Anika seorang gadis yang tidak pernah membayangkan jika dirinya harus terlibat dalam malam panas dengan seorang pria beristri.
Cerita awal, ketika dirinya menginap di rumah sahabatnya, dan di saat itu pula dia tidak tahu kalau sudah salah masuk kamar, akibat keteledorannya ini sampai-sampai dirinya harus menghancurkan masa depannya.
Hingga beberapa Minggu kemudian Anika datang untuk meminta pertanggung jawaban karena dia sudah dinyatakan hamil oleh dokter yang memeriksanya.
Akan tetapi permohonannya di tolak begitu saja oleh lelaki yang sudah membuatnya berbadan dua.
Apakah Anika mampu membawa benihnya itu pergi dan membesarkan sendirian?? Temukan jawabannya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
Langit di pagi itu mendung kelabu seolah tahu dengan isi hati Anika, di depan cermin yang sedikit berembun Anika menatap bayangan wajahnya yang hari ini akan menjadi seorang istri dari pria yang dulu menggoreskan luka kini datang membawa janji perbaikan.
Riasan di wajahnya cukup sederhana hanya polesan tipis dan tidak berlebihan, akan tetapi kesederhanaan itu membuat kecantikannya terpancar berkali lipat dan ketulusan yang terlahir dari luka dan keberanian yang terlahir dari keterpurukan.
Tangannya gemetar ketika menyentuh kerudung putih yang menutupi mahkota kepalanya, ia mulai terdiam dihadapan pantulan kaca menahan rasa haru dan sesak di dalam dada ia menikah bukan karena cinta akan tetapi ia menikah karena pilihan.
"Hari ini aku ingin menikah meskipun sepenuhnya hatiku masih dihantui rasa takut, akan bayangan itu tapi aku akan berusaha kuat demi anak-anakku," ucapnya di dalam pantulan cermin.
Sebelum acara akad di mulai tiba-tiba pintu Anika di ketuk oleh seseorang yang merupakan sahabatnya sendiri. Ya wanita itu merupakan Nivea sambil menggendong anaknya Nivea mulai menyambangi sahabatnya itu.
"Pagi Nik," sapa Nivea.
"Pagi juga, ih sih ganteng anaknya siapa?" Anika mulai menyapa Gio dengan senyum yang di paksa.
Seketika beragam pertanyaan mulai muncul di hari Nivea, tentang pernikahan sahabatnya ini.
"Nik, sekali lagi aku mau bertanya," ucap Nivea.
"Iya apa yang ingin kamu tanyakan," sahut Anika.
"Apa benar kau ingin memulai pernikahan ini?" tanya Nivea.
Anika terdiam pandangannya menunduk, ia tidak tahu harus menjawab apa bayangannya seolah kelabu, air mata mulai mengembun di pelupuk matanya.
"Aku tidak tahu entah kenapa Aku sulit untuk melupakan bayangan itu, setiap malam datang menghantui, bayangan Om Aslan menyentuhku dengan paksa mulai bermunculan menghiasi tidurku, bahkan aku sendiri tidak tahu bakal bisa bertahan atau tidak," ucap Anika yang entah kenapa dengan Nivea akhirnya ia berani jujur meskipun mencoba memendamnya.
"Nik, kamu mengalami trauma, apa kamu seriusan untuk memulai dengan seseorang yang membuatmu ketakutan seperti ini?" tanya Nivea sekali lagi.
"Itu makanya Vea aku takut... Kalau aku menikah dengannya, apakah aku memberi cinta? Atau aku hanya memberikan kesempatan untuk memperbaiki luka yang dia buat," ucapnya penuh dengan keraguan.
Tanpa mereka berdua sadari Aslan yang berada di ambang pintu sana mulai mendengar semua percakapan Anika dan juga Nivea.
"Aku ... Pelaku pemerkosaan dan dengan entengnya aku mengajaknya menikah lelucon macam apa ini, kau bodoh Aslan bodoh ....," ucapnya sambil menampar wajahnya sendiri.
Langkah Aslan perlahan mundur keluar bersama lukanya, matanya melotot tajam jemarinya mengepal seolah ia sedang merutuki kesalahannya sendiri.
Aslan langsung membawa mobilnya ke suatu tempat tempat dimana ia pertama kali bertemu dengan anak-anak, ya tempat yang ia pilih merupakan pantai yang menghubungkan masa lalunya dengan anak-anak itu.
Aslan duduk di dalam mobil yang terparkir di tepi jalan dekat dengan pantai itu. Matanya memandangi cermin tengah, seolah mencari bayangan dirinya sendiri. Ia memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya, suara jeritan itu. Jeritan Anika di malam kelam, terdengar kembali di telinganya.
Hati Aslan mencelos. Ia tahu perbuatannya ini salah, tidak seharusnya ia mengajak menikah seseorang yang menganggapnya sebagai trauma bukan masa depan.
"Bodoh ... Bodoh. Memang aku bodoh, tidak pernah dan terlalu memaksakan diri, Aslan seharusnya kamu sadar dia itu tidak pantas untuk kau nikahi, pernikahan macam apa ini! Teriaknya sendiri.
Sejenak Aslan mulai terdiam mencoba untuk menenangkan dirinya ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang sekarang terjadi di rumah Anika, yang ia pikirkan saat ini ia pelaku, pelaku yang tidak sadarkan diri.
“Apa aku sudah menghancurkannya sejauh itu?” gumamnya lirih. “Apa mungkin... dia belum bisa memaafkanku?”
