Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayu Di temukan Dan Ritual Penangkal
Malam itu, Dania duduk sendirian di kamarnya. Lampu meja menyala redup, sementara hujan di luar mengetuk-ngetuk genting dengan ritme monoton. Ia mencoba memejamkan mata, tapi sejak kejadian sumur tadi, pikirannya tak tenang.
Tiba-tiba, rasa dingin merambat dari ujung jari kakinya hingga tengkuk. Pandangannya mengabur, dan tanpa sadar ponsel yang dipegangnya terlepas ke kasur.
Di depannya, udara beriak seperti kabut tipis, lalu perlahan berubah menjadi bayangan samar—bayangan yang semakin jelas membentuk wajah Ayu. Rambut Ayu basah, meneteskan air kotor, dan wajahnya pucat tak berdarah.
“Dania…” suara Ayu terdengar bergetar, seperti datang dari bawah air. “Aku… di sini…”
Tiba-tiba, Dania melihat kilasan gambar—lorong gelap yang basah, dindingnya dari tanah liat, dengan air menetes dari atap. Di ujung lorong itu, Ayu duduk terikat, kain kafan kotor membelit kedua tangannya, sementara bayangan pocong Atna berdiri di belakangnya, memegang kepala Ayu seolah sedang menahan.
Suara napas Atna terdengar berat dan lambat, lalu ia menatap Dania melalui penglihatan itu. Mata hitam pekatnya seolah menusuk langsung ke dalam jiwa Dania.
“Kau… akan jadi berikutnya…” bisiknya.
Dania terlonjak dan tersedak napas, langsung terbangun dari trance itu. Pelipisnya basah keringat dingin. Amir yang duduk di ruang tamu berlari masuk, “Kamu kenapa, Dan?”
Dania memegangi dadanya, mencoba mengatur napas. “Aku tahu… di mana Ayu disekap…” suaranya bergetar. “Itu… bukan di rumah… itu di… bawah tanah.”
Ayu menatap keduanya dengan tatapan cemas. “Kalau gitu… kita harus cepat. Kalau telat… dia nggak akan balik.”
Di luar, angin malam bertiup kencang, dan entah kenapa… bau kenanga samar mulai tercium di dalam kamar.
Malam itu, Amir, Satria, dan Dania berangkat hanya dengan senter, golok, dan keberanian yang setengah dipaksakan. Hujan baru saja reda, menyisakan bau tanah basah yang menyengat. Dari penerawangan Dania tadi, mereka tahu harus menuju kebun bambu tua di pinggir desa, tempat orang jarang lewat bahkan siang hari.
Begitu sampai, mereka menemukan celah tanah di antara rumpun bambu, tertutup papan reyot dan dedaunan. Amir membuka papan itu—dan benar saja, di bawahnya ada tangga kayu rapuh yang turun ke dalam kegelapan.
“Ini gila,” gumam Satria sambil menyalakan senter. “Tapi kalau Ayu ada di bawah, kita nggak punya pilihan.”
Mereka turun perlahan. Udara semakin pengap dan dingin, dinding tanah basah meneteskan air. Lorong itu sempit, hanya muat untuk berjalan membungkuk. Bau busuk semakin menusuk setiap langkah.
Dania berhenti sejenak. “Ini tempatnya… aku ingat dari penglihatan.”
Di ujung lorong, cahaya senter mereka menangkap sosok Ayu—duduk di tanah, tubuhnya diikat kain kafan, mulutnya dibekap kain kotor. Matanya melebar melihat mereka, tapi sebelum Amir sempat mendekat—
Dukk!
Senter Satria berkedip-kedip, lalu mati total. Gelap pekat menyelimuti lorong.
Suara gesekan kain kafan terdengar dari belakang. Serrr… serrr… serrr…
“A… Amir…” bisik Dania, suaranya nyaris tak terdengar.
Dari kegelapan, dua titik mata hitam muncul, memantulkan sedikit cahaya sisa dari senter yang rusak. Sosok pocong Atna muncul perlahan, melayang mendekat, kepalanya miring, kain kafannya basah meneteskan cairan kehijauan ke tanah.
Tiba-tiba, pocong itu menunduk cepat lalu muncul tepat di depan Amir. Nafasnya berat, matanya tak berkedip. Sementara dari belakang, terdengar suara langkah plop-plop di genangan air—seolah ada lebih dari satu yang mendekat.
Ayu mencoba menjerit di balik ikatan kain, matanya memohon.
