Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 21.
Saat mereka tiba di kantor, semua tatapan orang-orang yang berada disana langsung tertuju pada mereka semuanya terutama Elio. Dimana mereka tidak menyangka dan mendapati CEO dari perusahaan tersebut, kini telah kembali dari masa rehat panjangnya.
Mendapati situasi seperti itu, membuat Fio segera menundukkan wajahnya. Menjadi pusat perhatian banyak orang, membuatnya menjadi tidak percaya diri. Hal tersebut tidak berlaku untuk Max, pria dengan kepercayaan diri yang cukup tinggi itu berjalan seperti biasanya.
Mereka langsung menuju ruangan, dimana Elio biasa bekerja. Menggunakan lift khusus, kini mereka tiba diruangan tersebut.
"Nona Fio, anda mau sarapan apa? Biar sekalian saya pesankan sama untuk tuan." Max menghampiri Fio yang masih terlihat bingung.
"Ee, tidak tuan. Terima kasih, nanti saja." Fio menolak bukan tanpa alasan.
"Beneran? Apa nggak laper, non." Max beralih menghampiri Elio dan memberikan beberapa berkas yang sebelumnya sudah dipersiapkan.
"Iya tuan, terima kasih."
Max tidak kapok untuk membujuk Fio, tentunya hal itu tidak luput dari pengawasan Elio. Walaupun ia terlihat begitu tenang, namun sisi kamera pengawas dalam dirinya tetap aktif.
"Max!" Ucapan tegas terdengar.
Seketika itu semuanya menjadi hening, Max tahu betul dari nada ucapan Elio yang baru saja ia dengar. Begitu juga dengan Fio, ia yang masih dalam kebingungan. Semakin merasa bingung dan bertambah bingung, Fio memilih untuk diam.
Belum saja beberapa menit berada di dalam ruangan tersebut, berbagai telfon terus berdering. Bahkan ponsel milik Max pun ikut menjadi sasaran, kabar mengenai kedatangan Elio kembali di perusahaan menjadi topik utama pada saat itu.
"Tuan, sepertinya kehadiran anda kali ini menjadi pembicaraan." Max menunjukkan bukti kepada Elio.
"Biarkan saja, kunci pintu ruangan ini. Jangan biarkan mereka masuk, dan juga pesankan sarapan untuk dua orang. Lewat jalan belakang saja." Elio berbicara sejenak lalu fokus kembali pada berkasnya.
"Buat dua orang tuan? Lah, kita kan bertiga disini." Max menunjukkan ke arah mereka bertiga.
"Tuan, saya belum lapar. Tu.." Ucapan Fio terputus.
"Diam, Fio. Dua orang, dan kamu Max. Sarapan sendiri, sana pergi." Ketus Elio.
"Eh!" Kaget Max menatap Elio.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Max tidak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Al hasil, mulut Max terus mengumpat tiada henti pada Elio. Untuk Fio, ia tidak ingin berdebat lagi. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya pun ikut lelah.
Selama Max pergi, tidak ada percakapan apapun diantara mereka. Elio kembali fokus pada berkas yang sedang ia lihat, sedang Fio. Ia hanya bisa berdiam diri seorang, bergerak pun langsung mendapatkan tatapan dari Elio.
"Daripada menganggur, apa salahnya membantu periksa berkas ini. Ayo kemari, kamu seperti ulat cabe yang terus bergerak." Sindiran Elio memang begitu pedas.
"Saya tidak terlalu paham tuan, saya takut salah." Fio memang tidak mengerti akan apa yang dilakukan oleh Elio, namun pria itu terus memaksanya.
"Mengurus ku saja kamu bisa, jangan banyak membantah. Cepat kemari." Elio memberikan isyarat menggunakan jemarinya, agar Fio cepat menghampirinya.
Fio tersenyum kecut atas ucapan itu, mau tidak mau ia harus menuruti ya. Berbagai usaha penolakan pun akan terasa percuma saja, karena Elio adalah orang yang tidak menerima penolakan.
"Ini, kamu periksa semuanya. Setelah itu, kamu cerna dengan baik-baik dan temukan kesalahannya dimana." Elio memberikan satu berkas pada Fio untuk diperiksa.
"Tapi tuan, saya tidak paham." Fio belum ada pengalaman dalam dunia kerja seperti itu, makanya ia merasa tidak percaya diri.
