Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYU 12
Ini hari ketiga setelah Gibran dinyatakan koma, tepat saat gue baru aja balik dari sekolah, dan memilih buat bersih bersih disana. Pria itu sadar dan gue jadi satu satunya orang yang pertama kali dia lihat setelah koma.
Ibu nya Gibran ada meeting dengan klien dari China dan baru aja bilang sama gue bakal datang sedikit terlambat dari jam pulang kantor. Sementara Haris dan Daffa, mereka sedang sibuk mengurus kasus yang terjadi pada Gibran di kantor polisi.
Banyak benturan yang dialami Gibran, membuat kepalanya mengalami beberapa trauma yang sulit sekali gue pahami kalau dokter yang bilang. Apapun itu, gue selalu berharap Tuhan masih punya belas kasih untuk Gibran tetap hidup.
Agaknya, doa anak sholehah selalu dijabah. Gue bisa ngelihat lagi Gibran bernapas didepan gue. Dengan dokter yang kembali memeriksa keadaan pira itu. Beberapa alat yang akhir akhir ini menempel di tubuh Gibran satu persatu mulai dilepas.
Gue menitihkan air mata tepat saat Gibran menatap gue balik, dia masih inget gue ngga sih?
Ya walaupun sedikit lebay kedengerannya. Na! Dia cuma koma tiga hari! Tapi rasanya kaya tiga tahun. Gue kehilangan kenangan kenangan singkat kita saat Gibran koma.
Gue menghela napas. Tangan kekarnya itu meminta gue mendekat. Tepat saat Haris dan Daffa baru saja membuka pintu tangisan gue pecah, pelukan yang selama ini tak berbalas, dibalas sang pemilik. Jangan lupakan senyum manis pria itu. Bahkan dalam keadaan sakit dan baru sadar dari koma pun, Gibran tetap Gibran yang tampan.
Gue bisa merasakan kehangatan saat tangan itu membalas pelukan gue. Walau gue yakin Gibran justru kedinginan karena air mata gue yang tak kunjung berhenti.
"Gib" suara berat Haris menguasai ruangan.
Kedua pria itu mendekat.
"Ternyata elo yang selalu minta gue bangun, Na"
Tangis gue kembali pecah. Suara yang selama ini gue rindukan kembali terdengar. Diikuti dengan tangis diam diam Haris yang dirangkul Daffa.
Setiap malam dan setiap siang, saat dimana tak ada siapapun yang menemani Gibran. Gue selalu ambil andil ngebisikin pria itu untuk segera bangun.
Ada dunia yang menangis melihat Gibran terkapar. Ada banyak teman yang merindukan gelak tawa pria itu. Ada rasa sesal dari balik persahabatan yang hanya jadi kata 'seandainya'. Ada air mata yang selalu seorang Ibu pendam dan panjatkan agar sang buah hati segera bangun.
Ada sesak dada yang selalu merindukan, peluk kasih yang selalu ingin terbalas, ada gue yang selalu berharap kemungkinan itu adalah Gibran bisa bangun kembali.
"Makasih udah bertahan, kamu hebat, Gib" sesak gue sebelum bangun untuk kembali menatap.
"Jangan nangis" tangan Gibran yang bergetar mengusap kedua pipi gue yang basah. Gue ngga akan pernah bisa mendeskripsikan wajah gue sekarang. Pasti kedua mata gue udah merah bengkak dan hidung gue kaya tomat ceri busuk!
"Lo mau makan ngga? Laper ngga udah tiga hari ngga makan? Gib,"
"Na, makanannya di bantu infus" Daffa kali ini menyela. Membuat Gibran terkekeh melihat gue yang sibuk melontarkan beberapa pertanyaan.
"Gue kira lo mati"
Gue melempar tatapan tajam pada Haris yang lantas duduk di kursi samping ranjang. Menatap sahabatnya yang masih cukup lemah dalam menanggapi ucapan Haris.
