Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Izin Partisipasi
Amori menggeliat. Pagi ini ia bangun dengan kondisi badan yang pegal dimana-mana, akibat apa yang terjadi satu malam lalu di Bandung. Ia merasakan hangat pada perutnya, dan ketika netranya mencari sumber kehangatan itu, ia malah menemukan sosok Lucas yang masih tertidur pulas. Pria itu tertidur dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Tubuhnya duduk di bawah kasurnya, lalu kepalanya berbaring di atas lengan yang terjulur masuk ke dalam baju Amori. Telapak tangannya yang besar bertengger, menyentuh kulit Amori entah untuk apa.
Amori menatap Lucas tak habis pikir. Bibir bagian bawahnya ia gigit, tapi tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Amori takut membangunkan pria yang terlihat masih sangat pulas itu. Walaupun Amori yakin saat bangun nanti, leher dan punggung Lucas akan terasa sakit dan pegal.
Bemenit-menit Amori hanya diam sambil mengamati wajah damai Lucas, hingga akhirnya muncul tanda Lucas akan bangun dari tidurnya. Perlahan, tubuh itu bergerak lalu suara erangan kecil muncul dari bilah bibirnya.
Lucas menggeliat, terlihat canggung karena tubuhnya kaku juga pegal. Matanya mengerjap, lalu bibirnya mengerang lagi. “Awhhh.” lirihnya ketika mencoba bangun dan menegakkan pundaknya. Tangannya masih bertengger di perut Amori yang menegang, serba salah harus melakukan apa.
Ketika Lucas sadar posisinya dan posisi tangannya, senyumnya langsung melebar. Tangannya meraba perut Amori sebelum menariknya menjauh. “Hai.” katanya dengan suara serak.
“Hai.” Amori ikut bangkit, duduk sambil bersandar dengan canggung.
“Semalam kamu agak demam, kamu juga meringis kayak orang kesakitan. Saya bingung harus apa, terus kamu raih tangan saya dan bawa ke perut kamu. Ajaib, habis itu tidur kamu langsung tenang.” pipi Amori bersemu. Jadi kejadian pagi ini terjadi karena dirinya.
“Makasih, Lucas. Maaf juga, tidur kamu jadi nggak nyaman gara-gara saya.”
“Bukan masalah. Suasana hati saya malah membaik, karena tau kalau kehadiran saya punya efek baik buat kamu.” Amori mengulum bibirnya. Masih tidak tau bagaimana menghadapi Lucas dan kenyataan bahwa pria itu adalah sosok yang menghabiskan malam panas bersamanya saat di Sumba. Amori merasa agak marah karena Lucas merahasiakan identitasnya. Tapi kenyataan bahwa dirinya sendirinya pun lupa tentang sosok Lucas, membuat Amori malu untuk mengakui kalau ia marah dan kecewa.
Suasana di antara mereka hening sejenak. Hanya ada suara halus dari hembusan AC yang masih menyala dengan suhu yang tidak begitu rendah. Lucas terus menamati Amori terang-terangan. Gadis itu masih terlihat lelah, tapi lebih tenang daripada kemarin. Tangannya lalu menjulur dan menempel pada dahi Amori yang mengerjap kaget.
“Syukurnya, kamu udah ngga demam. Amor, kalau ada yang mau kamu tanyain ke saya, kamu boleh.” Amori mengerjap. Ia bimbang, tapi akhirnya menghela.
“Kamu, kenapa kamu ngga bilang kalau sejak awal kamu tau siapa saya?” cicit Amori. Ia menunduk, enggan melihat mata Lucas karena pipinya yang memanas. Sementara itu Lucas terlihat sudah siap. Pria itu menarik tangan Amori yang saling bertaut di atas paha dan memberikan rematan lembut disana.
“Karena saya ngga tau apa yang kamu pikirkan tentang saya. Pagi itu, kamu pergi, Amor. Gimana kalau kamu kabur karena berpikir kalau saya cowok mesum yang culik kamu?” Lucas terlihat berusaha mencairkan suasana, tapi melihat respon Amori yang tidak tertawa, ia kembali serius.
