Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Kartu Memori Sang Singa
Becak tua itu berhenti dengan bunyi derit yang menyakitkan di depan sebuah losmen kumuh di Cikadongdong. Megan turun dengan cepat, membayar tunai tanpa menghitung kembalian. Bau keringat, debu jalanan, dan ketakutan bercampur aduk. Axel sudah tertidur pulas, untungnya, tidak menyadari kegilaan yang baru saja dialami ibunya.
Ia menyewa kamar di lantai dua. Kamar itu kecil, berbau apek, dengan satu jendela yang menghadap ke gang belakang. Ideal. Semakin tidak menarik tempat itu, semakin kecil kemungkinan mata-mata kelas atas mencarinya di sana.
Setelah memastikan kunci pintu berfungsi dan gorden usang tertutup rapat, Megan meletakkan Axel dengan hati-hati di atas kasur yang tipis. Rasa lelahnya sudah mencapai batas, tetapi adrenaline masih mengalir deras, diperkuat oleh benda kecil dan berbahaya yang ia simpan di saku celananya: kartu memori militer Rommy Ivanov.
Kartu itu terasa dingin, seperti janji kematian. Megan tahu dia harus mengaksesnya, tetapi risiko yang menyertainya sangat besar. Kartu memori terenkripsi seperti ini biasanya dirancang untuk meledakkan data (atau bahkan perangkat keras) jika seseorang mencoba meretasnya secara pakurat. Rommy tidak akan menggunakan teknologi murahan.
“Aku harus tahu apa yang dia inginkan,” bisik Megan. Rommy Ivanov—nama yang ia dengar samar-samar saat masih menjadi istri Jose, nama yang selalu dikaitkan dengan rumor kekejaman di lingkaran bisnis gelap Jakarta dan dunia luar.
Megan mengambil keputusan berisiko tinggi. Ia tidak bisa menggunakan laptop bekas yang ia tinggalkan di peternakan lama, karena mungkin sudah diretas. Ia harus mencari komputer publik yang paling usang, paling terabaikan, dan paling tidak mungkin dipantau oleh badan intelijen internasional.
Setelah satu jam menyusui Axel dan memberinya tidur yang lebih tenang, Megan menyelinap keluar. Ia berjalan melewati pasar tradisional, mencari tempat yang terasa ketinggalan zaman. Di ujung jalan sempit, ia menemukan tujuannya: sebuah warung internet (warnet) yang tampak seperti peninggalan tahun 90-an. Bau rokok kretek, debu tebal, dan cahaya monitor CRT yang berkedip-kedip menyambutnya.
“Saya butuh komputer yang tidak dipakai orang lain,” ujar Megan pada seorang remaja yang menjaga kasir, suaranya pelan dan teredam.
“Yang itu, di sudut. Kabelnya suka putus, tapi murah,” jawab si remaja tanpa menoleh dari layar ponselnya.
Megan duduk di kursi plastik yang retak. Dia mengeluarkan kartu memori itu dan adaptor USB yang ia bawa. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu itu ke porta komputer yang kotor.
Layar komputer langsung menampilkan jendela pop-up: *Akses Ditolak. Enkripsi Level 7. Membutuhkan Kunci Kriptografi.*
“Sial,” desis Megan. Ia menghabiskan dua puluh menit berikutnya, mencoba kode sandi dasar yang mungkin digunakan orang bodoh (tanggal lahir, nama sederhana), tetapi nihil. Enkripsi ini terlalu kuat.
Saat kepalanya bersandar ke meja karena frustrasi, matanya tertuju pada pantulan cahaya di layar. Rasa pusing tiba-tiba menyerang, bukan dari rasa lapar, melainkan dari memori yang dipicu oleh tekanan yang intens.
Vega. Kekuatan absolutnya. Pria itu tidak pernah berkedip. Matanya yang dingin telah menembus pertahanan dirinya yang hancur, menanam benih di dalam dirinya, dan meninggalkannya dengan jejak rasa sakit dan kepemilikan yang terukir dalam ingatannya.
Megan menutup matanya. Ia ingat betapa kuatnya genggaman tangan Vega di pinggangnya, bagaimana setiap sentuhan pria itu, meskipun tidak dimaksudkan untuk menyenangkan, justru mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuhnya yang dilemahkan obat. Itu bukan cinta. Itu adalah dominasi yang kejam, namun di tengah kekejaman itu, ada kehati-hatian yang aneh. Vega tidak memperlakukannya seperti barang. Dia memperlakukannya seperti trofi.
Kau meninggalkanku. Kau membuatku jadi buronan.
Megan membuka matanya, menggigil. Ia tahu, rasa teror itu bercampur dengan sensasi yang tidak bisa ia nafikan. Perasaan bahwa tubuhnya telah bersaksi tentang kekuatan yang tak tertandingi, yang jauh melampaui kelemahan Jose.