"Gue bawain makanan, gue yakin lo belum makan" Daffa meletakkan empat kotak makanan di meja sambil merebahkan tubuhnya disofa.
"Kara lagi otw"
Sementara Haris? Pria itu belum beranjak dari duduknya, dia masih ingin melihat sahabatnya itu walau dalam keheningan. Mungkin dia merindukan kebersamaannya bersama Gibran. Yang tiga hari terakhir harus dilewati tanpa kehadiran sahabatnya.
"Gue tadi ke kamarnya Biyan, Na"
Gue cuma melirik setelah membantu Gibran meraih ponselnya di nakas.
"Ada cewek, pacarnya?"
"Bukan katanya" gue menekan tombol on di ponsel yang sudah lebih dari tiga kali duapuluh empat jam tidak dia sentuh.
"Passwordnya apa?"
"Tanggal lahir lo"
Gue tersenyum canggung. Sementara Haris? Pria itu agaknya berekspresi seperti sudah tau segalanya. Seakan tidak ada yang pantas untuk dicurigakan lagi. Gue bahkan hampir lupa bahwa Haris dan Gibran itu bersahabat.
"Ini"
"Mantannya udah kerja apa ya? Dia bilang mau ngurus berkas di kantor" gue kali ini beranjak. Meraih makanan yang Daffa bawa untuk gue santap.
Jujur saja gue lapar karena semenjak siang belum sempat makan. Bahkan melihat kantin yang ramai tanpa Gibran dan gengnya saja membuat gue ngga napsu.
"Lo inget Adista ngga sih, Ris?"
Gue menoleh kejut pada Daffa yang sembari tadi terpejam sambil meletakkan lengannya dikepala mulai bicara. Kok dia bisa tau?
"Adista Rahmadhani"
"Yang pertukaran pelajar itu?"
"Iya, gue denger sih dia sempet balik beberapa bulan lalu" kali ini Daffa bangkit dan ikut bergabung sama gue. Tanpa peduli dengan ekspresi apa yang sedang gue tunjukkan sekarang.
"Mirip ngga sih kalo kata lo?"
"Bukan mirip lagi itu mah, orang dia bener Adista" balas Haris.
"Setau gue Dista ngga pertukaran"
Kali ini ketiga pasang mata menuju ke arah Gibran. Pria itu meletakkan ponselnya diatas perut, sambil sesekali melihat ke arah kita bertiga.
"Cuma bokapnya aja bawa dia ke Kanada"
"Kok gue ngga kenal?" Tanya gue bingung.
"Lo kuper" sindir Daffa yang gue balas dengan tonjokan ringan di lengannya.
Malam ini, cuma gue dan Haris yang tetap tinggal. Karena ini malam minggu, jadi gue memutuskan untuk minta ijin ke Ayah Bunda bakal jagain Gibran bareng Kara. Walau aslinya mah Kara sama Daffa lagi sibuk pacaran diluar.
Haris udah terlelap satu jam yang lalu di sofa. Tepat saat televisi yang dia tonton menampilkan iklan, justru sekarang televisi itu yang menonton Haris tidur.
Sementara gue sembari tadi menemani Gibran membaca buku yang sengaja gue bawa dari rumah. Tiduran disebelah pasien yang sakit adalah hal yang tidak pantas ditiru atau dilakukan. Tapi untuk saat ini, Gibran sedikit memaksa.
Pria itu menjadikan tangannya sebagai bantal dan pegangan untuk membuka buku itu. Sisanya, gue cuma ikut baca aja sih. Sambil sesekali tergelak karena cerita didalamnya.
"Makasih, Na"
Gue mendongak saat Gibran tiba tiba melontarkan kata itu. Gue bisa lihat bagaimana suara lembut itu sekali lagi Gibran utarakan. Sejuk, sungguh. Melebihi dinginnya malam dan sejuknya siang ketika hujan.
