Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Kamar yang Tak Lagi Menyambut
Langkah Shannara pelan, hampir tanpa suara, menelusuri lorong rumah yang terasa asing padahal dulu ia tumbuh di sana.
Setiap derit lantai seperti memanggil kenangan lama yang ingin ia lupakan. Masa kecil yang penuh tangis, penuh tekanan, penuh bentakan, dan tanpa pelukan.
Tangannya bergetar saat memutar gagang pintu kamarnya. Engsel berdecit panjang. Begitu pintu terbuka, debu langsung beterbangan, menyambutnya seperti kabut masa lalu.
Ruangan di baliknya membuat dadanya sesak dan hampa. Kamar itu tampak berantakan dan asing, jauh dari gambaran tempat berpulang.
Tumpukan kardus bekas menutupi lantai. Koper rusak, boneka lama tanpa kepala, dan tumpahan pakaian kotor memenuhi sudut ruangan. Bau lembap bercampur dengan aroma kertas tua yang lapuk. Tirai yang dulu putih kini berwarna kusam keabu-abuan, menggantung miring di jendela.
Shannara berdiri di ambang pintu, matanya bergetar menatap pemandangan itu. Kamar ini… dulu tempat ia bersembunyi dari amarah ibunya. Tempat ia menangis diam-diam sambil menatap foto neneknya. Tempat terakhir ia merasa punya rumah. Sekarang, bahkan dindingnya pun seperti menolak kehadirannya.
Ia melangkah masuk, menyingkirkan kardus dengan sepatu. Debu berterbangan, menyesakkan dada. Satu langkah, dua langkah dan lututnya hampir goyah.
Ranjang lamanya masih di sana, tapi kasurnya dipenuhi barang-barang bekas dan plastik robek. Di atas meja rias, ada kaca kecil dengan retakan di sudutnya. Ia menatap bayangannya di sana.
Wajahnya pucat. Mata bengkak, rambut berantakan, bibir kering pecah. Wajah yang sama seperti gadis berumur tujuh belas tahun yang dulu diusir karena dianggap membawa sial.
"Kenapa aku... selalu nggak diinginkan?" bisiknya lirih, hampir tanpa suara.
Ia menatap dirinya sendiri lama sekali, sampai matanya basah. Lalu perlahan, tangannya bergerak ke perut. Gerakan itu refleks, tapi membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Kata-kata Sergio terngiang lagi di kepalanya:
"Bagaimana kalau kamu hamil anakku, Nara?"
Darahnya berhenti mengalir. Ia menutup mata, napasnya memburu. Dalam benaknya, malam itu berputar kembali, bayangan yang tak ingin diingat tapi tak bisa dihapus.
Ia menelan ludah, lalu dengan tangan gemetar mengambil ponsel. Mengetik sesuatu di kolom pencarian:
"Pencegahan kehamilan setelah hubungan tanpa pengaman."
Layar ponsel menyala terang di ruang gelap itu, memantulkan cahaya di matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia membaca cepat, kalimat demi kalimat. Dan di antara tulisan-tulisan medis yang kaku itu, matanya berhenti pada satu kalimat:
"Efektif hanya jika diminum dalam waktu 72 jam setelah berhubungan."
Tangannya melemas. Ponsel itu jatuh ke lantai, membentur keras.
Terlambat.
Shannara duduk di lantai, lututnya terlipat, punggungnya bersandar pada ranjang yang dingin. Ia menunduk, memegangi perutnya lagi, kali ini dengan tangan yang gemetar hebat. "Kenapa..." suaranya pecah. "Kenapa hidupku nggak pernah punya jeda dari sial?"
Air mata jatuh deras, membasahi tangan dan lututnya. Ia mencoba menahan, tapi tangis itu menembus pertahanannya, keluar dengan suara serak dan lirih.
"Kalau Nenek masih ada…" gumamnya di antara sesenggukan, "aku pasti nggak sendirian begini…"
Ponselnya bergetar pelan di lantai. Sebuah pesan masuk.
> Sergio:
“Kamu sudah di rumah?”
Shannara menatap layar itu lama, menimbang. Jantungnya berdetak pelan tapi menyakitkan.
Ia mengetik balasan pendek:
> “Sudah. Tolong jangan hubungi lagi.”
Beberapa detik hening. Lalu ponsel bergetar lagi.
> Sergio:
“Aku nggak akan berhenti sampai tahu semuanya, Nara.”
Shannara menatap pesan itu lama. Bibirnya bergetar.
Ia menghapus air mata dengan punggung tangan, lalu berbisik lirih ke udara,
“Kalau kamu tahu semuanya... kamu bakal benci aku selamanya.”
Ia menatap langit-langit, retak dan berdebu, lalu berbaring di ranjang yang dingin. Angin malam berhembus lewat jendela yang terbuka separuh, menggoyang tirai tipis dengan lembut—seperti tangan tak terlihat yang mencoba menenangkannya.
Tapi tidak ada ketenangan malam itu.
Tidak untuk Shannara.
Ia memeluk perutnya, matanya terbuka menatap gelap.
Di luar, suara anjing menggonggong jauh di gang belakang. Di dalam kamar, hanya terdengar suara napasnya yang berat dan patah-patah.
Malam terasa panjang.
Dan untuk pertama kalinya, Shannara benar-benar takut menghadapi pagi.