"Belum dicoba, ya mana tahu. Lakukan saja, masa mahasiswi tingkat akhir tidak mengerti akan hal seperti ini." Lagi dan lagi, mulut pedas itu memberikan sindiran.
"Tidak ada hubungannya tuan, anda benar-benar pemaksa. Sama saja seperti pak Ferdy." Balas Fio yang merasa tersinggung atas ucapan itu.
"Jangan samakan aku dengan manusia laknat itu, kerjakan saja." Elio pun kembali fokus sendiri.
Dalam situasi seperti itu, Fio menghela nafas panjang nya. Tidak habis pikir jika dirinya berada diposisi saat ini, lelah itu semakin menjadi. Dengan langkah gontainya, Fio berjalan menuju tempatnya semula dan membawa berkas ditangannya.
"Mau kemana?"
"Duduk tuan, tidak mungkin saja berdiri terus saat periksa berkas ini." Fio menunjukkan berkas ditangannya.
"Yang bilang kamu berdiri itu siapa? Duduk disini, kursiku menganggur. Atau kamu mau di kursi roda ini?" Elio memiringkan kepalanya dan menatap tajam pada Fio.
"Huh." Fio memutar kedua bola matanya, menuruti apa yang dikatakan si pemaksa padanya.
Keduanya larut dalam isi pikirannya masing-masing, disaat keheningan itu terasa begitu tenang. Akhirnya muncullah penganggu yang baru kembali, dengan kedua tangannya membawa paper bag dan minuman hangat.
"Tuan, ini sarapannya." Paper tersebut diletakkan di atas meja.
"Eh, ada apa ini? Kayaknya ada karyawan baru, wah keren." Max melihat Fio yang memegang berkas ditangannya, ia dapat menilai jika perempuan itu mendapatkan instruksi paksa.
Alih-alih mengerjakan tugasnya, Max malah menghampiri Fio.
"Non, ada yang bisa saya bantu." Max berpura-pura padahal sedang mengeluarkan jurus gombal nya.
"Tuan Max, saya tidak mengerti." Kedua mata sayu itu seakan meminta pertolongan.
"Yang mana, non. Sini, Abang bantuin." Dengan senyuman tengilnya, Max mendekati Fio.
Akan tetapi, belum saja kaki itu melangkah. Sebuah ancaman sudah terdengar dengan cukup mengerikan, apalagi ancaman itu bukanlah kaleng-kaleng.
"Satu langkah kakimu, aku pangkas habis gajimu."
"Jangan! Jangan tuan, iya deh. Ini saya nggak jadi melangkahnya, kalau begitu. Non Fio saja yang kemari, biar saja ajarin." Seakan tidak kapok, Max tetap mengeluarkan jurus nya.
Anggukan kepala Fio, membuat Max tersenyum.
"Max! Keluar!"
Tubuh Max dan Fio menegang, mereka terdiam. "Aku pengal kepalamu, Max!"
"Aaaa, baik tuan. Maafkan saya, sampai ketemu lagi non Fio." Tanpa banyak membantah lagi, Max segera kabur dari sana.
"Kamu, duduk dan selesaikan apa yang saya katakan." Titah yang tidak dapat ditolak.
Begitu pasrahnya Fio dengan keadaan saat itu, menolak pun akan tidak ada hasilnya. Walaupun kedua kakinya tidak bisa berjalan, namun aura dingin, tegas dan kejam itu masih mempengaruhi seorang Elio.
Tiba-tiba saja, perut Fio terasa begitu sakit. Bahkan dirinya harus meringkuk dan berjongkok ke lantai, rasa sakit itu begitu kuat.
"Egh, sstthh." Tangan itu mencengkram kuat perutnya.
Mendapati Fio yang meringis, Elio pun menghentikan pekerjaannya. Mendorong kursinya mendekati Fio, dimana wajah itu dipenuhi oleh keringat dingin.
"Kamu kenapa? Mau mati?" Tanya Elio tanpa memikirkan perasaan.
Fio kaget dan menatap Elio, lalu ia memalingkan wajahnya dan menanamkannya di atas kedua kakinya.
"Kalau aku mati, jangan disini. Hei, jawab." Elio merasa tersinggung karena ucapannya tidak mendapatkan respon oleh Fio.
"Aaaa, diam!"