Gue tersenyum tepat saat pria itu menutup buku bacaan kita. Tangannya mengusap anak rambut gue sebelum membalas senyuman gue dengan deretan gigi rapihnya.
"Jangan tinggalin gue walau kita ngga akan bisa sama sama sekalipun"
"Ngomong apaan sih, Gib"
"Nyokap sama Bokap cerai saat gue lulus SMP, itu masa paling berat dihidup gue, saat Bokap lebih milih pindah ninggalin gue sendirian"
"Sama Mamah kan?"
Gibran menggeleng pelan, "sekaligus ninggalin orang yang udah ngehianatin dia"
"Gib?"
"Gue benci sama Mamah, Na. Tapi sampai detik inipun gue ngga bisa bilang itu ke dia" gue bisa denger suara Gibran bergetar.
Sekali lagi gue tekankan. Gue ngga perlu tahu semua ini. Kisah Abiyan ataupun Gibran, itu cukup mereka aja yang tahu kan? Terkecuali kalau mereka benar benar ingin gue jadi bagian dari hidup mereka.
"Jangan ya?" Gue mengusap pipi Gibran.
"Mamah selingkuh, Na. Bahkan saat gue tau fakta itupun gue ngga bisa bilang kalau gue benci sama dia"
Ucapnya sekali lagi.
Ternyata ini adalah jawaban dari rasa penasraan gue waktu itu. Saat dua orang yang mendua dihidupnya, Laras dan Mamah nya sendiri.
"Dengerin gue, sampai kapanpun dia tetap Mamah lo. Jangan benci atau berasumsi untuk benci sama dia" gue kali ini mengusap rambut Gibran. Melemparkan senyum saat air mata pria itu hampir menetes.
"Gue butuh cerita semua ini ke elo" Gibran meraih tangan kanan gue, menyalurkan kehangatan satu sama lain dengan tatapan tajamnya seperti biasa.
"Ceritain apapun, gue akan jadi pendengar yang baik"
Gibran kembali tersenyum. Agaknya cuma Gibran yang bisa ngajarin gue arti kata jatuh hati. Saat air mata tak kunjung surut, saat kepergian yang hanya sejenak meninggalkan kegelisahan, saat lamunan hanya diisi oleh senyumnya.
Saat debaran jantung terasa lebih berisik dari biasanya, tepat benda kenyal itu menyentuh bibir gue dengan lembut. Gue bisa rasain gimana manisnya saat pria yang sedang gue tatap itu memejamkan matanya. Tangannya yang hangat menyentuh rahang gue untuk sedikit mendorong gue maju.
Tanpa sadar, gue menikmatinya. Memejamkan mata saat justru bibir gue tersenyum di sela lumatan kecil yang Gibtan ciptakan.
Gue akan jadi manusia paling dusta sekarang! Kutuk gue sekarang karena ini adalah sebuah kesalahan! Tapi justru terjebak didalam kesalahan ini bersama Gibran adalah hal yang ingin gue ulangi sekali lagi, nanti.
Munafik kalau gue ngga hanyut dalam dekapan hangat pria itu. Bahkan saat kedua tangan gue dia arahkan untuk melingkar pada pundaknya. Sesapan kehangatan yang tak kunjung berhenti, gue rasa, gue sedang jatuh cinta.
Pria itu terkekeh mengusap sudut bibir gue sebelum memberikan kecupan singkat disana. Apakah ini sebuah ketulusan? Bahkan saat ucapan maaf keluar dari bibirnya, gue hanya bisa balas dengan senyuman tipis.
"Na, jangan tinggalin gue ya?"
Gue mengangguk pelan sebelum melepaskan lingkaran tangan gue, mengusap rambut Gibran yang belum juga dipotong saat terakhir kali gue nyuruh dia.
"Besok mau jalan jalan?"
"Boleh, tapi dideket rumah sakit aja ya?"
Gibran mengangguk pelan. Memberikan kembali rangkulan hangatnya sebelum menatap manik gue.