Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Ambil Saja
Kevia menatap langit-langit kamar, lalu kembali ke layar ponsel. Chat itu sudah lama tak ada balasan lagi. Hening. Kosong.
“Apa… dia benar-benar pergi?” bisiknya parau.
Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh, membasahi pipi. Kevia menutup mulut dengan telapak tangannya, menahan isak.
"Aku bodoh. Aku bahkan nggak tahu wajahmu… siapa namamu… tapi kenapa rasanya kehilanganmu lebih menyakitkan daripada apa pun?"
Ponsel itu ia peluk ke dadanya, seolah benda dingin itu bisa menggantikan sosok pria yang kini hanya tersisa dalam kata-kata.
Namun kemudian, Kevia tertegun. Seolah ditampar kenyataan, ia baru ingat… dirinya sendirilah yang menolak dengan kata tidak. Kata yang meluncur begitu cepat dari bibirnya, tanpa sempat dipikirkan, tanpa sempat mempertimbangkan apa arti kepergiannya.
Tangannya meremas sprei, wajahnya menunduk.
“Bodoh… aku yang bilang tidak… aku yang bikin dia pergi,” gumamnya, suara tercekat di tenggorokan.
Matanya panas lagi, tapi kali ini air mata bukan hanya karena rindu… melainkan karena penyesalan.
Setiap detik bersama pria itu kini berputar kembali di kepalanya. Tawa singkat, tatapan yang menenangkan, hingga nada suaranya yang dingin tapi selalu membuatnya merasa aman. Semua itu hilang hanya karena satu kata tidak dari dirinya.
Kevia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, berusaha menekan rasa sakit di dadanya.
“Kenapa aku begitu keras kepala? Kenapa aku harus bilang tidak… kalau nyatanya aku sendiri yang gak rela dia pergi?”
Kevia menatap layar ponselnya. Jemarinya mulai mengetik dengan terburu-buru.
💬 Maaf… tadi aku cuma emosi. Aku nggak serius ngomong gitu…
Ia berhenti. Menatap kalimat itu lama, lalu buru-buru menghapusnya.
Mengetik lagi.
💬 Aku sebenarnya nggak benci kamu. Aku cuma bingung sama diriku sendiri.
Hapus lagi.
Ponsel terus bergetar di tangannya, seolah menuntut jawaban, tapi ia justru semakin panik.
Wajah pria itu, meski selalu tertutup masker dan kacamata, terbayang jelas di benaknya. Mobil hitam yang selalu menjemput, vila megah yang pernah ia masuki… dan uang seratus juta yang begitu saja ditransfer kepadanya.
Kevia tertegun. Napasnya memburu. Hatinya mendadak ciut.
"Apa dia serius sama aku… apa mungkin?" batinnya getir. "Aku ini siapa? Anak orang biasa. Bahkan rumah pun tak punya. Apa dia benar-benar jatuh cinta? Atau hanya main-main… menyukaiku sebentar lalu membuangku begitu saja saat bosan?"
Pertanyaan itu menusuk, membuat dadanya kian sesak. Tapi bayangan uang seratus juta yang ia terima membuat pikirannya makin kusut.
“Aku sudah menolak dia… apa uang itu akan ia minta kembali?” gumamnya lirih.
Tangannya gemetar, menatap layar kosong di aplikasi chat itu. Ingin menulis sesuatu, ingin menjelaskan, tapi nyalinya ciut setiap kali ia mengingat betapa mudah pria itu menggerakkan uang dan kekuasaan.
Akhirnya, ia menutup ponsel dengan pasrah, lalu menelungkupkan wajah di bantal. Air matanya merembes diam-diam, membasahi sarung bantal.
"Apakah aku baru saja kehilangan dia… atau justru membuka pintu untuk kehilangan lebih besar lagi?"
***
Pagi itu Kevia datang ke kampus dengan wajah pucat. Lingkar hitam samar menghiasi matanya, meski ia berusaha menutupinya dengan bedak tipis. Ia berjalan cepat, seolah ingin menghindari siapa pun.
“Via.”
Suara berat itu membuat langkahnya terhenti sejenak. Jantungnya berdegup tak karuan. Perlahan ia menoleh, dan benar, Kevin berdiri hanya beberapa meter darinya. Tatapan pemuda itu penuh tanya, juga cemas.
“Kamu kenapa?” Kevin melangkah mendekat, menatap wajah Kevia lebih dekat. “Matamu… kamu nangis semalaman ya?”
Kevia buru-buru menunduk. Tangannya meremas erat tali tas, berusaha tegar. “Aku nggak apa-apa, Vin.”
“Via…” Kevin menghela napas panjang. Ia jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Kalau ada yang bikin kamu sedih, bilang sama aku. Aku—”
Belum sempat kalimatnya selesai, sebuah suara melengking memotong.
“Kevin! Kamu di sini ternyata!”
Popy muncul dengan langkah ceria, seolah kampus adalah catwalk miliknya. Rambut panjangnya tergerai indah, senyum manisnya langsung ditujukan pada Kevin.
Kevin menoleh sekilas, wajahnya langsung berubah dingin. “Popy.” Nada suaranya datar, jelas-jelas tidak senang.
Tapi Popy tak peduli. Ia segera meraih lengan Kevin dengan manja. “Kebetulan banget ketemu kamu. Yuk, kita bareng ke kelas. Aku tadi udah nitipin tempat duduk buat kita.”
Kevin menarik pelan lengannya, menolak sentuhan itu. “Aku lagi ngomong sama Via.” Tatapannya kembali ke Kevia, tapi saat itu juga Kevia sudah melangkah mundur.