“Mungkin kamu lupa apa yang terjadi malam itu. Tapi buat saya, memori sejak awal kita ketemu sampai memori ketika saya bangun sendirian di kamar hotel, terlalu berkesan untuk dilupakan.” Lucas menarik sudut bibirnya ketika melihat wajah Amori yang semakin merah. Tanpa sengaja ia terkekeh dan membuat Amori terlihat merengut tersinggung.
“Maaf. Tapi setiap ngeliat kamu malu-malu begini, saya ngerasa lucu. Kesan pertama saya waktu ketemu kamu di Sumba beberapa bulan yang lalu, kamu perempuan yang sangat terus terang dan bersinar, Amor. Kamu ngga pernah menunduk hanya untuk menutupi pipi kamu yang memerah.” Amori menolehkan wajahnya ke samping. Bersembunyi dari tatapan Lucas yang semakin geli dan giat menggodanya.
“Waktu ketemu kamu lagi di tempat Tyler, dan tau kalau kamu ngga inget sama saya, saya kecewa, Amor. Saya sempat mikir, apa kamu cuma pura-pura untuk menghindar. Tapi setelah beberapa lama ngamatin kamu, saya sadar kalau kamu benar lupa sama saya. Dari situ saya mencoba untuk melihat semua dari sisi positif, dan menganggap kalau ngga penting kamu inget tentang saya atau ngga. Itu malah jadi kesempatan saya untuk membuat kesan baru untuk kamu. Lagipula ngga ada bagusnya diingat sebagai laki-laki yang menghabiskan malam sama kamu karena mabuk.”
Amori masih belum menanggapi jawaban panjang Lucas atas pertanyaannya. Ia menggembungkan pipinya, terlihat ragu untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya.
“Saya, hamil.” katanya lirih bercampur malu. “Dan kalau dihitung dari kejadian waktu di Sumba, kamu bapaknya. Tapi, kalau kamu ragu, saya—”
“Amor,” Lucas menarik tangan Amori yang ada di genggamannya. Membuat wanita itu menoleh dan menatap wajah Lucas yang terlihat sendu. “Itu anak saya. Saya yakin itu.”
Amori menelan ludahnya susah payah. Ia membalas tatapan Lucas tak kalah lekat. “Kamu, siap?”
“Siap jadi bapak?” Amori mengangguk kaku.
“Setiap manusia wajar merasa gugup dan takut saat harus menghadapi pengalaman pertamanya. Tapi saya ngga mungkin nutup mata dengan keadaan kita cuma karena gugup, Amor. Biar bagaimanapun nantinya, saya akan tanggung jawab.” Amori tersentuh.
Cara bicara Lucas, sorot matanya dan bagaimana tangannya terus menggenggam tangan Amori sambil memberikan tekanan di beberapa kata yang ia ucapkan, membuat Amori bergetar. Ia tau Lucas tulus, dan seharusnya ia tidak banyak berpikir untuk membuka hati juga tangannya untuk mempersilakan Lucas masuk. Tapi rasa takutnya masih ada. Entah apa yang membuatnya ragu, Amori belum sepenuhnya berani melemparkan diri pada Lucas.
Lucas masih menatap Amori dengan lekat, seolah berusaha menembus isi kepala wanita yang terlihat jelas takut terluka dan sibuk melindungi dirinya. Ia memberikan usapan lembut penuh pengertian di punggung tangan wanita itu sambil terus berbisik menenangkan.
“Kamu nggak sendirian, Amor. Saya tau beban perasaan kamu, dan saya bersedia mengikuti prosesnya. Tapi tolong, izinkan saya untuk menjadi diri saya, yang serius mau jaga kamu dan bayi kita.” tak langsung menjawab dan sempat membuat Lucas gugup, Amori memecah suasana tegang di antara mereka dengan anggukan kecil. Membuat Lucas sontak lega dan tersenyum lebar.
***
Bersambung....