NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 33

Langkah kaki Rafael bergema pelan namun berat, menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah yang dingin dan lembap. Namun, kali ini ia tidak sendiri. Tidak bersama para algojonya yang biasa berdiri membisu di sisi kanan dan kirinya. Kali ini, Rafael ditemani seseorang yang jauh lebih berbahaya. seseorang yang bukan hanya menjalankan perintah, tetapi mencerminkan sisi tergelap dirinya sendiri.

Bastian.

Pria tinggi itu berjalan sejajar dengan Rafael, wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, namun di matanya terdapat sinar yang membuat siapa pun bergidik. Tidak ada jas putih kebesaran yang menandakan profesinya sebagai dokter. Hanya pakaian santai: kemeja gelap dan celana panjang hitam. Tapi kotak logam berkilat di tangan kanannya berbicara lebih keras daripada seragam apa pun. Di dalamnya tersimpan alat-alat eksekusi yang bukan hanya untuk menyembuhkan... tapi untuk menghancurkan.

Mereka berhenti di depan sebuah sel yang terletak paling ujung. tempat di mana bau anyir darah dan kotoran menyatu dalam udara yang menusuk hidung. Di balik jeruji, seorang pria tua meringkuk. Tubuhnya bergetar, wajahnya dipenuhi luka dan debu, tangan kirinya hanya tinggal tunggul. bekas amukan Rafael sebelumnya.

Juno, salah satu orang kepercayaan Rafael, datang dan membuka sel itu tanpa sepatah kata. Suara jeruji yang berderit pelan justru menambah tekanan udara dalam ruangan itu. Rafael dan Bastian melangkah masuk, pelan… tapi berat seperti malaikat maut datang menjemput.

Petani tua itu langsung menyembah, menangis, dan memohon dengan suara parau. "Ampuni saya, tuan… saya mohon… saya punya anak… istri saya menunggu di rumah…"

Tapi Rafael tak berkedip. Pandangannya dingin. Tatapannya menembus, seolah menilai apakah pria tua itu masih pantas bernapas. Ia berjongkok pelan, menatap mata ketakutan si petani, lalu berkata dengan nada datar namun penuh kekuatan,

"Hari ini adalah giliranmu."

Petani itu mulai meratap lebih keras, tubuhnya menggigil, namun Rafael tetap tenang.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan, bukan? Kau menjadi mata-mata untuk Malik. Kau memata-matai aku… dan istriku."

Suaranya menurun satu oktaf.

"Dan karena kau… istriku kini terbaring di rumah sakit. Di antara hidup dan mati. Nafasnya tertahan, tubuhnya dipenuhi selang, dan setiap detiknya adalah perjuangan untuk bertahan hidup."

Ia berdiri, membalikkan badan perlahan. "Kau… harus merasakan hal yang sama. Atau lebih buruk dari itu."

Bastian tersenyum kecil, seperti anak kecil yang diberikan mainan baru.

"Apa yang harus aku lakukan, Rafael?" tanyanya enteng, seolah hendak membuat teh, bukan menyiksa seseorang.

Rafael menoleh, matanya kini membara. "Lakukan apa pun… pastikan dia merasakan apa yang istriku rasakan. Kalau bisa. lebih menyenangkan darinya."

Lalu, Rafael keluar dari sel, meninggalkan Bastian dan si petani tua. Di luar, ia duduk di kursi besi yang telah dipersiapkan, menyilangkan kaki, dan bersandar, seolah tengah menonton pertunjukan teater.

Dari sel-sel lainnya, Malik, Mia, dan Anjar yang dikurung terpisah, mendengar semuanya. Mereka saling berpandangan, wajah pucat, napas terengah. Mereka tahu… jeritan yang akan datang hanyalah permulaan.

