Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam yang dingin
“Kamu tau nggak?! Kak Reyhan itu ketua geng motor yang paling ditakuti di Jakarta, Darren!”
Nada suara Syahnaz meninggi, matanya menatap Darren dengan cemas bercampur marah.
Dia sadar Darren baru saja memancing ikan di kandang predator.
Darren terdiam. Nafasnya terengah, darah menetes di sudut bibirnya.
“Darren! Berdiri. Ayo ke klinik,” ucap Syahnaz sambil menopang bahunya.
“Nggak... cuma luka kecil,” jawabnya pelan, berusaha tersenyum meski wajahnya lebam.
“Luka besar sampai muka bonyok gini kamu bilang kecil?! Jangan sok kuat deh!” bentak Syahnaz.
“Ayo cepat naik.”
Ketika melihat Darren nekat naik motornya sendiri, Syahnaz melotot tak percaya.
“Serius kamu naik sendiri, Ren?”
“Hmm... gue bisa kok. Nggak usah lebay khawatirin gue,” jawab Darren dengan senyum kecil yang langsung berubah jadi meringis.
“Senyum-senyum aja lagi... paksain senyum,” gumam Syahnaz kesal, tapi matanya jelas menyimpan rasa iba.
Mereka pun berangkat ke klinik, dalam diam dan tegang yang menggantung di udara.
...---...
...Setelah dari klinik, Syahnaz dan Darren berjalan ke arah yang berbeda....
Langit malam tampak kelam, hujan rintik-rintik mulai turun — seolah ikut menenangkan sisa bara amarah yang baru saja padam.
Syahnaz melangkah pelan menuju apartemennya.
Langkahnya berat, pikirannya penuh dengan bayangan dua pria itu — Reyhan dan Darren.
Dua-duanya sama-sama keras kepala, sama-sama melindunginya, tapi dengan cara yang salah.
Begitu sampai di kamar, Syahnaz langsung melempar tas ke atas meja, lalu duduk di pinggir ranjang.
Tatapannya kosong, terarah ke dinding putih yang dingin.
“Tadi itu... hampir aja kejadian fatal,” gumamnya lirih.
Ia menarik napas panjang dan mengambil ponselnya.
Ada pesan masuk dari Darren:
> Darren: lo udah nyampe apartemen?
Syahnaz buru-buru membalas,
> Syahnaz: ya, udah.
Pesan terkirim. Ponselnya segera ia lempar ke samping bantal.
Dia menghela napas berat.
“Yaa Allah... banyak banget kejadian hari ini,” ucapnya pelan sambil menatap langit-langit kamar.
“Duh, Darren ini cari perkara aja sih,” gerutunya kesal, teringat saat Darren duluan memukul Reyhan.
“Kan jadi ribet begini... padahal aku baru aja lolos dari orang itu, ya Allah... sekarang malah Darren yang nyenggol orang yang salah.”
Rasa khawatir kembali muncul.
“Kenapa mereka sama-sama emosian, dan harus ketemu pula... ya Allah, jadi perang begini, kan?”
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lelah, khawatir, tapi juga pasrah.
“Semoga aja nggak ada kejadian kayak gini lagi... atau yang lebih parah dari ini. Jangan sampai, ya Allah...” bisiknya dengan suara gemetar.
Beberapa detik hening.
Pikirannya perlahan beralih pada hal lain.
“Hampir aja lupa, aku harus segera ke Surabaya buat ambil ijazah,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun pikirannya kembali melayang entah ke mana —
tentang Reyhan yang kini mungkin sedang terluka,
tentang Darren yang pura-pura kuat,
tentang dirinya yang terjebak di tengah dua dunia yang sangat berbeda.
Tanpa sadar, matanya mulai terasa berat.
Suara hujan di luar jendela menjadi nina bobo paling lembut malam itu.
Dan Syahnaz pun tertidur pulas... dengan sisa keresahan yang belum sempat ia jawab.
...----------------...
POV Reyhan
Malam itu udara dingin.
Asap dari knalpot motornya perlahan memudar di antara kabut tipis kota Jakarta.
Reyhan menepi di pinggir jalan, menyalakan rokok, lalu menatap kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkelip dari kejauhan.
Tangan kanannya masih bergetar. Bukan karena dingin, tapi karena amarah yang belum benar-benar padam.
Setiap kali dia mengingat wajah bocah itu—Darren—darahnya kembali mendidih.
Namun setiap kali wajah Syahnaz terbayang, semuanya seperti dilenyapkan dalam satu hembusan napas panjang.
Dia memejamkan mata.
Suara Syahnaz berteriak memanggilnya tadi masih terngiang di kepala.
“Stop!! Udah kak Reyhan!!”
Nada panik dan ketakutannya menusuk lebih dalam dari pukulan mana pun.
Reyhan menggertakkan gigi.