Tanpa berpikir panjang, Amir mengangkat golok dan menebas ikatan di tubuh Ayu. Tapi saat tebasan pertama mengenai kain, Atna mengeluarkan suara teriakan parau yang menggema di lorong, membuat telinga mereka berdenging.
Dania meraih tangan Ayu, berteriak, “Lari!!!”
Mereka berempat berlari membungkuk di lorong sempit itu, sementara di belakang terdengar suara kain terseret dan hentakan tubuh yang melompat mendekat. Plop… plop… plop… serrr… serrr…
Begitu mencapai tangga kayu, mereka naik terburu-buru. Satria nyaris jatuh, tapi Amir menariknya. Begitu kepala mereka keluar dari lubang tanah, angin malam langsung menghantam wajah—dan bau busuk mendadak hilang.
Namun… dari bawah, terdengar suara parau memanggil, “Daniaaaa…” diikuti tawa lirih yang membuat darah membeku.
Ayu berhasil diselamatkan. Satria segera mendekati istrinya.
“Dek, kamu enggak apa-apa?” tanya Satria, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja, Mas,” jawab Ayu, meskipun tubuhnya masih gemetar.
Amir yang ikut dalam pencarian segera menyusul mereka. "Ayo kita pulang! Kita lakukan ritualnya sekarang!" ajaknya penuh semangat.
Satria membopong Ayu menuju rumahnya. Para warga yang menyaksikan Ayu dalam keadaan lusuh dan kotor dengan tanah, segera bertanya-tanya.
“Kalian masuk rumah, ambil garam, dan taburkan ke depan rumah masing-masing!” ujar Satria dengan tegas, sambil terus membawa Ayu dan Dania kembali.
Para warga yang tadi ikut mencari kini berkumpul di jalan, wajah mereka pucat mendengar perintah Satria. Beberapa langsung bergegas pulang sambil membawa garam dari dapur masing-masing. Suasana desa menjadi tegang, hanya terdengar suara langkah tergesa dan desiran angin malam yang menusuk tulang.
Satria masuk ke rumahnya sambil memangku Ayu. Amir menutup pintu rapat, lalu menguncinya dua kali. Dania menutup semua jendela, tapi entah kenapa hawa dingin masih bisa menembus dinding.
“Sekarang cepat! Siapkan baskom, air, dan garam. Kita mulai ritual sebelum jam tiga,” kata Amir dengan nada mendesak.
Ayu duduk di kursi, tubuhnya masih gemetar. “Mas… waktu di bawah sana… aku nggak sendirian…” suaranya bergetar, air matanya jatuh. “Selain Atna… ada banyak yang lain… mereka cuma diam, tapi matanya… mengikutiku…”
Satria mengelus rambut istrinya, menahan amarah dan rasa takut. “Sudah… kamu aman sekarang. Fokus ikut baca doa.”
Amir mulai menaburkan garam di setiap sudut ruangan. Dania menaruh mangkuk besar berisi air garam di tengah ruang tamu, lalu membakar dupa yang membuat aroma tajam menyebar.
Namun… tepat ketika mereka hendak mulai membaca doa, terdengar suara tok… tok… tok… dari pintu depan.
Tidak keras, tapi ritmenya lambat… menunggu.
Semua saling berpandangan. Amir menelan ludah. “Warga nggak mungkin balik lagi ke sini, mereka semua sudah di rumah…”
Tok… tok… tok…
Kali ini diikuti suara seretan kain di teras, serrr… serrr…
Ayu langsung memeluk Satria erat-erat. Dania menggenggam tasbihnya kuat-kuat.
Dari bawah celah pintu, terlihat bayangan kaki… tapi bukan kaki manusia. Hanya lipatan kain putih kotor yang basah, meneteskan cairan gelap ke lantai.
Dania membantu Ayu mengganti baju yang lusuh dan penuh tanah menjadi pakaian bersih berwarna putih polos. Bau anyir masih samar-samar menempel di kulit Ayu, membuat Dania menahan napas saat membantunya.
Setelah itu, Dania mengambil segenggam garam dan mulai menaburkannya di sekeliling kursi tempat Ayu duduk. Setiap butir garam jatuh menimbulkan bunyi pelan di lantai, seperti menutup lingkaran perlindungan tak kasat mata.
“Semoga aman, Mbak,” ujar Dania pelan sambil menatap wajah kakak iparnya yang pucat. Ayu hanya mengangguk, kedua tangannya menggenggam perutnya yang membuncit, berusaha menenangkan diri.
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu