NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dokter Bella

Keesokan harinya, kondisi Tasya mulai membaik. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya sudah mulai terlihat. Saat pintu kamar terbuka, Tante Bella masuk ditemani seorang perawat yang membawa catatan pemeriksaan.

"Tasya, Sayang, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Bella lembut sambil mendekat.

Tasya mengangguk pelan. "Lebih baik, Tante … terima kasih udah sering jenguk aku."

Ia lalu menoleh ke arah Revan yang sedang menuangkan air ke gelas. Senyumnya kecil, tapi penuh makna. "Oh iya, Tante … ini Revan. Dia yang selalu jagain aku."

Bella menatap putranya sejenak, lalu tersenyum hangat ke arah Tasya. "Iya, Tante sudah kenal, Sayang. Waktu kamu kritis kemarin, dia nggak pernah pergi dari sisi kamu. Dia yang selalu ada, bahkan saat semua orang panik."

Tasya menoleh pada Revan dengan tatapan berkaca-kaca, jelas tersentuh mendengarnya. "Revan …" bisiknya lirih, membuat suasana sejenak hening.

Revan hanya tersenyum tipis, memilih tidak menambahkan apapun. Ia takut kata-katanya justru membuat Tasya semakin terbebani. Yang penting sekarang, Tasya tahu kalau ia benar-benar tidak pernah sendiri.

Bella mengusap lengan Tasya pelan. "Sekarang tugasmu cuma satu, Sayang … sembuh. Karena ada orang yang rela ngorbanin apa pun demi lihat kamu sehat lagi."

Setelah selesai memeriksa kondisi Tasya dan memastikan semuanya aman, Tante Bella akhirnya pamit keluar dari kamar. "Tante titip kamu sama Revan dulu, ya Sayang. Kalau ada apa-apa, pencet bel perawat."

Pintu tertutup pelan. Kini hanya ada Revan dan Tasya di ruangan itu, keheningan begitu terasa, hanya suara mesin monitor detak jantung yang menemani mereka.

Tasya menatap Revan, matanya lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Revan … bener ya? Kamu beneran nggak pernah ninggalin aku waktu aku kritis?"

Revan menarik kursi lebih dekat ke ranjang, lalu duduk sambil menggenggam jemari Tasya yang masih lemah. Ia menatapnya dalam-dalam.

"Aku janji sama diriku sendiri, Sya. Selama kamu masih bernafas, aku nggak akan pergi. Aku takut … kalau aku lepasin sedikit aja, aku bisa kehilangan kamu."

Tasya terdiam, air mata menetes perlahan. "Kamu nggak capek? Nemenin aku terus kayak gini?"

Revan tersenyum kecil, menggeleng. Ia mengusap pipi Tasya dengan ibu jarinya. "Capekku hilang setiap kali lihat kamu buka mata. Selama kamu ada, aku nggak butuh istirahat."

Tasya menggenggam balik tangannya, meski dengan sisa tenaga. Hatinya hangat sekaligus penuh haru. "Aku beruntung banget punya kamu."

Revan menunduk, bibirnya menyentuh punggung tangan Tasya dengan lembut. "Bukan kamu yang beruntung, Sya. Aku yang paling beruntung, karena masih dikasih kesempatan jagain kamu."

Revan menatap Tasya dengan tatapan penuh keyakinan, lalu menghela napas berat. "Sya … aku nggak mau lagi sekadar jadi orang yang nunggu kabar tentang kamu dari luar pintu rumah sakit. Aku mau jagain kamu, setiap jam, setiap detik. Nikah sama aku, Sya. Biar aku bisa ada buat kamu sepenuhnya."

Tasya tertegun. Matanya membesar, napasnya tercekat. "Revan …" bisiknya lirih. Jantungnya berdetak lebih kencang, bukan karena sakit, melainkan karena ketakutan bercampur bahagia.

Ia ingin menjawab, tapi bayangan tentang leukemia yang ia sembunyikan dari Revan langsung menyesakkan dadanya.

Kalau dia tahu aku sakit … kalau aku nanti pergi duluan … apa dia nggak akan menyesal menikah denganku?

Air mata Tasya mulai menetes, bibirnya bergetar. "Aku …"

Namun tepat saat itu, suara berat terdengar dari arah pintu. "Anastasya!"

Pintu kamar terbuka dengan cepat. Seorang pria paruh baya masuk dengan wajah panik, matanya langsung basah melihat putrinya.

"Papa …" bisik Tasya, suaranya nyaris tak terdengar.

Revan sontak bangkit dari kursinya, sedikit kaku melihat kedatangan ayah Tasya yang baru saja pulang dari luar negeri setelah mendengar kabar buruk tentang putrinya. Suasana kamar langsung berubah tegang.

Tanpa pikir panjang, pria paruh baya itu bergegas mendekat lalu merengkuh Tasya dalam pelukannya yang hangat namun gemetar. Air mata jatuh deras di pipi sang ayah.

"Papa minta maaf, Sayang l. Papa telat datang. Harusnya Papa ada di sini dari awal kamu sakit," suaranya pecah, penuh sesal.

Tasya tersenyum tipis meski tubuhnya lemah. Ia balas memeluk Papanya dengan sisa tenaga. "Nggak apa-apa, Pa ... sekarang Papa ada di sini, itu udah cukup banget buat aku."

Pelukan itu begitu erat, seakan keduanya takut kehilangan. Tasya menutup matanya, membiarkan kehangatan Papanya mengisi hatinya yang sempat kosong. Sedangkan sang ayah berulang kali membelai rambut putrinya, seakan ingin menegaskan kalau ia benar-benar nyata berada di sisinya.

Revan berdiri beberapa langkah dari ranjang, memilih diam. Hatinya ikut tersentuh melihat momen ayah dan anak itu. Ia sadar, saat ini bukan waktunya untuk bicara.

Beberapa saat mereka larut dalam pelukan, hingga akhirnya Tian perlahan melepaskan Tasya, menatap wajah pucat putrinya dengan mata berkaca-kaca.

"Papa janji mulai sekarang Papa nggak akan ninggalin kamu lagi," ucapnya mantap.

Tasya mengangguk pelan, senyumnya samar namun penuh kehangatan.

Ketika Tian menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok Revan yang berdiri tidak jauh dari ranjang. Revan sontak menundukkan kepala, wajahnya penuh rasa bersalah.

"Om, maafkan saya. Saya belum bisa melakukan banyak hal untuk Tasya," ucap Revan dengan suara berat.

Tian terdiam sejenak, menatap pemuda itu lekat-lekat. Lalu, alih-alih marah, ia justru menghela napas panjang dan tersenyum tipis.

"Jangan minta maaf, Revan. Justru Om yang harus berterima kasih. Kamu sudah berusaha jaga Tasya saat Om nggak ada. Itu lebih dari cukup."

Mata Revan berkaca-kaca mendengar kalimat itu. Ia mengangguk mantap, menahan emosi yang nyaris pecah. "Saya akan terus jagain Tasya, Om … dengan segala yang saya punya."

Tasya yang menyaksikan percakapan itu hanya bisa terisak pelan. Hatinya penuh haru melihat ayahnya dan Revan saling menghargai.

---

Setelah memastikan Tasya beristirahat, Tian akhirnya berdiri. Ia mengecup kening putrinya pelan, lalu berkata lembut, "Papa ke nurse station sebentar, Sayang. Kamu istirahat dulu, ya."

Tasya mengangguk, sementara Revan tetap setia di sisi ranjang.

Tian melangkah keluar, wajahnya masih penuh kegelisahan. Sesampainya di nurse station, ia mendekati perawat yang sedang mencatat sesuatu. "Permisi, boleh saya tahu siapa dokter yang bertanggung jawab atas putri saya, Anastasya?" tanyanya dengan nada tenang, meski sorot matanya tajam.

Perawat itu menoleh, lalu tersenyum ramah. "Oh, untuk pasien atas nama Anastasya Putri Handoko, dokter penanggung jawabnya adalah Dokter Bellawati, Pak."

Tian tertegun, tubuhnya menegang. "Bella?" ulangnya lirih, seakan tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

Perawat mengangguk mantap. "Iya, Pak. Dokter Bellawati, spesialis onkologi. Beliau yang memimpin langsung penanganan putri Bapak."

Tian merasakan dadanya sesak. Onkologi? kata itu bergema di kepalanya. Napasnya memburu, tangannya mengepal di atas meja resepsionis.

"Kenapa … harus Bella?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ada rasa terkejut sekaligus cemas yang bercampur jadi satu di wajahnya.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!