“Kenapa gue harus segitunya marah…” gumamnya lirih.
Dia menatap langit, mencoba menahan perasaan yang rumit di dadanya.
Bukan cuma marah, sebenarnya dia juga takut.
Takut kehilangan adik satu-satunya.
Takut Syahnaz menjauh karena melihat sisi gelap dirinya — sisi Reyhan yang masih menjadi ketua geng motor, masih keras, masih mudah meledak.
Dia menarik napas panjang, lalu menghembuskan asap rokok perlahan.
“Gue cuma pengin lindungin dia…” katanya pelan.
“Tapi tiap kali gue coba, gue malah bikin dia takut.”
Reyhan menatap ponselnya. Ada pesan belum dikirim yang sudah ia tulis dari tadi:
> Reyhan: Maaf. Gue kebablasan tadi. Lo baik-baik aja kan?
Pesan itu tak jadi dikirim. Ia hapus lagi.
Dia tahu, Syahnaz pasti tidak akan menggubris pesan dari-Nya, apalagi dari nomor yang tidak ia kenal.
Motor besar itu kembali melaju.
Kali ini Reyhan tak mengebut seperti biasanya — hanya membiarkan angin malam menampar wajahnya, seolah itu bisa menghapus rasa bersalah yang menumpuk di dada.
Ketika berhenti di lampu merah, ia berbisik pelan,
“Maafin abang ya, Syah… abang cuma pengin jagain kamu.”
Lampu berubah hijau.
Dan Reyhan pun menghilang di antara keramaian malam, dengan perasaan yang jauh lebih berat dari luka mana pun yang pernah dia dapatkan di jalanan.
...----------------...
Keesokan harinya
Pagi itu, aroma mentega dan gula memenuhi ruangan kecil tempat Syahnaz biasa membuat kue. Ia sibuk memanggang roti dan menata kue-kue pesanan ke dalam toples untuk diantar ke pelanggan.
Bel rumah berbunyi — Teng nong!
“Siapa sih datang jam segini?” gumamnya heran sambil menyeka tangannya dengan celemek. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Ternyata, di sana berdiri Darren dengan wajah masih terlihat lebam.
“Darren? Kamu nggak istirahat aja sampai muka kamu sembuh gitu?” ucap Syahnaz sambil kembali memasukkan kue ke dalam toples.
“Gabut gue. Di kos nggak ada kerjaan,” jawab Darren santai sambil memperhatikan kue-kue yang tersusun rapi di meja.
Syahnaz meliriknya sekilas lalu tersenyum kecil.
“Mau kue?” tawarnya, tahu betul arah pandang Darren dari tadi.
“Mau...” jawab Darren cepat, matanya berbinar seperti anak kecil.
“Tuh, di baskom itu. Tapi makan yang cacatnya aja yaa,” ucap Syahnaz sambil terkekeh.
“Hah? Kue cacat?” Darren manyun. “Lo kasih gue yang jelek-jelek gitu?”
Syahnaz tertawa kecil. “Yaelah, meskipun bentuknya berantakan, rasanya tetap enak kok. Cobain aja dulu.”
Darren mengambil satu, memandangi bentuk kue yang agak miring, lalu menggigitnya pelan.
“Hmmm... lumayan. Nggak seburuk rupanya,” ucapnya sambil mengangguk-angguk puas.
“Yaelah, gengsi banget sih, bilang aja enak,” goda Syahnaz sambil menyengir.
Darren hanya tertawa — sampai akhirnya meringis kesakitan karena sudut bibirnya yang masih luka.
“Eh, btw,” ucap Darren setelah menelan sisa kue, “lu sendiri yang nganter semua kue ini?bisa baca alamat nya?”
“Iya, aku sendiri,” jawab Syahnaz mantap. “Emang kenapa? Kamu kira aku nggak bisa baca Google Maps?”
Darren mengangkat bahu sambil nyengir. “Ya gimana ya, biasanya tuh cewek-cewek kebanyakan nggak bisa baca maps. Siapa tahu lu juga...”
“Ya ampun, kamu meragukan aku, Darren?!” Syahnaz mendengus sambil menyilangkan tangan di dada. “Denger ya, aku ini bukan biasanya perempuan, tapi luar biasanya perempuan! Karena itu aku bisa. Aku kan limited edition!”
Darren langsung ngakak. “Hahaha! Pede banget sih lu banggain diri sendiri—akhh!” teriaknya pelan saat bibirnya kembali terasa nyeri.
“Nah tuh kan! Ngetawain aku sih, jadi kena deh,” ucap Syahnaz puas sambil terkikik.
“Duh, gue sakit, Cil...” ucap Darren meringis.
Syahnaz malah tertawa lebih keras, wajahnya cerah seperti pagi itu — hangat, ringan, dan sedikit chaos dengan tawa.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.