Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
***
Laksa belum sempat berganti baju, tapi sudah dulu rebahan di atas kasur. Wajah kusut, pikiran mengawang-awang, suasana hati jadi memburuk gara-gara kemeja flannel sialan itu. Andaikan tidak sok-sokan meminjamkan, mungkin situasinya tidak akan jadi kacau seperti sekarang. Mana, Abi jadi ikut-ikutan mengejeknya pula. Emang kamfret!
“Emang paling bener gue nggak usah nyamperin dia.”
Kemeja flannel tak berdosa itu berakhir di keranjang cucian setelah dibanting penuh dendam. Sebetulnya yang jadi kunci permasalahan itu aroma citrus—wangi parfum ayahnya juga— tapi jika harus membantingnya, terlalu berlebihan, ‘kan? Apalagi parfum itu tidak bisa dibeli dengan cuma-cuma.
“Berarti yang salah itu dia,” gerutunya tak henti-henti.
Laksa. Laksa. Bisa-bisanya malah menyalahkan semua hal atas rasa pedulinya kemarin.
“Dek?” Panggilan itu datang bersama dengan ketukan di pintu. “Bunda boleh masuk?”
“Boleh.”
Mitha datang membawa surat edaran yang dibagikan oleh Abel sore tadi. “Beneran mau kemping akhir pekan nanti? Biasanya akhir semester satu, ‘kan?”
“Agenda tahunan.” Laksa melepas seragam, menyisakan kaos berwarna putih yang melekat erat di tubuhnya. “Agenda besar sekolah cukup banyak, makanya kemping ditaruh di bulan-bulan awal.”
“Nanti kalau pramuka harus kemping lagi?”
“Mungkin.”
“Akomodasinya gimana, Dek? Makannya? Lokasinya dekat mata air nggak?”
“Akomodasi dari sekolah. Masak tiap tenda. Deket.”
“Adek satu tim sama Abi nggak? Atau ada temen lain yang bisa masak, mungkin? Adek, ‘kan, nggak bisa masak. Masak air aja dibiarin sampai gosong.”
“Sama Abi.”
“Syukurlah. Nanti adek tambahin aja bahan-bahannya biar Abi yang masak.”
“Bahan-bahannya dibeli bareng.”
“Patungan? Adek udah iuran belum?”
“Udah.”
“Adek kebagian bawa alat apa? Disiapin dari sekarang aja daripada nanti ada yang ketinggalan.”
“Galon. Udah dibeli, tinggal ambil.”
“Galon aja? Camilan mau beli nggak, Dek? Apa malah udah janjian mau beli sama temen-temen yang lain?”
“Camilan bawa masing-masing. Besok mau beli sama Abi.”
“Kalau uang sakunya kurang, bilang aja, Dek. Nanti bunda tambahin sedikit. Beli camilannya agak dibanyakin aja biar bisa dibagi sama yang lain, pokoknya jangan sampai ada yang nggak kebagian. Namanya tim, kalau satu makan, yang lain juga harus makan.”
“Ayah kapan pulang, Nda?”
“Malam Sabtu kayak biasanya. Kenapa, Dek?”
“Suruh pulang malam Jum’at aja.”
“Mana bisa gitu? Kayak tempat kerjanya cuma sebatas sini sama komplek depan aja. Tempat kerja ayah tuh perlu naik pesawat dulu, Adeeek. Apalagi mintanya dadakan kayak gini, pasti tambah susah pulangnya.”
“Ayah yang punya kantornya.”
Mitha geleng-geleng kepala. Tipikal Shaka sekali, kalau mengatakan sesuatu sudah mirip jenderal perang—wajib dipatuhi— mentang-mentang Laksa jadi keturunan satu-satunya.
“Nanti bunda obrolin sama ayah.”
Laksa lebih dulu meraih ponselnya, menghubungi Shaka tanpa seizin Mitha. “Ayah?”
“Ya?”
“Eh, kok udah hubungin ayah aja sih? Bunda, ‘kan, bisa ngomong sendiri. Deeek. Bener-bener, ya?”
“Ada apa?”
Suara mengetik kini sepenuhnya hilang. Agaknya Shaka benar-benar memusatkan perhatian pada anak dan istrinya. “Ada masalah?” sambungnya.
“Laksa mulai kemping hari Jum’at nanti.”
“Peralatannya sudah disiapkan? Kebagian bawa alat apa?”
“Bawa galon. Udah dibeli, tinggal diambil.”
“Beli snack sama ayah saja. Maksimal Kamis siang sudah sampai rumah, kalau bisa diselesaikan dengan cepat mungkin akan sampai pagi hari.”
“Terima kasih.”
“Kalau perlu membeli peralatan lain, jaket yang lebih tebal atau sejenisnya, bilang saja. Nanti uangnya ayah kirim lewat bunda.”
“Masih bagus-bagus.”
“Sudah makan?”
“Bentar lagi. Ayah ... masih di kantor?”
“Sepertinya harus lembur kalau ingin sampai rumah Kamis pagi.”
“Maaf udah ngerepotin.”
“Ayah, masih jadi ayah kamu, kalau kamu lupa.”
Laksa manggut-manggut. Sudut hatinya mulai menghangat. “Kerja sewajarnya aja. Laksa bisa beli camilan sama Abi.”
“Janji adalah hutang. Ayah tidak suka berhutang.”
“Jangan lewatin makan malam.”
“Ya. Ayah sayang dengan kalian.”
“Laksa juga."
Ketika obrolan mulai terputus, muncul perasaan aneh di dalam dada Laksa. Terharu? Mungkin. Rasanya campur aduk, meskipun sedikit sakit—karena kadar sayang terlalu tinggi— tapi cukup menenangkan.
“Lain kali adek nggak boleh bilang kayak gitu. Mungkin bagi adek itu merepotkan, tapi kalau ayah nggak benar-benar meluangkan waktu, banyak momen pertumbuhan adek yang akan terlewat. Jadi kalau ayah sedang mengusahakan, biarin aja. Anak ayah sama bunda, ‘kan, cuma adek. Kalau bener-bener terlewat, momennya udah nggak bisa diulang lagi.”
“Makasih, Nda.”
“Sekarang mandi, bersih-bersih, terus bunda tunggu di meja makan. Ada oseng kentang teri kesukaan adek.”
Laksa mengangguk. Mengantarkan Mitha dengan senyum tipis.
Meskipun nggak bisa terus terang, tapi Laksa sayaaaaaang banget sama kalian.
***
Siang itu, pelataran kelas sepuluh terbagi sesuai kelompok masing-masing. Sama-sama sibuk berunding terkait kemping yang akan dilaksanakan akhir pekan nanti. Koloni Laksa disambut dengan nasi kuning hasil traktiran ulang tahun Dipa. Abi dan Dwiki patungan beli gorengan, alhasil malah jadi makan besar.
“Kalian pada ikut semua, ‘kan?” tanya Dipa. Dia yang akan jadi ketua timnya.
“Mama sempet protes, katanya kecepetan, tapi akhirnya tetep setuju juga. Katanya, takut lihat gue guling-guling di kamar karena Laksa dibolehin ikut kemping sedangkan gue nggak.”
“Nyokap lo tuh kalau Laksa bilang iya, ikutan iya juga, ya, Bi?” Dwiki terang-terangan tertawa.
“Ho’oh. Kadang gue juga bingung, mana anaknya, mana temen anaknya.”
“Tapi emang kecepetan sih,” sahut Anggara. “Baru dua minggu jadi siswa baru udah diajakin outing aja.”
“Acaranya banyak. Jalanan waktu mudik aja kalah padat sama agenda kita,” sahut Dwiki.
“Barang bawaan udah fix semua, ‘kan? Kalau ada yang mau tukeran bilang aja, asal jangan semuanya dituker ke gue.”
“Amaaannn!”
“Galonnya gue ambil hari Kamis. Bawa botol air minum masing-masing biar nggak perlu bawa air mineral botolan,” ujar Laksa.
“Nah, iya. Berhubung lo ngomongin galon, gue jadi inget sesuatu. Kalau ada sekalian bawa pompa airnya juga, Lak. Misal kepepetnya beneran nggak ada, langsung dituang juga nggak masalah.”
“Aman.”
“Kompornya pake portabel aja nggak sih? Gue ogah bawa-bawa tabung gas,” ujar Afkar.
“Gue juga nggak kepikiran bawa kompor gas yang gede itu. Lagian masaknya juga nggak seberapa, capek bawanya doang,” sahut Romi.
“Sip!”
“Sayurnya mau request apa nih? Jangan sampai gue beli kangkung, kalian malah lebih demen kacang panjang.” Bintang bersiap dengan catatannya.
“Paling gampang masak oseng tempe sama kacang panjang. Kalau mau agak mewahan dikit tambah teri yang kecil-kecil itu tuh. Bisa dipake makan tiga kali sehari kalau masaknya agak banyakan. Hari keduanya gue kepikiran bikin sop bakso, habis jelajah medan pasti haus, ‘kan, tuh? Nah makan yang berair kayaknya enak.”
“Atur aja mau masak apa. Lo sama Bintang kebagian jadi koki dan kurve waktu siang biar bisa leluasa buat masak. Buat yang jaga malam, atur sesuai sikon ajalah. Sebenarnya nggak dijagain juga nggak apa-apa,” sambung Dipa.
“Berarti gue yang belanja, ya?” Semua mengangguki ucapan Abi. “Gue ulang pembagian tugasnya. Laksa bawa galon sama pompanya, gue sama Bintang belanja dan ngatur kebutuhan makan, Afkar bawa kompor portabel, Romi bawa alat makan, Anggara bawa kayu buat api unggun, Dipa sama Dwiki kebagian bangun tenda dan cuci piring. Eh, lupa gue. Siapa yang mau bawa ember?”
“Gue. Gue,” sahut Dwiki.
“Jangan lupa bawa mie instan buat jaga-jaga.”
“Gue aja yang beli,” sahut Laksa. “Yang mau request kopi langsung PC biar sekalian.”
“Katanya yang belanja gue sama Abi?” tanya Bintang.
“Beli sayur aja.”
“Oh, bapak lo mau jajanin kita-kita, ya, Lak?” Abi terlihat antusias. Pasalnya kalau Shaka sudah turun tangan, mereka tidak mungkin akan kelaparan.
“Hm.”
“Wihhh, mantap nih kalau donaturnya udah turun tangan begini,” ucap Dipa. “Snack-nya agak dibanyakin, ya, Lak. Tau sendiri temen-temen lo nggak ada yang ngerokok tapi nyemilnya kenceng semua.”
“Aman.”
“DITOOOO! AMBILIN SEPATU GUE NGGAK?!”
Teriakan Abel berhasil membuat mereka menoleh. Satu persekian detik setelahnya, Abi dan teman-teman saling pandang tanpa sepengetahuan Laksa.
“ABEEEL. KATANYA MAU DIAMBILIN LAKSA NIH!”
“Kapan gue ngomong kayak gitu?”