Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Kakek Darmawan menua
Kakek Darmawan menua bersama penantian. Di setiap detik yang ia habiskan di kursi rotan lamanya, harapan itu tak pernah benar-benar padam bahwa suatu hari, putri sulungnya yang bernama Inaya Putri akan pulang ke pelukannya.
Namun, waktu terus berlalu.
Angin yang datang dan pergi, hujan yang mengguyur berulang kali, tarian matahari yang kian mengurangi usianya, tak pernah membawa sosok itu kembali. Inaya tak sekalipun menjejakkan kakinya lagi di rumah itu.
Yang tersisa hanya penyesalan. Kakek masih ingat hari ketika amarahnya meluap dan kata “pergi!” meluncur begitu tajam dari mulutnya hanya karena Inaya bersikeras ingin tinggal bersama suaminya di kota. Padahal restu sudah ia berikan, bahkan ia menikahkan putrinya dengan penuh keikhlasan saat gadis itu baru lulus SMA.
Kini, semuanya terasa sia-sia.
Ketika kabar itu datang bahwa tanah warisan Inaya telah berubah menjadi perusahaan milik Naru, segala kenangan yang tersisa pun runtuh bersama hatinya. Kakek berusaha menolak pembangunan itu dengan segala cara...
Mengaku tanah itu tanah leluhur, tanah kutukan, bahkan tanah yang tak pernah ia jual kepada siapapun. Ia melakukan segalanya demi menjaga sesuatu yang baginya adalah kenangan terakhir tentang Inaya.
Kenyataan yang pahit akhirnya terungkap. Tanah itu bukan dijual oleh orang asing, melainkan oleh putri keduanya sendiri, Aliya Putri. Dan di saat itu juga, Kakek Darmawan jatuh terpuruk. Penyesalan yang lama terkubur kini menghantamnya sekaligus.
Bagi Naru, nama Inaya Putri terasa akrab di telinganya. Ada sesuatu dalam nama itu, seperti pernah ia dengar. Tanpa pikir panjang, Naru berjanji akan mempertemukan Kakek Darmawan dengan putri pertamanya itu, apapun yang terjadi.
Naru memutuskan untuk mencarinya sendiri. Bukan karena ia tak percaya orang lain, tapi karena ia merasa nama itu menyimpan sesuatu yang sangat pribadi. Ia takut jika terlalu banyak orang terlibat, kebenaran itu justru akan kabur di antara kepentingan dan rahasia keluarga besar yang selama ini ditutup rapat.
Di sisi lain, Naru tak bisa menutupi penyesalannya. Pembangunan perusahaan yang seharusnya menjadi proyek besar penuh kebanggaan, kini berubah menjadi sumber konflik. Ia sadar, menghentikan proyek itu bukan pilihan mudah.
Kerjasama dengan para investor asing telah berjalan sejauh ini. Jika ia menghentikan pembangunan begitu saja, maka denda pembatalan kontrak akan menguras seluruh modal perusahaan. Rantai suplai akan kacau, dan reputasinya di dunia bisnis bisa hancur dalam semalam.
Naru menatap berkas kontrak di mejanya. Setiap angka di sana terasa seperti belenggu. Pusing dia, belum dapat income sepeserpun dari jerih payah yang sedang ia jalani.
Meski begitu, Naru tetap berjanji untuk menghormati Kakek Darmawan. Ia tahu pria tua itu bukan orang sembarangan. Ia pernah mendengar kabar samar bahwa peternakan miliknya dijadikan lahan pencucian uang, tapi belum ada bukti pasti.
Karena itu, Naru bertekad untuk membantu menata ulang sistem pengelolaan dan keuangannya sebagai bentuk penghormatan dan itikad baik kepada keluarga Darmawan sekaligus Kanaya sebagai teman satu kelas istrinya.
“Kalau aku bisa memperbaiki hubungan keluarga mereka, mungkin aku juga bisa memperbaiki diriku sendiri,” gumam Naru.
Naru sadar ia membutuhkan seseorang yang kuat, berpengalaman, dan memahami seluk-beluk perdagangan gelap di balik industri ternak, seseorang yang bisa melindungi sistem peternakan itu dari sabotase dan tekanan pihak luar.
Sejenak...
Ia merebahkan punggungnya di kursi eksekutif di ruang kantornya sendiri tapi di perusahaan milik ayahnya. Perusahaan Percetakan 'Hartono Printing.' Apa jabatan Naru di perusahaan ini? Nggak ada! Dia cuma nebeng ngadem doang, hihi...
Naru merasa lega mengetahui istrinya kini berada di sisi sang ibunda. Meski bagian dirinya ingin sekali menyusul, memeluk, dan memastikan sendiri bahwa wanita itu baik-baik saja. Tapi kata-kata Sifa terngiang jelas, “Nuha butuh ruang.”
Ruang…
Sesuatu yang terasa menyesakkan bagi pria yang terbiasa mengekang rindunya dalam diam. Setiap jam tanpa Nuha membuat dadanya gatal, bukan karena marah, tapi karena rindu yang tak bisa ia salurkan.
Kapan kamu pulang Naru? Istrimu kini sedang beradu konflik dengan manusia berbisa bernama Naomi. Mereka sekarang satu rumah di rumah besar milik Ibunda Maya.
Sifa mengetuk pintu ruang kantor Naru. Yah, tepatnya bukan mengetuk, tapi menabrak pintu lalu menyelonong masuk sambil kipas-kipas pakai map. “Gaswat, Ru!” serunya tanpa tedeng aling-aling.
Gosiper nomor satu kantor itu siap menyalakan drama. “Bokap lo-- Ups!” Sifa buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. “Tuan Hartono baru aja ganti posisi Akuntan dengan wanita cantik! Kasihan banget, sekarang Kak Muha diturunin jadi asisten akuntan.”
