkan kuliah dan menjadi desainer. Namun, karena keterbatasan ekonomi keluarganya, ia harus bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga kaya. Di sana, ia bertemu dengan Xavier, anak majikannya yang tampan dan berkarisma. Xavier memiliki tunangan, namun ia jatuh cinta dengan Alisya karena kepribadian dan kebaikan hatinya.
Alisya berusaha menolak perasaan Xavier, namun Xavier tidak menyerah. Orang tua Xavier menyukai Alisya dan ingin agar Alisya menjadi menantu mereka. Namun, perbedaan status sosial dan reaksi orang tua Alisya menjadi tantangan bagi keduanya.
lalu bagaimana dengan tunangannya Xavier ?
apakah Alisya menerima Xavier setelah mengetahui ia mempunyai tunangan?
bagaimanakah kisah cinta mereka saksikan selanjutnya hanya disini.
setiap masukan serta kritik menjadi motivasi bagi author kedepannya.
Author ucapkan Terimakasih bagi yang suka sama ceritanya silahkan berikan like dan komen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kania zaqila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Keluarga Baru
Hari itu, Alisya bangun dengan perasaan yang lebih ringan, seolah beban yang dia simpan selama ini mulai terangkat. Max sudah tidak ada di sebelahnya, tapi suara anak-anak yang riang di dapur membuatnya tersenyum. Dia mengenakan pakaian santai dan menuju dapur, di mana aroma pancake wangi menyambutnya.
"Mama! Papa Max buat pancake!" seru Xia, berlari memelangi Alisya.
Alisya membungkuk, mencium Xia dan Aran bergantian. "Hmm, wangi sekali! Aku mau yang paling besar!"
Max tersenyum, menggodok adonan di wajan. "Pesan diterima, Nyonya Alisya. Tapi kamu harus bantu Aran, dia ingin coba oleskan selumbar."
Alisya duduk di sebelah Aran, yang dengan serius mencoba mengoleskan selumbar pada pancake. Saat mereka sarapan bersama, bel rumah berbunyi. Lisa, yang sedang main di ruang tamu, berlari membuka pintu.
"Alisya! Ada tamu!" seru Lisa.
Alisya keluar dari dapur, dan melihat seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut berdiri di pintu. "Ibu...?" Alisya merasa napasnya terhenti.
Ibu Xavier, yang Alisya belum pernah jumpa sejak kepergian Xavier, melangkah maju dengan mata berkaca-kaca. "Alisya, anakku... aku bisa masuk?"
Alisya merasa gelombang emosi yang campur aduk—sedih, bingung, sedikit takut. Max, yang mendekat, memelangi bahu Alisya dengan dukungan.
"Tentu, Ibu. Silakan masuk."
Mereka duduk di ruang tamu, Ibu Xavier memelangi Xia dan Aran dengan rasa sayang. "Aku tidak bisa membayangkan betapa miripnya Xia dengan Xavier kecil," katanya, suaranya bergetar.
Alisya tersenyum, merasa ada simpul di tenggorokannya. "Ibu, ini Max, suami aku sekarang. Dan ini Xia dan Aran, anak-anak kami."
Ibu Xavier mengangguk, lalu memandang Alisya dengan mata yang penuh kasih. "Aku tahu, Alisya. Aku tahu Xavier ingin kamu bahagia. Aku... aku ingin meminta maaf, karena aku tidak bisa hadir saat Xavier pergi."
Alisya merasa air matanya naik, dia meraih tangan Ibu Xavier. "Ibu, tidak apa. Kami semua melewati ini bersama."
Percakapan mengalir, sedikit demi sedikit, kehangatan mulai mengisi ruang. Ibu Xavier membawakan beberapa kenangan Xavier—foto, mainan, dan sebuah buku catatan yang dia tulis sebelum meninggal.
"Xavier menulis tentang kamu, Alisya. Tentang betapa dia mencintaimu, dan betapa dia ingin kamu terus hidup," kata Ibu Xavier, suaranya pelahan.
Alisya menangis, tapi bukan tangisan sedih yang menusuk—lebih seperti pelepasan. Max memelangi dia, Xia dan Aran yang merayap ke pangkuannya, seolah ingin memberi dukungan.
Sore itu, mereka semua makan malam bersama, Ibu Xavier bercerita tentang Xavier kecil, membuat anak-anak tertawa. Alisya merasa ada penerimaan yang tak terduga, seolah keluarga baru mulai terbentuk.
Setelah makan malam, saat Ibu Xavier pamit, dia memelangi Alisya dengan erat. "Alisya, kamu adalah bagian dari keluarga kami. Jangan pernah ragu untuk datang, untuk bercerita. Dan Xia... jaga ibunya baik-baik, ya?"
Alisya mengangguk, tersenyum. "Ibu, kami akan selalu ingat Xavier. Dan Ibu, Ibu adalah keluarga kami sekarang juga."
Ibu Xavier tersenyum, air mata yang jatuh. "Aku senang kamu bilang itu, Alisya."
