Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Malam itu udara terasa dingin dan berat, seolah ada sesuatu yang menekan dari langit. Angin malam berhembus membawa aroma tanah basah dan suara dedaunan kering yang bergesekan. Dalam kegelapan hutan, tampak sebuah tenda besar berdiri dengan kokoh, meski kainnya sudah usang dan warnanya memudar dimakan waktu. Lentera-lentera minyak menggantung di sekitarnya, memancarkan cahaya kekuningan yang bergetar ditiup angin, menambah nuansa misterius tempat itu.
Nenek Hilda berjalan perlahan dengan tongkat kayunya, sementara Hillary mengikutinya dengan langkah cepat. Keduanya menyingkap kain pintu tenda, masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi aroma dupa dan ramuan kering.
Di dalam, seorang wanita tua sudah duduk di kursi rendah berhias kain beludru merah gelap. Dia adalah Casandra, seorang wanita gipsi yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu karena ramalannya yang jarang meleset. Meski rambutnya sudah penuh uban dan wajahnya berkeriput, sorot matanya masih tajam dan tubuhnya tetap bugar. Ada wibawa yang membuat orang segan begitu menatapnya.
"Hilda, ada apa?" tanya Casandra dengan suara dalam dan penuh ketegasan begitu melihat kedatangan dua tamunya.
Nenek Hilda menunduk sopan. "Aku membutuhkan bantuanmu, Casandra." Suaranya terdengar berat, mengandung kegelisahan.
Casandra memiringkan kepalanya, menunggu penjelasan.
"Aiden … cucuku, dia bertingkah aneh beberapa hari ini. Aku takut … dia sudah terkena ilmu hitam."
Nama itu membuat dahi Casandra berkerut. "Aiden … Salvador?" tanyanya, mencoba mengingat.
"Iya," sahut Nenek Hilda cepat. "Sekarang dia sudah punya istri. Dan aku merasa, istrinya itulah yang sudah bermain ilmu hitam. Rachel membuat Aiden berubah." Suaranya merendah, hampir berbisik, seolah takut kata-katanya didengar oleh sesuatu yang tak terlihat.
Hillary mengangguk cepat, menambahkan, "Benar, Casandra. Kak Aiden sudah berbeda. Dia tidak seperti dulu lagi. Selalu membela Rachel. Padahal jelas-jelas Rachel itu perempuan licik." Nada suaranya penuh kebencian.
Casandra terdiam sesaat, lalu perlahan bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke sebuah meja bundar yang dipenuhi lilin, dupa, serta sebuah bola kristal besar. Tangannya yang keriput tapi kokoh menyentuh permukaan bola itu.
Dengan suara pelan, Casandra mulai melafalkan mantra dalam bahasa asing yang tak dimengerti siapa pun di ruangan itu. Suaranya mendengung, kadang lirih, kadang meninggi, seolah sedang berbicara dengan kekuatan gaib.
Bola kristal itu mula-mula hanya memantulkan bayangan samar. Namun perlahan, kabut tipis muncul di dalamnya. Bentuk-bentuk mulai tergambar. Siluet seorang pria dan seorang wanita terlihat jelas, Aiden dan Rachel.
"Memang ada sesuatu yang aneh," gumam Casandra, matanya tak berkedip menatap bola kristal. "Auranya … bercampur."
Jantung Nenek Hilda berdetak kencang. Hillary menelan ludah.
"Apa Aiden sudah terkena ilmu hitam?" tanya Nenek Hilda cepat, wajahnya tegang.
Namun Casandra menggeleng. "Tidak. Ini bukan ilmu hitam."
"Hah?!" Nenek Hilda dan Hillary sontak terkejut, seakan jawaban itu mustahil.
"Bagaimana bisa bukan ilmu hitam?!" protes Hillary, nadanya meninggi. "Sudah jelas-jelas kalau Aiden sekarang berubah drastis!"
Tatapan Casandra langsung menusuk Hillary. "Kamu meragukan kekuatanku?" suaranya tajam, penuh ancaman.
Hillary terdiam, wajahnya pucat. Nenek Hilda buru-buru menengahi, "Tidak, Casandra. Aku percaya dengan kekuatanmu. Tapi kami melihat perubahan Aiden begitu mencolok … makanya kami semua menduga dia terkena ilmu hitam."
Casandra menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada mantap, "Aku sudah bilang, auranya berbeda dengan dahulu. Tapi ini bukan pengaruh ilmu hitam. Ada hal lain yang lebih besar."