Naru menatapnya malas setengah heran. “Berita dari mana itu, Sifa? Kabar itu belum masuk ke berita online. Jangan ngada-ngada deh.”
Ia mencoba bersikap santai. Tapi dalam hati, suara Sifa tadi langsung menggelitik ingatan tentang wajah Nuha yang cemberut berat saat tahu dia terlalu dekat dengan Sifa. Mau dimarahi, nggak tega. Mau dipecat, nggak rela. Soalnya, Sifa itu satu-satunya informan tercepat di kantor...
dan sahabat istrinya sendiri.
Sifa menepuk dadanya dengan bangga. “Radar kekepoanku itu lebih cepat dari takdir Tuhan, you know…” dia langsung istighfar di dalam hati.
“Wanita cantik?” Naru memutar pena di tangan, “Memangnya siapa namanya?”
“Belum, tapi kabarnya dia direkrut langsung sama Tuan Hartono tanpa proses HR.” Sifa mencondongkan badan, matanya membulat penuh antusias. “Katanya sih… lulusan luar negeri, cantik, kalem, dan anehnya langsung dapet akses ke semua data keuangan utama perusahaan.”
Pena di tangan Naru berhenti berputar. “Akses penuh?” suaranya turun satu oktaf, tenang tapi menusuk. Itu bukan hal biasa.
Sifa mengangguk. “Iya. Dan tahu nggak? Katanya waktu datang pertama kali, dia langsung dibawa ke ruang kerja bokap lo. Berduaan lama banget di sana. Pegawai lain sampai bisik-bisik.”
Naru berdiri, memasukkan tangan ke saku celana.
“Nama lengkapnya siapa?”
“Belum ada di sistem, tapi aku sempat dengar staf resepsionis nyebut nama… Soo-- eh, aku lupa! Pokoknya mirip nama orang yang pernah kita kenal dulu.”
Naru menatap kosong ke arah jendela, napasnya tertahan sesaat. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar aneh. “Mirip nama siapa?”
“Ni-- nih!” Sifa buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan foto hasil potretan samar, Tuan Hartono tengah berjabat tangan dengan seorang wanita anggun.
“Aku nggak tahu pasti. Tapi aneh aja, Ru. Kenapa harus orang baru yang cantik banget yang dikasih jabatan dekat sama Tuan Hartono?” ungkapnya.
Begitu matanya menangkap wajah itu, pupil Naru mengecil drastis. “Bi--” suaranya tercekat. “Bibi Soora?”
Sifa mengerjap kaget. “Lo… kenal?”
Wajah Naru menegang. “Dia… ibunya Naomi.”
Sifa spontan menjatuhkan ponselnya sampai bunyi tlak! di lantai. “A-- apa? Seriusan?! Jangan-jangan dia juga se-- selicik anaknya?”
“Aku nggak yakin,” ucap Naru pelan, menatap langit kelabu dari balik jendela. “Tapi Bibi Soora itu sahabat ibunda. Mereka sangat dekat. Bahkan dulu dijuluki 'futago no shin’yuu' sahabat kembar waktu di Jepang. Dan sekarang… dia bersama Ayah.”
Sifa menelan ludah, lalu tiba-tiba mundur dramatis seperti di sinetron. “Ja-- jangan-jangan… bokap lo mau selingkuh sama dia?”
“Ha?!” Naru menatap tak percaya.
Sifa langsung menunjuk wajahnya sendiri. “Lo denger, ya! Gue sahabat istri lo, tapi lo jangan sampe coba-coba godain gue juga. Kalau lo berani selingkuh atau ngerayu gue-- gue sumpahin lo masuk neraka tujuh turunan!”
Naru spontan menutup wajah, antara stres dan geli. “Astaga… siapa juga yang punya bakat ngerayu cowok? Lo kali yang tiap ngomong tuh udah kayak sales parfum.”
“Lo nuduh gue sekarang?!” Sifa menepuk dadanya dengan gaya marah lebay. “Dasar bos kurang ajar! Makanya Nuha benci banget sama lo! Siapapun lo baikin, kocak! Apapun yang berhubungan dengan Nuha, selalu lo perlakukan lembut.”
Naru menatapnya bingung, “Terus gue harus gimana? Gue cuma--”
“Denger, ya.” Nada Sifa tiba-tiba berubah tenang tapi tegas. Ia menatap Naru dengan mata yang serius.
“Nuha itu bukan cuma butuh laki-laki yang sabar, tapi juga yang bisa tegas Milih sisi mana yang mau dia lindungin. Lo nggak bisa nyebar kebaikan lo ke semua orang dan nganggep itu bukti cinta ke dia. Cinta tuh, Ru… harus punya pagar.”
Naru terdiam. Kata-kata itu menembusnya pelan-pelan.
Sifa melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Lo sayang banget sama dia, gue tahu. Tapi jangan sampai kebaikan lo ke dunia bikin Nuha ngerasa cintanya cuma bagian kecil dari ‘dunia’ itu. Kadang… seseorang cuma pengen tahu kalau tempatnya di hati lo itu satu-satunya, bukan salah satu.”
Sesaat ruangan itu hening. Hanya bunyi detik jam yang terdengar. Naru menunduk, bibirnya menekan pelan. “Nuha takut kebaikanku yang terlalu luas itu justru bikin dia terluka, seolah cintaku nggak punya batas eksklusif.” gumamnya.
Sifa nyengir kecil. “Udah, jangan baper. Lo cukup traktir gue makan sushi nanti.”
.
.
.
. Sifa~ Nuha bisa cemburu lagi donk kalo tahu kalian makan berdua... Hadeh... Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