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Alisya dan Max duduk di teras, menatap bintang.
"Kamu tahu, Max?" kata Alisya, suaranya pelahan. "Aku merasa seperti aku mendapatkan keluarga baru. Dengan kamu, dengan anak-anak... dan sekarang dengan Ibu Xavier."
Max memelangi Alisya, tersenyum lembut. "Kita adalah keluarga baru, Alisya. Dan cinta kita, itu abadi."
Mereka berdiam sejenak, menikmati malam yang tenang. Bintang-bintang di atas seolah membisikkan: kamu tidak sendirian.
Minggu berikutnya, Alisya, Max, dan anak-anak menghabiskan hari bersama Ibu Xavier di rumahnya, memilah kenangan-kenangan Xavier yang ingin dia simpan. Rumah itu masih terasa seperti ada Xavier, dengan foto-foto di dinding dan aroma kopinya yang familiar. Alisya merasa ada kekangenan yang tiba-tiba menghampiri, tapi Ibu Xavier dengan lembut membimbingnya.
"Alisya, aku ingin kamu ambil ini," kata Ibu Xavier, menyodorkan sebuah album foto tua. "Ini foto-foto Xavier waktu kecil, waktu dia pertama kali jatuh cinta sama kamu."
Alisya tersenyum, membuka album itu, dan mata yang berkaca-kaca melihat foto-foto Xavier yang ceria, dengan senyum yang sama seperti Xia. Ada foto mereka berdua di pantai, Xavier yang masih muda memelangi Alisya, dengan laut yang biru di belakang.
"Lihat, Mama! Ayah Xavier kecil!" seru Xia, menunjuk foto Xavier yang bermain bola.
Alisya tersenyum, memelangi Xia. "Iya, sayang. Ayah kamu dulu juga suka main bola."
Ibu Xavier duduk di sebelah Alisya, memelangi foto itu. "Xavier selalu bicara tentang kamu, Alisya. Tentang bagaimana kamu membuatnya merasa lengkap. Aku percaya, dia akan sangat senang melihat kamu sekarang, dengan Max, dengan anak-anak."
Alisya merasa ada simpul di tenggorokannya, tapi kali ini bukan sedih yang menusuk—lebih seperti penerimaan yang hangat. Dia memelangi Ibu Xavier, dan wanita itu membalas pelangan dengan air mata.
"Terima kasih, Ibu," bisik Alisya. "Aku merasa lebih dekat dengan Xavier, dengan cara yang baru."
Sore itu, mereka memasak makanan favorit Xavier bersama—spaghetti carbonara—di dapur Ibu Xavier. Anak-anak berlarian, Max membantu mengaduk saus, sementara Alisya dan Ibu Xavier tertawa sambil memotong sayuran. Ada kehangatan yang tak pernah Alisya rasakan sebelumnya, seperti ada lubang kecil di hatinya yang mulai terisi.
Tapi di tengah keseruan itu, telepon Alisya berdering. Rachel.
"Alisya, aku di bandara," kata Rachel, suaranya terdengar berbeda, lebih ringan. "Aku pulang lebih cepat. Bisa ketemu besok?"
Alisya tersenyum, merasa sedikit penasaran. "Tentu, Rachel! Besok kita makan siang bersama."
Setelah makan malam, saat anak-anak sudah tidur, Alisya dan Max duduk di teras Ibu Xavier, menatap bintang-bintang. Ibu Xavier keluar dengan segelas susu hangat untuk mereka.
"Kamu tahu, Alisya," kata Ibu Xavier, suaranya pelahan, "keluarga itu tidak hanya tentang darah. Itu tentang cinta yang dipilih, dan kamu sudah memilih dengan baik."
Alisya memelangi Max, merasa rasa syukur yang dalam. "Terima kasih, Ibu. Aku merasa beruntung."
Max memelangi tangan Alisya, tersenyum. "Kita beruntung, Ibu. Kami semua beruntung."
Malam itu, di rumah mereka, Alisya dan Max berdiam di kamar, anak-anak sudah tidur nyenyak. Alisya mengeluarkan album foto itu lagi, membolak-balik halaman.
"Max?" Alisya menoleh, suaranya pelahan. "Aku kadang masih merasa seperti aku sedang bermimpi. Xavier pergi, tapi kita punya ini... kita punya sekarang."
Max menarik Alisya ke dalam pelukan. "Itu bukan mimpi, Alisya. Itu nyata. Kita memilih untuk hidup, untuk mencintai, untuk membuat kenangan baru."
Alisya mengangguk, merasa air matanya naik, tapi kali ini karena rasa bahagia yang meluap. "Aku cinta kamu, Max."
Max tersenyum, mencium dahi Alisya. "Aku cinta kamu juga, Alisya. Selama-lamanya."
Di luar, bintang-bintang berkelap-kelip, seolah menyaksikan cinta mereka yang terus tumbuh, abadi dalam bentuk yang baru.
boleh mampir juga baca novel baru akuuu yaa🤭😄