Nenek Hilda mengerutkan kening. "Lalu … apa? Kenapa Aiden berubah?"
Casandra menatap bola kristal itu dalam-dalam. "Auranya sekarang berwarna kuning bercahaya. Itu bukan sesuatu yang berbahaya. Tapi aura ini … bukan milik Aiden."
"Apa maksudmu?"
"Auranya seperti … milik orang lain."
Ruangan hening. Hanya suara api lilin yang berkeredip. Hillary menggigit bibir, hatinya dipenuhi kebencian terhadap Rachel. "Apakah ini berarti Rachel sudah melakukan sesuatu dari Aiden?" pikirnya.
Namun, pikiran Casandra justru tertuju pada hal lain. Pandangannya bergeser ke sosok Rachel di dalam bola kristal. "Kenapa aura wanita ini … malah mirip dengan aura Aiden yang aku kenal dulu?" batinnya.
Nenek Hilda semakin resah. "Apa itu tidak berpengaruh buruk terhadap Aiden? Aku takut terjadi sesuatu yang buruk kepadanya."
Casandra tak langsung menjawab. Ia kembali membaca mantra. Bola kristal itu kini dipenuhi kabut pekat, warnanya berubah menjadi hitam legam. Dari dalam kabut muncul bayangan seperti tangan-tangan gelap yang mencoba meraih Aiden.
Mata Casandra melebar. "Gawat! Sesuatu yang berbahaya sedang mengancam Aiden."
Nenek Hilda dan Hillary tersentak. "Apa?!"
Casandra menunjuk ke bola kristal. "Ada orang yang berniat jahat kepadanya. Aura hitam mengelilingi Aiden. Nyawanya sedang terancam."
Kata-kata itu membuat tubuh Nenek Hilda bergetar. Hillary memelototkan mata, membayangkan kemungkinan buruk yang menimpa sepupunya itu.
"Siapa? Apa kamu tahu siapa yang berniat jahat pada Aiden?" Desak Nenek Hilda, suaranya penuh harap sekaligus ketakutan.
Casandra menggeleng perlahan. "Yang kulihat hanyalah bayangan dendam lama. Ini berhubungan dengan masa lalu. Dengan luka yang belum sembuh."
Pikiran Nenek Hilda segera melayang ke masa beberapa tahun lalu, ketika keluarga Salvador mengalami kecelakaan tragis. "Apakah itu ulah musuh lama? Apakah seseorang masih memburu Aiden sampai sekarang?"
"Apa kamu bisa memberi tahu aku siapa yang memiliki dendam kepada Aiden?" tanya Nenek Hilda, nada suaranya hampir memohon.
Casandra kembali melafalkan mantra. Suaranya semakin berat, seolah menyatu dengan getaran udara di sekitar tenda. Bola kristal berputar pelan, cahaya hitam di dalamnya semakin padat. Tiba-tiba Casandra tersentak, batuk keras, dan setetes darah keluar dari sudut bibirnya.
Hillary menjerit kecil. "Casandra!"
Wanita tua itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam. Matanya tetap menatap bola kristal, penuh keteguhan. Dengan suara serak, ia berkata, "Musuh bebuyutan keluarga Salvador."
Kata-kata itu menggema di tenda, membuat bulu kuduk Nenek Hilda meremang. "Musuh bebuyutan? Siapa yang di maksud?"
Nenek Hilda mencoba mengingat. Ia tahu keluarga Salvador memiliki banyak pesaing di dunia bisnis. Namun "musuh bebuyutan" terdengar jauh lebih personal, lebih kelam dari sekadar rival perusahaan.
"Bisa kamu gambarkan ciri-ciri orang yang ingin membunuh Aiden?" tanya Nenek Hilda, suaranya bergetar.
Hillary pun ikut mengangguk. Dia ingin tahu siapa yang berniat jahat kepada Aiden. Berharap, kedepannya dia bisa melindungi sepupu sekaligus orang yang dicintainya.
Casandra menutup matanya sejenak, mengatur napas. Tangan tuanya masih menyentuh bola kristal yang berkilauan suram. Ia tahu, menggali lebih dalam berarti membuka diri pada bahaya, tetapi dia juga tahu Hilda membutuhkan jawaban.
Suasana dalam tenda menjadi semakin tegang. Lilin bergetar seolah hampir padam dan hawa dingin menyusup tajam hingga ke tulang. Di luar, angin berdesir keras, seakan hutan ikut mendengarkan rahasia yang akan terungkap.
ttp semangattt d
sabar menunggu update nya
Semangatt