Di dalam sel, Bastian mulai membuka kotaknya. Ia mengeluarkan sepasang sarung tangan karet berwarna hitam dan memakainya perlahan, hampir seperti menikmati suara karet yang melar saat bersentuhan dengan kulit. Pisau bedah kecil berkilat di bawah lampu redup. Ia mendekati si petani yang kini berusaha merangkak mundur, kakinya gemetar, mulutnya terus-menerus memohon.

“Saya mohon… saya punya cucu… saya hanya disuruh… saya tidak tahu apa-apa…”

Namun suara itu seperti angin lalu bagi Bastian. Ia hanya tersenyum kecil, lalu memberi isyarat kepada dua algojo yang masuk untuk mengikat si petani di kursi. Pria tua itu melawan, tapi usahanya sia-sia. Tubuhnya lemah dan luka. Tangannya diikat erat, begitu pula kakinya. Ia meraung, menangis, memohon.

Lalu Bastian berjongkok di hadapannya, dan dengan lembut menyentuh wajah si petani.

“Kau tahu,” katanya pelan,

“aku sangat menyukai bagian telinga manusia. Lembut. Mudah dilepas.”

Dan tanpa aba-aba lagi, ia menyayat pelan tepi telinga kanan petani itu. Darah mengalir seketika. Petani itu menjerit begitu keras, jeritannya menggema di seluruh ruang bawah tanah. Tubuhnya menggeliat, mencoba kabur dari rasa sakit, tapi ikatannya terlalu kuat. Pisau itu kembali menyayat, kali ini lebih dalam… lalu

CRACK...

telinga itu jatuh ke lantai dengan bunyi lembek.

Jeritan menggema hingga sel Mia. Gadis itu menutup mulutnya, air mata tumpah tanpa bisa dibendung. Malik menggertakkan gigi, wajahnya memucat, dan Anjar hampir muntah.

Di kursinya, Rafael tersenyum tipis. Matanya kosong, namun di balik kekosongan itu ada gelora api yang membakar segalanya.

Bastian melanjutkan, mengambil pisau lain. lebih tipis. Ia mendekati mata si petani, lalu berbisik,

"Mari kita lihat, apakah kamu bisa melihat dengan satu mata saja."

Petani itu memohon, "TIDAAK! TOLONG! AKU AKAN BERKATA JUJUR! AKU AKAN..."

Pisau itu masuk, suara daging terkoyak terdengar bersamaan dengan jeritan menggila yang menusuk gendang telinga.

Dan di luar sel, Rafael hanya duduk. Menonton. Tenang. Tatapannya tak berubah.

Karena bagi Rafael... ini bukan balas dendam.

Ini adalah keadilan.

Suara denting logam menggema tajam saat pisau bedah di tangan Bastian terjatuh menghantam lantai semen yang dingin. Darah masih menetes dari ujung bilahnya, meninggalkan jejak merah yang mengalir perlahan menuju kaki kursi tempat petani tua itu terikat. Tubuh pria tua itu terkulai lemas, napasnya tersengal, dan matanya setengah terbuka, nyaris kehilangan kesadaran. Suara ringkihnya nyaris tak terdengar selain dari erangan parau yang meluncur dari tenggorokan berdarah.

Bastian menghela napas, mendongakkan kepala sejenak lalu memutar matanya dengan ekspresi jenuh.

"Ah, tidak asik sekali," gumamnya, suaranya renyah namun penuh kebosanan.

"Ini baru permulaan, kenapa dia sudah pingsan?" tanyanya, suaranya mengarah pada Rafael yang masih duduk angkuh di luar sel, satu kaki disilangkan, tangan bertumpu di sandaran kursi, seperti seorang raja yang tengah menikmati pertunjukan darah.

Rafael menoleh perlahan. Wajahnya datar, dingin, tak menunjukkan sedikit pun perasaan. Tatapannya tajam seperti belati, menusuk lurus ke arah petani tua yang bersimbah darah.

"Tunggu sampai dia sadar," jawabnya dengan nada datar namun penuh ancaman.

"Jika dia sudah terbangun, kau bisa lanjutkan permainanmu."

Bastian tersenyum tipis. Matanya menyipit penuh semangat yang kembali membara. Ia berjongkok di samping petani tua itu, lalu menepuk pipinya dengan lembut, seperti seorang kekasih yang tengah membangunkan pasangannya dari tidur. Tapi sentuhan itu lebih dingin dari kematian.

Sementara itu, suara Rafael kembali menggema, kali ini lebih keras, cukup untuk didengar oleh ketiga tahanan lain yang terkurung di sel sebelah: Malik, Mia, dan Anjar. Suara itu mengiris udara seperti cambuk, menampar telinga mereka tanpa ampun.

"Dengarlah..." ucap Rafael, dingin.

"Dengarlah apa yang bisa kalian dengar... karena ini adalah hasil dari apa yang telah kalian lakukan."

Suara tangisan Mia mulai terdengar, tubuhnya gemetar hebat di sudut sel, memeluk lututnya dengan putus asa. Anjar menggigit bibirnya keras hingga berdarah, berusaha menahan jeritan, sementara Malik hanya terdiam membatu, wajahnya pucat pasi. Mata mereka tak bisa lepas dari bayangan darah yang terlihat menetes dari jeruji sel petani tua.

"Kalian," lanjut Rafael, suaranya semakin dalam, seolah keluar dari sumur kegelapan, "telah menantang orang yang salah."

Ia berdiri perlahan dari kursinya, membiarkan suara gesekan logam kaki kursi menggores lantai semen menambah atmosfer kengerian. Rafael melangkah mendekati sel mereka, hingga wajahnya tampak jelas di balik jeruji. Cahaya lampu kuning remang-remang memantulkan kilatan mata yang penuh kebencian.

"Kenikmatan ini..." Rafael menoleh sekilas ke arah petani tua yang masih terkulai, "...hanyalah awal. Kalian akan menyusul dia. Satu per satu. Tapi tidak dengan kematian yang cepat."

Ia berjalan melewati sel demi sel, memperhatikan wajah-wajah ketakutan di dalamnya.

"Kalian akan hidup cukup lama... untuk menyesali setiap detik napas yang pernah kalian ambil sejak kalian memilih untuk mengkhianatiku."

Di dalam sel petani tua, Bastian mengeluarkan jarum suntik kecil dari kotaknya. Ia menyuntikkan cairan bening ke dalam urat tangan si petani.

"Ini hanya untuk membangunkanmu, Tuan Tua," ucapnya seperti sedang membujuk anak kecil.

"Kau tak boleh tidur saat pesta baru saja dimulai, bukan?"

Tak lama kemudian, tubuh petani tua itu mulai menggeliat pelan. Napasnya memburu. Matanya terbuka perlahan, berkedip beberapa kali, mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Begitu kesadarannya pulih, rasa sakit pun kembali. lebih tajam, lebih kejam. Jeritannya kembali meledak, melengking, menggema di seluruh ruang bawah tanah.

Bastian tertawa lirih.

"Nah, ini baru menyenangkan." Ia mengambil kembali pisau bedahnya dari lantai, membersihkan darah dengan tisu medis seolah itu hal biasa.

Rafael berhenti di tengah lorong, mendengarkan jeritan itu sejenak. Ia menutup matanya, menghirup udara seolah aroma darah adalah parfum kesukaannya. Kemudian ia membuka mata dan berkata tanpa menoleh, "Biarkan dia berteriak... biarkan yang lain mendengar... biar mereka tahu, penderitaan adalah satu-satunya bahasa yang kumengerti sekarang."

Dan malam itu, ruang bawah tanah Rafael bukan lagi sekadar penjara. Ia telah menjelma menjadi panggung penyiksaan, di mana keadilan Rafael ditulis dengan darah, rasa sakit, dan jeritan.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!