Kesempatan emas itu ia gunakan. “Aku duluan ya,” katanya cepat, sebelum Kevin sempat menahan.
“Via, tunggu!” Kevin mencoba menyusul, tapi Popy langsung berdiri menghadang dengan wajah memelas.
“Kenapa sih kamu selalu perhatiin dia? Bukannya kita—”
“Sudahlah, Pop.” Kevin menatapnya tajam, suaranya penuh penekanan. “Aku nggak suka diganggu saat bicara dengan orang lain.”
Namun, Kevia sudah hilang di antara kerumunan mahasiswa. Kevin hanya bisa menatap punggungnya yang makin menjauh, dengan dada terasa sesak.
Ia merasa gusar. Tatapan matanya mengikuti Kevia yang lagi-lagi memilih menjauh darinya. Belum cukup dengan sikap dinginnya, kini ada Popy yang membuat suasana semakin menjengkelkan. Gadis itu terus menempel seolah tak tahu malu, membuat Kevin hanya bisa menghela napas panjang menahan kesal.
Saat kelas usai, Kevin segera melangkah cepat untuk mengejar Kevia. Namun dering ponsel di tangannya membuatnya terhenti sejenak. Layar menampilkan nama ayahnya. Kevin menarik napas, lalu menekan tombol hijau dan menerima panggilan itu.
Kesempatan tersebut tak disia-siakan Popy. Dengan langkah tergesa, ia menyusul Kevia, meraih lengannya, dan menyeretnya ke sudut sepi lorong kampus.
“Lebih baik kau menjauh dari Kevin,” ucap Popy tajam, matanya menelusuri Kevia dari atas ke bawah dengan pandangan merendahkan. “Dia sudah dijodohkan denganku. Lagipula, kau sama sekali tidak pantas bersamanya. Kevin berasal dari kalangan atas, sedangkan kau…” Senyum miring muncul di bibirnya, menyelesaikan kalimatnya dengan tatapan penuh hinaan.
Kevia berdiri tegak, wajahnya datar tanpa goyah sedikit pun. “Ada lagi yang mau kau sampaikan? Kalau tidak, aku pergi.” Suaranya tenang, tapi mengandung ketegasan yang membuat Popy sejenak terdiam.
Kevia pun berbalik hendak meninggalkan tempat itu, tak ingin membiarkan ucapan Popy merusak suasana hati yang sudah cukup kacau. Namun tangan Popy kembali menarik lengannya.
“Kalau kau tidak mau menjauh dari Kevin dan masih bersikeras—”
“Aku tidak pernah mendekatinya, apalagi berniat,” potong Kevia cepat, sorot matanya menusuk. “Kalau kau suka dia, ya perjuangkan. Itu bukan urusanku.”
Popy melotot marah, suaranya meninggi. “Kau sengaja membuat dia memerhatikanmu!”
“Aku tidak pernah mencari perhatian,” balas Kevia lebih keras, tapi tetap tenang. “Kalau dia lebih memerhatikanku dan mengabaikanmu, itu artinya kau tidak cukup menarik baginya. Jadi jangan salahkan aku.”
Wajah Popy memerah, tercekik oleh ucapan yang menusuk telak. “Kau…” Suaranya bergetar, tangannya terangkat, menunjuk tajam ke arah Kevia, seakan hendak melontarkan hinaan yang lebih kejam.
Namun—
PLAK!
Kevia menepis tangannya dengan kasar. Tatapannya dingin menusuk.
“Aku tidak pernah punya perasaan pada Kevin. Bahkan aku sudah menyukai orang lain. Jadi kalau kamu suka Kevin, silakan ambil dia. Jangan ganggu aku.”
Tanpa menoleh lagi, Kevia melangkah mantap, meninggalkan Popy yang terdiam di tempat. Mata Popy memerah, penuh bara amarah. Jemarinya terkepal begitu kuat hingga bergetar.
“Brengsek! Beraninya dia…” gumamnya dengan gigi terkatup rapat. Napasnya memburu, dada naik turun. “Dia pikir dia siapa? Sok cantik, kepedean. Lihat saja… kalau dia masih berani membuat Kevin tertarik!”
Popy menghantam dinding dengan telapak tangannya, suara dentumannya memantul di lorong sepi itu. Napasnya memburu, matanya berkilat penuh bara.
Dalam hatinya, ia sadar, Kevia memang cantik. Cantik alami yang memesona, tanpa perlu lapisan make up tebal seperti dirinya. Kesadaran itu justru menyesakkan, membuat cemburunya makin menjadi-jadi.
Belum lagi perhatian Kevin yang jelas-jelas lebih sering tertuju pada Kevia… ditambah bisik-bisik gosip bahwa mereka berpacaran. Semua itu bagai bensin yang disiramkan ke dalam api hatinya.
“Aku tidak akan kalah darinya…” desis Popy, suaranya serak bercampur geram. Tatapannya tajam, menyala bagai bara yang siap membakar. Rahangnya mengeras, jemari mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
“Tunggu saja, Kevia…” suaranya merendah, hampir seperti bisikan kutukan. Senyumnya tipis, dingin, penuh ancaman.
“Aku pasti akan menyingkirkanmu.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
karena kevia sudah ada yang punya
Anaknya siapa sebenarnya kamu Kevin..dan Popy mau di jodohkan denganmu ortu macam apa zaman now masih mau jodoh²in...
apa kamu bisa Popy menyingkirkan Kevia..?lihat saja nanti
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus