Zian Ali Faradis
Putih dan hitamnya seperti senja yang tahu caranya indah tanpa berlebihan. Kendati Ia hanya duduk diam, tapi pesonanya berjalan jauh.
Azaira Mahrin
kalau kamu lelah, biarkan aku jadi jedanya.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Ketika lima macam Love Language kamu tertuju pada satu orang, sedangkan sudah ada satu nama lain yang ditetapkan, maka pada yang mana kamu akan menentukan pilihan.
Dira: pilih saja yang diinginkan.
Yumna: pilih yang sesuai dengan hati.
Aira; gak usah memilih, karena sudah ada
Yang memilihkan.
Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Kamu?" Kaget lah Yumna saat membuka pintu, ternyata laki-laki itu yang berdiri di sana, yang barusan mengetuk pintu rumahnya. Sama sekali tak pernah ada dalam dugaan Yumna kalau yang datang itu dia.
"Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?" Pertanyaan Yumna terucap dengan bahasa yang cukup formal, namun terkesan tidak disertai keramahan.
Lelaki itu tersenyum. "Assalamualaikum, Yumna. Saya kesini mengantarkan calon istri saya."
"Calon istri?"
Pertama-tama Yumna melayangkan tatapan heran, sebelum merotasi pandangan ke arah yang ditunjuk lelaki itu. Prima. Lelaki itu dia. Dan saat melihat Aira yang melangkah ke teras, alis Yumna langsung menukik tajam.
"Siapa yang kamu maksud calon istri?"
"Ini. si cantik nan anggun, Azaira Mahrin. Sekarang dia calon istriku." Prima mengatakan itu dengan senyuman penuh. Tersirat rasa puas, senang, dan bangga dalam tatapannya.
"Ada-ada gajah, tinggi amat halunya." Yumna mencibir.
"Kalau tidak percaya, tanya sendiri pada orangnya." Reaksi Yumna sama sekali tak menggoyahkan sikap penuh bangga yang ditampakkan oleh Prima. Bahkan kini ia menatap Aira dan berkata lembut.
"Sayang, tolong jelaskan pada sahabatmu ini, apa status kita sekarang."
"Sayang?" Panggilan yang disematkan oleh Prima pada Aira membuat Yumna tergelak. Ekspresinya seperti melihat manusia makan kapal. Menyeramkan.
"Terima kasih sudah mengantar," ucap Aira pada Prima, bukan sebentuk tanggapan dari apa yang dipinta oleh lelaki itu barusan padanya.
"Saya tidak diajak mampir dulu?"
Meski tanya itu menyiratkan rasa kecewa, namun Prima tetap tersenyum pada Aira.
"Mungkin lain kali saja. Saya lelah, ingin segera beristirahat."
"Baik. Hari ini memang cukup melelahkan. Kamu istirhatlah, Sayang. Tapi jangan lupa sholat ashar dulu ya, sebentar lagi masuk waktu." Prima berucap demikian sambil melihat jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.
Aira mengangguk singkat.
"Aku pamit dulu. Assalamualaikum."
Aira menjawab lirih ucapan salam itu. Sedangkan Yumna malah enggan menjawab sama sekali, meski ia tahu kalau menjawab salam itu hukumnya wajib. Ada yang terasa menyumbat di dadanya, membuat gadis cantik itu serasa ingin muntah saja.
Baru dua langkah, Prima tiba-tiba berhenti dan berbalik menatap Aira.
"Besok aku jemput jam berapa?"
"Mau kemana?" Aira balik tanya.
"Bertemu bundaku, bukannya tadi kita sudah sepakat."
"Oh, terserah saja."
"Baik. Besok aku telepon dulu ya sayang."
Aira mengangguk kecil.
Dan Prima kembali meneruskan langkahnya menuruni teras rumah yang agak tinggi itu. Melangkah dengan pasti, bahkan mungkin sembari bersenandung menuju ke mobil.
"Yum, ini pesananmu." Aira menyerahkan paper bag yang dibawanya itu pada Yumna.
Yumna memang sempat menelepon Aira tadi, dan memesan kudapan kesukaannya. Pasalnya dari tadi gadis itu bosan sendirian dalam rumah. Dira buru-buru pulang usai mengantar Yumna dari rumah sakit, setelah mendapat telepon dari Firman--ayahnya.
Setelah paper bag itu diterima oleh Yumna, Aira melangkah ke dalam rumah melewati tubuh Yumna yang masih berdiri kaku dengan pandangan menuntut.
"Kak tunggu!" Yumna segera mengejar, dan menghadang langkah Aira.
"Jelaskan padaku! Apa yang aku dengar, dan aku lihat barusan."
Aira tak segera berkata, bahkan terlihat ia menghela napas, seakan apa yang akan terlafadz adalah hal yang cukup berat.
"Apa yang dikatakan Prima itu benar."
"Maksudnya?"
"Aku akan menikah dengannya."
"Ah." Yumna tergelak sampai memutar tubuh. "Berapa lama kita tidak bertemu, Kak? Tadi siang kita masih bersama 'kan? Kenapa sekarang, Kak Aira sudah berubah sedrastis ini?"
Aira tak menjawab, hanya terlihat ia kembali hendak mengayun langkah.
"Kak jangan bercanda. Perkara menikah itu bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."
"Aku tidak bercanda, Yum. Aku serius," tegas Aira.
"Apa? Prima sudah mencuci otakmu ya?"
Yumna langsung menatap kesal.
"Tidak. Aku mengucapkan ini dengan sadar."
"Lalu kenapa? Kenapa memutuskan untuk menikah dengan dia? Aku tau betul, kak Aira gak pernah ada rasa padanya."
Nada suara Yumna naik sekian oktaf. Jelas itu karena tekanan emosi yang memuncak dalam dada.
"Aku rasa benar kata orang. Aku lebih baik hidup dengan lelaki yang mencintaiku, meskipun tidak kucintai. Dari pada dengan laki-laki yang aku cintai, tapi dia tidak mencintaiku."
"Dan kak Aira percaya, kalau Prima benar-benar mencintaimu?" kejar Yumna dengan nada memburu.
"Kamu sendiri dulu yang bilang, kalau aku hidup dengan Prima, dia akan meratukan aku." Aira mengingatkan pada ucapan Yumna beberapa waktu yang lalu.
"Iya, waktu dulu kulihat ia begitu ramah saat mendekatimu. Tapi sekarang aku tak percaya kalau dia tulus. Dia terlalu banyak modus, dan kamu sendiri juga bilang kan kak, kalau Prima itu tukang drama. Apa sekarang yang membuatmu percaya padanya?"
"Aku rasa perlu ngasih dia kesempatan."
"Heleh. Kak Aira, kayak gak ada yang lain saja. Kau bahkan bisa hidup dengan laki-laki yang kau cintai dan mencintaimu."
"Siapa?"
"Zian."
"Kau yakin, Yumna, kalau Zian mencintaiku."
"Love language Zian padamu itu nyata banget, Kak."
"Itu kan hanya pendapat kalian. Apa Zian pernah membenarkan? Apa dia pernah validasi dugaan itu? Cinta tanpa ungkapan, cukup?"
"Tapi, kak--"
"Yumna sudah. Hargai keputusanku!"
"Kenapa tiba-tiba, Kak? dan kenapa harus Prima?" Yumna ingin menjerit saja rasanya. Dia benar-benar tidak terima dengan keputusan Aira. Sangat tidak terima.
"Tidak tiba-tiba, Yumna. Aku sudah memikirkannya sejak lama."
"Kalau emang sudah memikirkan sejak lama, dan ini emang keputusanmu yang sebenar-benarnya, kenapa ekspresimu tidak terlihat bahagia kak? Kenapa raut wajahmu datar saat menghadapi Prima. Kau seperti terpaksa. Cerita, ada apa sebenarnya, Kak?"
cecar Yumna dengan tatapan berkilat penuh amarah.
Aira menarik napasnya panjang, menatap Yumna dalam. "Yumna tolong, jangan kau mendudukkan aku di posisi terdakwa."
Gadis itu kemudian berlalu dari depan Yumna begitu saja.
"Kak Aira bohong," ucap Yumna lirih dengan sepasang mata berkaca-kaca.