Ia menunduk, menggenggam setir erat. Hatinya ingin memperbaiki. Ingin menyembuhkan.Tapi apakah pantas, hanya satu yang saat ini membayangi otaknya pikiran anak kecil yang selalu membutuhkan dirinya, yang selalu ceria dan ingin selalu ia berada di dekatnya.
"Aruna ... Arjun ... Arash ...," ucapnya menimbulkan air mata di dalam emosi.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Sedangkan di dalam rumah Anika akad sudah di mulai akan tetapi Aslan tidak kunjung datang, semua orang yang di sini bingung mencari keadaan Aslan, Anika mulai menangis entah apa yang terjadi Aslan mempermainkan dirinya di hari pernikahannya.
Seketika si kecil menangis karena mencari keberadaan ayahnya yang belum kunjung datang sama sekali, Arash berdiri di bang pintu kamar ibunya bersama kedua saudaranya, entah kenapa matanya melirik ke arah meja kecil yang terletak di sudut kiri pintu, tangan anak itu mulai terulur untuk mengambilnya.
"Abang ... Kertas putih ini apa ya," ucapnya sambil menahan kesedihan.
"Aku tidak tahu Dik, coba kita buka saja," sahut.
Seketika ketiga Boca itu mulai membuka isi surat dari ayahnya. "Sepertinya ini surat dari Papa, kita berikan saja kepada Bunda," ucap Anika.
Ketiga kembar itu mulai mencari ibunya yang saat ini duduk di ruang tamu yang sudah di sulap menjadi tempat akad,
Anika…
Malam itu aku mabuk dan tidak sadarkan diri untuk menyentuhmu, aku sadar atas semua kebejatan diriku, dan setelah itu kau hamil dan di hina orang lalu kau meminta pertanggung jawaban dariku, dan aku tetap dengan pilihanku, mempertahankan rumah tanggaku.
Aku tahu ini tidak mudah dan keputusanku menikahimu itu memang begitu berat untuk mu dan tidak semua orang bisa dan sekuat dirimu, aku minta maaf jika memang ajakanku ini menjadi penekanan untuk dirimu, tapi kau juga harus tahu bahwa semua ini aku lakukan untuk anak-anak kita.
Jika kau tidak ingin menikah denganku, maka ijinkanlah aku untuk menjadi ayah yang baik untuk mereka, dan tataplah aku sebagai ayah anak-anak bukan sebagai bayangan buruk yang selalu hadir di dalam mimpimu.
Anika mulai meremas surat dari Aslan ia tidak tahu harus mencarinya kemana lagi sedangkan Pak penghulu sebentar lagi datang.
"Nivea apa dia mendengarkan percakapan kita?" tanya Anika dengan air mata yang membasahi pipi.
"Kemungkinan ia, tidak mungkin ia pergi tanpa alasan Nik," sahut Nivea.
Sedang saat ini Anika hanya bisa membulatkan matanya dengan sempurna ia tidak bisa membayangkan jika Aslan benar-benar mendengar percakapannya.
"Nik, sudah kau tenang lebih baik, kau duduk di sini biar aku sama Marvin saja yang cari keberadaan Papa," ucap Nivea sedangkan Anika hanya menunduk dengan tubuh yang bergetar lemas.
Sementara Anak-anak mulai sadar dengan masalah yang terjadi lalu mereka dengan sendirinya ikut mencari keberadaan ayahnya.
"Tante Nivea kita boleh ikut mencari keberadaan Papa, aku yakin dia pergi tidak jauh dari sini," kata Arjun yang memang paling dekat dengan Aslan.
"Baiklah, ayo kita cari Papa," ajak Nivea sementara Anika hanya bisa melihat langkah mereka dari kejauhan.
☘️☘️☘️☘️☘️
Saat ini Marvin mulai mengecek keberadaan ayahnya melalui GPS di dalam ponselnya dan benar kata anak-anak keberadaan ayahnya masih di sekitar tempat sini.
"Ayo anak-anak keberadaan Papa masih di dekat sini saja," ajak Marvin lalu mulai berlari untuk mengejar ayahnya.
Langkah kecil itu berjalan sambil berlari menyeimbangi kecepatan langkah kedua orang dewasa di hadapannya itu, di bibir pantai Marvin melihat sosok Aslan yang berdiri di depan mobilnya, akan tetapi perlahan lelaki itu ingin memasuki mobil tersebut dan mulai melaju ke arah keluar dari desa ini.
"Om Marvin cepetan itu mobil Papa mau pergi!" teriak Arjun.
Marvin segera berlari secepat kilat untuk menghadang mobil papanya. "Papa ... Tunggu ...!" teriak Marvin yang berhasil menghadang mobil Aslan.
Seketika Aslan menginjak pedal ram nya secara mendadak, pria itu mulai mencopot kaca mata hitamnya, lalu mulai menoleh ke arah depan yang sudah ada Marvin dan ketiga adiknya.
Hati Aslan merasa tersayat akan pemandangan ini akan tetapi ia sadar ia tidak pantas bersanding dengan ibu mereka. Aslan segera turun dari mobilnya dan lansung di todong seribu pelukan dari ketiga anaknya yang mencegahnya untuk pergi.
Anak-anak itu langsung memeluk tubuh Aslan dan langsung berkata.
"Papa, jangan pergi ayo kita pulang, Bunda menangisi kepergian Papa, kita tidak mau lagi melihat Bunda menangis," pinta anaknya itu yang benar-benar membuat langkahnya berat untuk pergi.
Bersambung ....
semangat up yea thourrr dan sehat selalu🥰🥰🥰😘😘😘...