Mendorong ingatan itu ke samping, ia memfokuskan kembali pada layar. Dia memikirkan Rommy. Jika Rommy ingin dia membaca kartu ini, pasti ada celah. Rommy tidak ingin menghancurkan komputer, dia ingin berkomunikasi.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul. Megan ingat membaca artikel tentang peretas yang menyamarkan kunci enkripsi dalam file tersembunyi. Dia mulai mencari di folder sistem yang paling dalam, folder yang biasanya digunakan untuk menyimpan driver printer yang tidak pernah terpakai.
Dia menemukannya. Sebuah file .TXT dengan nama acak: D14N0571C.TXT. File itu hanya berisi satu baris teks: 1305VXA. Itu terlalu pendek untuk menjadi kata sandi, tetapi cukup panjang untuk menjadi kunci kriptografi.
Megan kembali ke jendela enkripsi, memasukkan kode itu. Jantungnya berdebar. Jika ini salah, data akan terkunci selamanya.
Layar berkedip. Dan kemudian, dengan bunyi *beep* yang pelan, folder itu terbuka. Di dalamnya, hanya ada satu file video berdurasi dua menit, dengan format yang sangat terkompresi: INVITATION.AVI.
Megan mengklik file itu. Jendela video terbuka, menampilkan wajah seorang pria paruh baya yang tampan, dengan mata yang tenang namun mematikan. Rommy Ivanov.
Rommy tidak tersenyum. Dia menatap langsung ke kamera, seolah menatap jiwa Megan. Suaranya halus, aksen Eropa Timur yang kental, kontras dengan bahasa Indonesia yang sempurna.
“Halo, Megan. Atau haruskah aku memanggilmu, ‘Gadis Malam yang Hilang’?”
Megan menarik napas tajam. Dia tahu segalanya.
“Jangan panik,” lanjut Rommy, gesturnya tenang. “Aku bukan Vega Xylos. Aku tidak tertarik memaksamu, Megan. Aku tertarik padamu, karena kau adalah masalah bagi musuhku, dan karena kau membawa masa depan yang sangat berharga di sisimu.”
Rommy jeda sejenak, mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah ingin berbagi rahasia tergelap.
“Aku tahu tentang Jose, pengkhianatan Wina, dan klub malam itu. Aku tahu tentang Vega yang meninggalkanmu. Dan aku tahu tentang putra kecilmu, Axel. Aku bahkan tahu di mana kau bersembunyi sekarang. Cikadongdong. Pilihan yang cerdas, tapi tidak cukup jauh.”
Megan merasa mual. Rommy bukan hanya melacaknya; Rommy telah mengawasinya.
“Megan, kau sedang dikejar oleh Xylos. Dan Xylos tidak pernah membiarkan harta miliknya pergi. Aku bisa memberimu perlindungan. Perlindungan yang nyata, bukan gubuk reyot dan peternakan domba. Aku bisa memberikan Axel masa depan yang pantas ia dapatkan. Aku sudah melihat data saham yang ia 'retas' secara tidak sengaja, bahkan sebelum kau menyadarinya. Dia jenius.”
Rommy tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya.
“Tugasmu sederhana: Hubungi nomor ini,” katanya, dan serangkaian angka muncul di layar, di bawah wajahnya. “Tinggalkan semua yang kau miliki. Datang padaku. Aku akan membuatmu aman. Kau dan Axel akan hidup dalam kemewahan dan perlindungan yang mutlak.”
Video itu hampir berakhir. Rommy menatap Megan sekali lagi, tatapan yang menuntut jawaban.
“Pikirkan ini baik-baik, Megan. Hanya aku yang bisa melindungimu dari mata elang Vega Xylos. Karena aku tahu rahasia yang bahkan kau sendiri belum pahami sepenuhnya.”
Rommy jeda untuk efek dramatis, lalu memberikan pukulan terakhir yang membuat Megan membeku di tempatnya.
“Aku tahu, siapa sebenarnya ayah kandung Axel Xylos. Dan aku tahu, apa yang membuat Vega Xylos begitu terobsesi padamu dan pada mata anak itu. Aku adalah satu-satunya kesempatanmu untuk selamat.”
Layar video mati. Hanya menyisakan serangkaian angka telepon yang berkedip di layar monitor kotor itu, seperti undangan ke neraka yang dikemas dalam sutra.
Megan mencengkeram kartu memori itu. Rommy bukan hanya ancaman, dia adalah musuh yang mengetahui semua kartu di tangan Megan. Dia menawarkan penyelamatan, tetapi dengan harga yang pasti jauh lebih mahal daripada nyawanya sendiri.
Ia harus membuat keputusan, dan itu harus segera. Antara terus berlari dari Vega yang berkuasa, atau menyerahkan diri kepada Rommy yang licik, demi masa depan Axel.
"Sebab ada kata bijak yang Aku ingat... tempat yang paling aman itu sebenarnya adalah tempat yang paling berbahaya dan paling dihindari untuk menyatakan sebuah kata 'aman' itu sendiri..."
"Baiklah... jika ini hal yang harus aku putuskan ..."